29. Apa yang Terjadi?

158 18 0
                                    

"Ck, jangan ngadi-ngadi, deh, lo. Mana mungkin mereka berantem," tukas Rania cepat.

"Engga, Ran," Kayla menggeleng dan melebarkan kedua matanya, "serius itu mereka." Melihat tidak ada reaksi sama sekali dari Rania, alhasil Kayla pun berniat untuk mengajaknya ke sana.

"Gak mau. Ini aja kita udah telat masuk kelas, Kay. Mungkin lo salah denger kali." Begitu ucapnya yang ternyata tetap pada pendirian. Namun, Kayla tidak kehabisan akal.

Dengan wajah serius seolah benar apa yang barusan ia ucapkan, gadis itu berkata, "Oke. Kalau lo gak mau, biar gue aja ke sana. Gue berharap semoga enggak seperti kata lo. Tapi kalau seandainya itu benar ... " Kayla sengaja menggantung kalimatnya. Untuk lanjutan, ia hanya tersenyum sinis dan menggelengkan kepalanya. Kayla memaksa lepas tangannya dari Rania. Dan setelah itu terjadi, Kayla langsung berlari ke arah lorong belakang gudang. Wajahnya berubah panik sekaligus terkejut atas apa yang baru saja ia lihat. Dugaannya tepat, tak meleset sedikit pun. Fiki dan Elang benar-benar berada di sana.

"ASTAGA! FIKI! ELANG!"

Melihat Kayla yang antusias berteriak, kontan Rania pun juga ikut memutuskan lari ke arah sana. Dirinya memang tak tenang sejak tadi. Dan pada saat melihat Fiki yang memegang kerah seragam Elang dan menonjok wajahnya dengan menggila, Rania tidak lagi ikut berteriak. Dia nekat berdiri tepat di tengah-tengah mereka, berusaha untuk melerai. Baiknya, Fiki cepat melepaskan Elang dan Kayla segera merapat ke arahnya. Sementara itu, Elang yang tidak kuat berdiri tiba-tiba terjatuh. Laki-laki itu masih sadar. Hanya saja, ia butuh ruang untuk tempatnya bersandar.

Rania lantas juga ikut duduk di sebelahnya, memegang lengan Elang. Saat mendongak, ia langsung mencari manik mata Fiki dan membidik tepat padanya. "Fiki, lo apa-apaan, sih?"

Sama halnya dengan Rania, Fiki pun merasakan hal yang sama. Emosinya belum stabil. Deru napasnya juga belum teratur. Namun, ia berbeda dengan Elang. Jika saat ini Elang terkulai lemah, maka Fiki malah sebaliknya. Kedua tangannya masih erat terkepal walau Kayla telah berusaha mati-matian untuk menenangkannya.

"Ran, jangan marahi Fiki. Dia gak salah," ucap Elang dengan suara lemah. Laki-laki itu meliriknya sekilas, hingga akhirnya memilih untuk memejamkan mata.

Rania menoleh yang sialnya tampak seperti memberikan peluang untuk luka di hatinya. Melihat Elang bonyok dengan lebam sana-sini, membuat Rania tak kuasa untuk tidak mencemaskannya. "Tapi, Lang--" Rania tak pernah sanggup untuk meneruskan kalimatnya. Suaranya tercekat dan dibiarkan olehnya begitu saja. Rania ingin marah, tapi kepada siapa?

"Kita ke UKS dulu," ucap Rania. Alhasil ia lebih memilih untuk meredam gejolak emosi yang dirasainya. "Tapi janji, Lang, habis ini kamu harus jelasin semuanya ke aku."

"Gue rasa ini gak bakalan mudah, Ran." Kayla menimpal sambil memijit pangkal hidung. Perlahan dia mengembuskan napas. Sebelum akhirnya kalimat yang sejak tadi ia pikirkan muncul satu-satu dari mulutnya. "Kita udah terlambat lima belas menit kelasnya Bu Meka. Jadi, ya, siap-siap aja kita dijemur di lapangan."

