9. I Need You

226 28 6
                                    

"Makasih udah mau khawatirin aku, Elang."

Namun, laki-laki itu tampak terusik ketika mendengarnya. Ia menoleh dan memperlihatkan wajah kerasnya ke arah Rania. "Apaan, sih, ngomong kaya gitu?" tanya Elang yang jelas-jelas langsung memasang ekspresi tak suka, "lo cewek gue, jadi wajarlah gue khawatir. Mau gue lagi marah atau kesal sama lo, tapi tetap aja gue gak mau lo kenapa-kenapa."

"Lang, aku--" Sial. Ia tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Tenggorokannya perih, seolah dicekat oleh sesuatu yang erat. Terakhir, ia hanya bisa terdiam bodoh. Kalimat 'aku sayang kamu' pun kembali tertelan dan tersimpan rapi dalam hatinya. Kini, ia membiarkan kedua matanya yang berbicara. Rania menangis dalam senyum tipis.

"Eh, kenapa nangis?" Elang mempertipis jarak di antara mereka. Wajahnya berubah pias. Sedikit lebih khawatir saat hidung gadisnya berubah warna semerah tomat. "Hapus-hapus. Jangan nangis lagi, ah."

Gadis itu mengangguk, kemudian menyeka sendiri air mata sialan yang membasahi pipinya. "Maaf," cicitnya begitu pelan.

Lantas, Elang menghela napas lelah. Netranya yang berwarna hitam kelam, dibawa memandangi wajah Rania yang saat ia tengah menundukkan kepala. Selalu seperti ini. Bagi Elang, Rania akan selalu terlihat cantik walau bagaimanapun dirinya. Walau mata lebarnya berkaca, walau hidung mancungnya memerah, walau dagu lancipnya bergetar, Rania tetap yang terindah baginya. Elang tak tahu kapan dirinya mulai mencintai Rania sedalam ini. Yang ia tahu, mendadak dirinya merasa cemburu saat ada laki-laki lain di sekitarnya. Dan ketika pacarnya ini tersenyum, rasa-rasanya dia ingin segera menyembunyikan gadis itu dari siapa saja. Elang ingin melihat Rania hanya untuknya, dan selalu miliknya.

Dan detik ini, Elang tak tahu apa yang telah merasukinya. Tangan kanannya pelan-pelan bergerak, lalu menyentuh pipi Rania dengan gerak lembut. Kemudian ia memutar wajah Rania agar berhadapan dengannya. Saat netra keduanya bertembung, ia pun langsung berbisik, "Jangan nangis lagi. Gue gak suka liatnya." Elang mengelus kedua belah pipi Rania. Memakai jempolnya, ia pun membersihkan sisa-sisa air mata yang masih bisa ditangkap olehnya. Jantungnya kontan berdebar cepat. Nyaris jatuh dan tergeletak di tanah. Dan dirinya pun yakin bahwa Rania juga merasakan hal yang sama.

"Habisnya ... kamu romantis banget malam ini."

Ah, sial! Bukan itu yang ingin Elang dengar. Maka setelahnya, ia pun berdecak. Wajah lembut dan tenang yang beberapa detik tadi ia pasang, kembali dilepas dan memperlihatkan wajah aslinya. Pun tangan yang tadinya bermain lembut di pipi Rania, kini malah beralih ke atas untuk menepuk puncak kepalanya. "Jadi lo suka gue kaya gini, hah!? Elang yang kasar dan gak bisa romantis. Gitu?" tanya Elang kembali cerewet.

Alhasil, gadis manis ini pun tertawa hingga kedua bahunya terguncang. Ia memang menyukai Elang yang romantis, tapi Elang yang emosian, gampang kesal, dan cerewet itu, juga tak kalah menarik hatinya.

"Ck, pake ketawa lagi," omel Elang kesal. Ia pun memutuskan untuk menatap bulan saja. Menarik kedua lutut dan memeluknya, Elang melayangkan pandangannya ke atas. Namun, sesuatu terasa mengenai bahunya. Elang menoleh, hanya untuk menemukan pemilik tawa tadi yang kini tengah bersandar padanya.

Pun senyum kecil tertarik pada bibirnya, muncul bersamaan dengan Rania yang bertanya, "Kamu udah gak marah lagi, 'kan, sama aku?"

"Hm."

"Udah gak kesel lagi, 'kan?"

"Iya."

EPIPHANYWhere stories live. Discover now