Dua Puluh Enam [A]

29.5K 4.9K 226
                                    

Ulang tahun yang ketiga puluh ini tampaknya memang mustahil untuk dilupakan Kennan selama sisa hidupnya. Mulai dari drama yang dibuat Irina hingga respons mengejutkan ala Febe. Sungguh, Kennan tak pernah membayangkan istrinya melakukan hal sefrontal itu. Menciumnya di depan Irina dan Dila. Apalagi, itu bukan jenis ciuman sopan.

Satu lagi, bombardir telepon dari ibunya yang nyaris tak henti sejak pagi. Lydia memang tahu jika putranya sudah kembali ke Bogor tadi malam. Perempuan itu terang-terangan meminta Kennan dan istrinya mampir dulu ke rumah orangtuanya untuk membicarakan tentang Febe. Tepatnya, aborsi yang pernah dilakukan Febe.

"Ma, aku baru nyampe. Masih jetlag. Besok-besok ajalah mampir ke rumah." Kennan melisankan alasan itu berkali-kali. Namun Lydia tak juga menyerah. Perempuan itu tak henti mengontak putranya hingga Kennan pun menyerah. Namun, dia memilih datang sendiri tanpa Febe, sebelum tengah hari.

"Kamu mau ke rumah Mama?" tanya Febe saat Kennan pamit. Laki-laki itu baru saja mengganti kausnya saat Febe masuk ke dalam kamar. Kennan bisa melihat kecemasan yang melompat-lompat di mata istrinya.

"Iya. Mama bolak-balik nelepon dari tadi pagi. Kalau aku nggak datang, ntar takutnya malah disamperin ke sini. Malah makin gawat." Kennan tersadar bahwa kata-katanya malah bisa kian menakuti istrinya. "Udahlah, jangan cemas. Nggak bakalan kiamat, Fe."

"Aku ikut, ya? Tapi aku mau mandi dan ganti baju dulu. Ini tadi habis bantuin Mbak Dila masak untuk makan siang, aku bau bumbu dapur."

Kennan tertawa kecil sembari melingkarkan tangan kanannya di pinggang Febe, menarik perempuan itu ke arahnya. "Kamu nggak bau bumbu dapur. Tapi bau rempah."

"Itu sama aja, Ken," protes Febe.

"Makin menegaskan nama panggilanmu, Fe. Hot and delicious."

"Astaga," Febe geleng-geleng kepala. "Siang-siang gini, kamu nggak usah sok-sokan romantis gitu, deh. Aku tetap pengin ikut ke rumah Mama."

Kennan menggeleng. "Nggak usah. Biar aku sendiri yang ke sana. Nanti, baru kita bareng ke rumah Mama."

"Ken, takutnya Mama jadi salah paham. Karena udah pasti yang mau diomongin kan masalahku. Paling nggak, kasih aku kesempatan untuk bela diri. Ngasih tau apa yang terjadi sebenarnya walau mungkin sulit untuk diterima. Aku nggak mau kamu yang dimarahi."

Hati Kennan menghangat. Perempuan ini bukan orang yang egois. Seperti yang pernah disinggung Rosita, Febe cenderung selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Hingga sering mengabaikan dirinya sendiri.

"Fe, aku tau kita bakalan sehidup semati. Tapi, bukan berarti kamu harus ngintilin aku melulu," gurau Kennan. Dia terbahak-bahak melihat istrinya cemberut. Lalu, pria itu mencium bibir Febe.

"Ken, becandanya ntar dulu, deh! Ini kan masalah serius."

"Iya, aku tau. Tapi, kali ini biar aku dulu yang ngomong sama Mama. Supaya Mama tau apa alasanku tetap nikah sama kamu. Setelah itu, baru kamu siap-siap untuk diomelin. Gimana?"

"Ken, kamu nggak perlu ngelindungin aku."

"Aku nggak ngelindungin kamu, Sugar. Karena kamu bisa jaga diri, kok. Mama berhak tau alasanku. Biar fokus di situ dulu. Kalau ada kamu, takutnya malah jadi melebar ke mana-mana," jelas Kennan.

"Sugar itu nama kesayangan lainnya, ya?" tebak Febe.

"Iya." Kennan menyeringai.

"Ya udahlah, berarti aku harus pasrah aja dikasih nama yang aneh-aneh sama kamu, kan?" Febe mendongak sambil tertawa kecil. "Eh, tapi nggak apa-apa kamu pergi sendiri?"

"Nggak apa-apa," Kennan menenangkan.

Laki-laki itu mengenal ibunya. Lydia pasti akan emosional saat melihat Febe. Dia tak mau istrinya sakit hati karena mendengar kata-kata menyilet dari sang ibu. Karena itu, Kennan memilih datang sendiri dan menjelaskan alasannya. Setelah itu, dia akan memberi waktu pada ibunya untuk mencerna berita yang pasti mengejutkan itu.

Kennan tiba saat seisi rumah hendak makan siang. Hanya Mieke yang absen karena saat itu memang bukan hari libur. Tampaknya, Lydia sudah meminta Sacha dan Hisham berkumpul di rumah setelah Kennan memastikan akan datang. Laki-laki itu menghela napas saat melihat keluarganya sedang bersama-sama menyiapkan makan siang. Tampaknya, dia harus menghadapi semacam sidang keluarga.