* * *

Perkataan Kayla benar-benar dikabulkan oleh Tuhan. Di bawah langit yang bersih tanpa awan, terlihat Rania dan Kayla berdiri di lapangan. Keduanya mendongak dengan telapak tangan masing-masing terangkat, membentuk sebuah sikap menghormati bendera. Namun, bukan hanya mereka saja. Tepat di sisi kanan dan kiri, dua sosok lainnya juga ikut berdiri. Mereka adalah Fiki dan Elang. Bukan tentang kasus terlambat masuk, tapi karena Pak Ramli lebih dulu menemukan mereka. Dan Elang yang kemarin sempat berkelahi dengan Raka, sekalian saja dihukum olehnya.

Peluh mulai bercucuran. Seolah semesta juga ikut memarahi, maka tak ada sedikit pun sapuan angin yang menghampiri. Singkatnya, ini adalah hari yang menyebalkan. Kayla berdecak, lalu menghentak-hentakkan kakinya dengan kelas. "Fiki, panas banget astaga," rengek Kayla tak santai, "mana haus lagi."

Lalu tangan Fiki yang satunya lagi terangkat, menyeka sedikit keringat yang mengalir di wajah merahnya Kayla. "Sabar, ya. Abis ini aku beliin kamu minum."

Rania yang berdiri di samping kiri Kayla seketika menggigit bibir bawahnya. Ia melirik ke arah Elang yang tampak datar menatap ke atas. "Elang, aku kepanasan ini. Haus juga." Haha, Rania mengatakan hal yang sama. Seketika itu pula wajahnya tersipu malu sewaktu membayangkan Elang mengusap keringat di dahinya seperti yang Fiki lakukan seperti tadi.

Namun, nyatanya semua harapan itu dipaksa punah. Hanya untuk mendengar Elang balas berkata, "Emangnya lo pikir gue kaga?"

Duh! Rania bersungut kesal. Kenapa susah sekali untuk membuat Elang berkata lembut dan manis kepadanya? Di sampingnya, terdengar suara tawa Kayla. Gadis itu menyenggol lengannya, berbisik, "Pawang kita beda otak, Ran," sindir Kayla yang dibalas dengan tatapan tajam dari Rania.

Tepat sekali. Setelah Kayla menyelesaikan ucapannya, bel kembali berbunyi. Rania dan Kayla sama-sama bernapas lega. Jam pelajaran Bu Meka akhirnya berakhir sudah. Seperti perjanjian awal, maka keduanya pun diperbolehkan untuk istirahat.

"Yah, yah!" Elang berseru tak terima saat melihat Kayla dan Rania menjauh dari lapangan. Kedua gadis itu berteduh di bawah pohon ketapang. Mengeringkan keringat dengan sapuan-sapuan angin yang ada di sekitarnya. Dan akhirnya, Pak Ramli mulai menampakkan batang hidungnya. Pria botak bermata sipit itu seketika memberikan Fiki dan Elang ceramah. Mereka mendengarkan, seolah tampak serius dengan sesekali menganggukkan kepala. "Baik, hukuman kalian selesai. Ingat, untuk besok jangan diulangi lagi." Percakapan ditutup dan Pak Ramli hengkang dari lapangan.

"Akhirnya ... " Elang lagi-lagi berseru panjang, lega. Mereka mendekat ke arah dua gadis yang tengah berselonjor sambil mengobrol ringan.

"Kayla, jadi beli minum?"

"Jadi-jadi," angguk Kayla antusias. Dia ikut berdiri di sebelah Fiki, menggelayuti lengannya tanpa sungkan. "Lo mau minum apa, Ran?"

"Terserah yang penting dingin," jawab Rania tak ingin berpikir.

"Lo?" Bukan Kayla, melainkan Fiki. Suaranya yang dingin dan tatapannya yang datar, adalah bukti nyata bahwa laki-laki itu belum ingin berdamai dengan Elang.

"Samain aja sama lo," balas Elang yang tidak mengedipkan matanya sama sekali. Bahkan saat sepasang kekasih itu hilang di ujung jalan, Elang masih terus memandanginya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?"

* * *

EPIPHANYWhere stories live. Discover now