Prolog

1.2K 74 16
                                    

Aku pikir gadis semanis kamu gak mampu menciptakan luka sepahit ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku pikir gadis semanis kamu gak mampu menciptakan luka sepahit ini.

***

"Sebenarnya lo kenapa, sih?" Saat itu--detik di mana batas kesabaran Elang telah mencapai puncaknya--dia akhirnya mulai menatap kesal ke arah Rania. Mata dengan manik sehitam arang itu tampak frustasi sewaktu menemukan gadis di sebelahnya lagi-lagi hanya diam saja dengan menundukkan kepala.Elang tidak ingat lagi entah sudah kali keberapa ia menyerang Rania dengan pertanyaan yang sama. Kenapa Rania mendiamkannya lebih dari dua hari? Kenapa Rania bersikap cuek kepadanya?

Memang, Rania tak pernah jauh dari jangkauannya. Gadis itu masih ada bersamanya. Masih juga berangkat ke kantin dengannya. Namun, walaupun raga Rania masih dapat ditemukan oleh netra kelamnya, entah kenapa jiwa Rania terasa begitu jauh.

Singkatnya, Rania mulai berubah.

"Ck, jawab, Rania. Sekali aja. Ini pasti gara-gara gue punya salah sama lo, 'kan? Tapi apa? Gue gak tau letak kesalahan gue di mana kalo lo gak kasi tau." Elang mengerang kesal untuk kali kedua. Kalau dibolehkan, rasanya ingin sekali dia berteriak sekencang-kencangnya. Namun, dia bisa apa saat bukan jawaban yang ia temukan, melainkan pekikan Kayla yang terdengar? Gadis yang menjadi sahabat Rania itu tampak frustasi karena gagal memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Terakhir, Elang menyerah. Ia kembali menyandarkan punggung ke pohon ketapang, berusaha untuk mengenyahkan segala prasangka buruk yang kerap terlintas saat ia memejamkan mata.

Ada sesak yang tak bisa Elang jelaskan bagaimana dan di mana letak pastinya. Sejauh ini, Elang sering merasa kehilangan dan kesepian sewaktu Rania mengabaikannya.

Tidak! Elang tak bisa begini.

Usai menggeser tubuh agar lebih dekat dengan Rania hingga bahu mereka saling bersentuhan, Elang lagi-lagi membuka suara. Katanya, "Kalau lo tetap gak mau ngomong, gue juga gak bakalan mau beliin lo mi pangsit lagi."

"Elang ...." Rania akhirnya mau mengeluarkan suara lirih yang terdengar begitu lemah. Rania juga tahu dan sadar bahwa seharusnya ia tak boleh bersikap seperti ini. Bukankah dirinya sudah dewasa? Harusnya setiap masalah yang terjadi, Rania bisa mengatasinya. Rania hanya butuh bicara, menjelaskan secara pelan-pelan kepada Elang, lalu meyakinkan laki-laki itu akan keputusannya.

Semalam Rania juga sempat bertanya tentang perihal ini kepada bunda. Dan wanita itu lantas memberikan jawaban yang sungguh di luar dugaannya.

"Pilihlah keputusan yang kamu anggap benar, Sayang. Setidaknya untuk hari ke depan, kamu gak akan pernah menyesalinya."

"Huh, diancam gitu baru mau ngomong," dengkus Elang sambil memicingkan mata.

Di sini, Rania tidak berhak untuk balas mengatai Elang. Bahkan di saat ia memutuskan untuk bicara itu bukanlah semata-mata karena mi pangsit Mbak Imas yang sangat disukainya. Rania hanya ingin menyelesaikan semuanya. Membereskan tiap lilitan masalah yang meremukkan hati dari hari ke hari. Juga melepaskan semua ikatan yang membelenggu diri.

"Kamu pernah bilang, 'kan, kalo hidup ini singkat? Jadi selagi kita mampu, maka kita harus mencari kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya. Dan setelah aku mencarinya, akhirnya aku menemukan seseorang yang benar-benar pantas buat aku bahagia."

Pohon ketapang ini adalah saksinya. Saat di mana Elang mengulum senyum dan merona begitu saja usai mendengar kalimat dari gadis yang duduk di sebelahnya. Ada satu titik di dada Elang yang berubah hangat. Perasaannya lantas berangsur tenang. "Oh, ternyata ini penyebab lo diemin gue lebih dari dua hari?" Elang menyugar rambutnya ke belakang dengan gerak lambat. Menggunakan gaya pasti, laki-laki itu terdengar melanjutkan kembali ucapannya. "Gue tau, pasti selama dua hari ini lo lagi mikir tentang kalimat ini, 'kan?"

Tidak. Bukan itu.

Jika dibolehkan, Rania ingin menggeleng detik ini juga. Namun, rasa-rasanya ia tak kuasa untuk mematahkan hati Elang yang jelas-jelas masih menjadi pacarnya. Rania tak mampu mematikan lilin yang baru saja Elang nyalakan untuk menerangi gelapnya. Rania juga tak sanggup menghilangkan senyum Elang yang jelas-jelas telah merambat hingga ke sudut matanya.

Dan di balik itu semua, Rania juga tidak ingin terus-terusan memberi Elang harapan. Laki-laki itu pantas bahagia tanpa harus dibaluti dengan kepura-puraan. Maka dari itu, Rania berkata, "Maaf, Elang. Orang yang aku maksud itu ... bukan kamu."

Katakan, adakah yang lebih mengejutkan Elang selain dari jawaban Rania barusan?

***

Gimana sama prolognya? Masih mau lanjut baca?

Salam hangat,

dariku untukmu

EPIPHANYWhere stories live. Discover now