Ibunya memang bersikap hangat, memeluk Kennan dan mengucapkan selamat ulang tahun, bergantian dengan yang lain. Namun, dia tahu, tinggal tunggu waktu sebelum Lydia berada dalam mode interogator yang sangat teliti. Dia sempat menyerahkan kantong plastik berisi cenderamata yang dibeli Febe saat mereka berada di Athena.

Ternyata, Lydia juga menyiapkan sebuah kue ulang tahun untuk Kennan. Dia merasa itu berlebihan karena usianya sudah masuk kepala tiga. Dia tak perlu meniup lilin dan memotong kue lagi, kan? Namun Kennan tak mengajukan protes.

Mereka berempat makan siang tanpa banyak bicara. Kennan berkonsentrasi menghabiskan makanan di piringnya. Karena dalam hitungan menit, dia akan menghadapi penyelidikan ala ibunya yang kadang mengalahkan interogasi versi FBI.

Benar saja! Begitu selesai makan, Lydia meminta semua orang pindah ke ruang keluarga. Setelah Kennan duduk di depan ibunya, investigasi pun dimulai.

"Kenapa Febe nggak ikut?" selidik ibunya.

"Aku yang ngelarang. Febe sih tadi maksa pengin ikut. Tapi aku yang nggak mau. Karena menurutku kita harus ngomong dulu. Aku nggak mau Mama langsung marahin istriku."

Alis Lydia bertaut. "Kenapa kamu tega ngebohongin Mama dan semua orang, Ken? Kenapa nggak pernah bilang kalau Febe pernah aborsi? Berarti, dia kan perempuan liar yang nggak bisa jaga diri." Ekspresi jijik terpampang di wajah Lydia. "Tapi, kamu malah nikah sama perempuan kayak gitu. Kalau tau sejak awal, Mama mending nanggung malu ketimbang ngasih izin kamu tetap nikah."

Kennan, Hisham, dan Sacha menghela napas dalam waktu nyaris bersamaan. Lydia memandang ketiganya berganti-ganti dengan tatapan menegur.

"Papa udah ngomong berkali-kali sesuai pesan kamu, Ken. Tapi Mama tetap nggak mau ngerti," keluh Hisham. Lelaki itu berpaling pada Lydia yang duduk di sebelah kirinya. "Kennan udah dewasa, Ma. Dia udah ngambil keputusan. Kita harus menghargai pilihannya."

"Memangnya Papa nggak keberatan punya menantu kayak gitu? Ini yang kita omongin aborsi lho, Pa. Bukan jerawat atau operasi amandel."

"Ma, Febe hamil dan aborsi pun udah tau penyebabnya. Namanya anak remaja, ada khilafnya. Ada bodohnya. Kita kan nggak tau kondisi yang dihadapi Febe, sampai ada kejadian itu. Okelah, anggap dia udah bikin kesalahan serius. Tapi, itu udah berlalu lama. Masa iya orang terus dinilai dari kesalahan yang pernah dibuatnya sepuluh tahun lalu. Nggak fair banget, Ma." Giliran Sacha yang bersuara.

"Mama pengin tau alasan Kennan. Kamu sama Papa tolong tutup mulut dulu. Selama Kennan di Yunani, kalian semua kan nggak ada capeknya ngebelain Febe," sergah Lydia. Perempuan itu menatap Kennan lekat-lekat, menunggu.

"Papa udah jelasin semua, kan? Jadi, aku nggak akan ngomong panjang. Yang pasti aku nggak nyesel udah nikah sama Febe. Dia nggak punya kewajiban untuk ngasih tau aku masalah itu, tapi Febe tetap jujur. Aku respek sama dia karena hal itu, Ma." Kennan balas memandang ibunya. "Aku nggak ngomong sama keluarga karena merasa itu sama sekali nggak perlu. Untuk apa? Waktu itu, yang kupikirin sama kesehatan Mama. Lagian, yang mau nikah kan aku. Aku bisa nerima masa lalu Febe. Jadi, apa masalahnya?"

Lydia memelotot. "Apa masalahnya kamu bilang, Ken?"

Kennan menahan diri agar tidak bicara dengan nada tajam pada ibunya. "Ma, kalau kita bisa balik lagi ke masa lalu, aku tetap milih untuk nikah sama Febe. Aku bahagia, Ma. Nggak masuk akal, kan? Kami nikah karena terpaksa tapi nyatanya Febe jauh lebih baik dibanding bayanganku. Bahkan jauh lebih oke dibanding Irina. Sekarang, aku bersyukur karena ditinggal kabur dan hampir batal nikah. Karena aku jadi tau kayak apa calon istri yang hampir kunikahi."

Semua orang tampak kaget karena kata-kata Kennan. Lelaki itu nyaris tertawa melihat Sacha melongo dengan ekspresi yang menggelikan.

"Ma, seorang ibu adalah cinta pertama anak laki-lakinya. Sementara seorang istri seharusnya jadi cinta terakhir untuk suaminya. Sekali lagi kuulangi. Aku bahagia nikah sama Febe, Ma. Seharusnya, itu alasan yang lebih dari cukup untuk mendukungku. Tolong, jangan korek-korek masa lalu yang udah nggak ada artinya itu."

Lagu : Feel (Robbie Williams)

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Where stories live. Discover now