44. Tentang Rasa Sayang

134 15 0
                                    

Setelah memastikan semua bunga selesai disiram dan mendapatkan air yang cukup, kini Rania memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Rania duduk sendirian pada kursi rotan yang terdapat di teras. Melalui celah gerbang, Rania menatap jalanan yang semakin sore semakin banyak dilalui oleh kendaraan. Sesekali anak-anak di kompleks perumahan terlihat bergerombol memenuhi seisi jalan. Rania menebak bahwa sore-sore begini tujuan mereka adalah lapangan bola dekat stasiun kereta.

Dulu sewaktu seumuran mereka, Rania juga sering bermain ke lapangan bola. Entah sekedar berlari-larian, bermain layangan, ataupun duduk manis sambil menonton teman-teman cowok tanding bola kaki. Rania tertawa miris. Mendadak dirinya merindukan akan semua kenangan yang tertinggal di Bandung sana. Kepada teman-teman sepermainan, entah di mana mereka sekarang. Kepada teman-teman sekolah, apakah mereka masih mengingat dirinya?

Sungguh Rania teramat sangat merindukan kenangan indah masa kecilnya dulu. Namun, jika ditanya apakah dirinya masih ingin kembali ke sana, maka jawabannya adalah tidak. Selain kenangan manis, Rania juga meninggalkan banyak kenangan pahit. Tentang ayah yang meninggal karena kecelakaan, juga tentang Vernon yang hilang di lautan.

"Hm, anaknya Bunda lagi ngapain, nih?"

Rania menoleh dan menemukan Luna dengan sepiring gorengan juga saus di masing-masing tangan. Sebelum menjawab, Rania lebih dulu berdiri untuk mengambil gorengan bawaan Luna dengan membantu meletakkannya di atas meja. "Lagi nyantai aja, Bun. Capek abis nyiram bunga," keluh Rania sambil menyeka keringat yang dirasa hampir menetes dari dagunya.

"Rajinnya anak gadis Bunda," puji Luna membuat Rania tertawa kecil karenanya. "Nih, biar kamu semangat nyetrika malam nanti, Bunda udah siapin kamu gorengan lengkap dengan saus tomat kesukaan kamu."

"Bunda ...." Rania merengek sambil mengerucutkan bibir. Ia menatap Luna dengan sorot memelas. Lihatlah, ia baru saja selesai menyiram bunga, mandi pun belum juga. Dan sekarang, bisa-bisanya Bunda mengingatkan dirinya tentang baju yang belum disetrika.

Sementara itu, Luna malah asyik tertawa. "Bercanda, Sayang," akunya yang seketika membuat Rania menghela napas lega.

Kini tangan Rania bergerak mencomot sepotong tempe goreng dan mencocolnya dengan saus tomat. Pada gigitan pertama, Rania bisa merasakan kerenyahan dari tempe, serta rasa pedas dari saus. Ini adalah satu kesukaan Rania di sore hari. Selain mengenyangkan, menikmati gorengan bersama Bunda tanpa sadar membuat perasaannya berangsur tenang. Sejenak Rania melupakan tentang beban pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini yang ingin ia lakukan hanyalah menghabiskan semua gorengan hingga ke kerak-keraknya. Rania ketagihan.

Pada kursi satunya, terlihat Luna juga melakukan hal yang sama. Dia mengambil sepotong bakwan yang tampak renyah bahkan sebelum kita menggigitnya. Karena tidak suka saus, maka Luna langsung memakannya. Ini juga tidak kalah enak, tidak kalah pedas.

"Bun, Rania boleh nanya sesuatu gak?"

Bunda menatapnya dengan kening beriak pelan. "Tentu boleh, dong. Mau nanya apa nih?"

Tempe goreng yang berada dalam mulut berhasil ditelan. Rania menarik sehelai tisu yang kebetulan ada di atas meja untuk mengelap minyak yang sedikit menempel di tangan. Kini gurat wajahnya refleks berubah serius. Membuat Luna semakin bingung akan perubahan dari anak gadisnya.

Entah sejak kapan tepatnya, yang pasti saat ini hujan telah membungkus area sekelilingnya. Dari arah barat, corak berwarna oranye masih terlihat walau samar. Karena dingin ditambah angin, membuat awan yang berwarna abu-abu gelap itu segera menutupi corak indah oranye dalam seperkian detik. Hujan bertambah deras. Sore semakin gelap, dan angin terasa dingin. Alih-alih berlari ke dalam, keduanya malah tidak beranjak selangkah pun dari tempatnya.

"Menurut Bunda, seberapa besar sayangnya Elang ke Rania?"

Luna dibuat diam selama beberapa detik. Pertanyaan yang datang dari mulut putrinya sungguh mengejutkan. Dia harus memutar otak, memilih dan memilah berbagai kata untuk disusun sedemikian rupa. Usai dirasa kalau dirinya berhasil merangkai banyak kata yang mudah dicerna, barulah Luna mengeluarkan suara. "Untuk seorang anak laki-laki secuek Elang, menghadapi anak gadis yang menstruasi bukanlah sebuah hal yang mudah. Tapi, Rania, Elang mampu melakukannya. Kamu ingat, setiap bulan saat kamu mens, Elang pasti akan menyisihkan satu harinya hanya untuk menemanimu sampai petang."

Tentu saja Rania mengingatnya. Untuk yang satu ini, Rania akui bahwa Elang memang sehebat itu. Dia mampu bertahan sehari penuh dengannya. Mampu menghadapi tingkah serta moodnya yang jauh dari kata baik-baik saja.

"Hanya demi takut kehilanganmu, Elang berusaha keras belajar gitar. Katanya, 'kamu perlu cowo romantis', 'kan? Maka Elang juga menyanggupinya."

Itu benar, dan Rania pun tampak menganggukkan kepala.

"Kamu ingat, Rania, saat pertama kali kamu Bunda tinggal sendirian di rumah karena Bunda pergi ke luar kota? Saat kamu tiba-tiba ketakutan dan gak bisa tidur lagi, siapa yang kamu panggil ke rumah pukul satu malam?"

Hati Rania terasa panas mencelus. Mendadak kedua pupil matanya berubah sembab. Tak lama setelahnya, sedikit demi sedikit tampak air mengenang di bawah kelopaknya. Kejadian itu ... bagaimana Rania bisa melupakannya?

"Elang, 'kan? Waktu itu juga lagi hujan deras, tapi Elang tetap menyanggupi datang ke rumah." Luna diam. Sebentar memberi jeda lantaran melihat perubahan kontras yang terjadi pada anak gadisnya. "Rania, kalau kamu lupa, cuma Elang satu-satunya orang yang berani panjat pagar rumah hanya karena khawatir kamu demam. Cuma Elang yang rela panas-panasan demi menemanimu menikmati semangkuk mi pangsit pinggir jalan."

Dari balik gerbang, terlihat lampu jalan menyala terang. Menerpa wajah anak-anak yang hendak kembali pulang. Rania menunduk bertepatan dengan kedua lututnya bergetar pelan. Kata demi kata Bunda ucapkan berhasil menyentuh hingga ke hatinya. Rania ingin menangis, tapi sebisa mungkin ditahan.

"Lihat Bunda, Rania." Ternyata wanita ini belum selesai berbicara. Rania tidak bisa menebak entah tentang apa lagi yang akan Bunda katakan. Tapi Rania berani bertaruh satu hal. Bahwa kalimat berikut dari Bunda, pasti akan mengacaukan seluruh perasaannya. "Setelah semua pengorbanan Elang ke kamu telah Bunda jabarkan, Bunda mau tanya satu hal. Seberapa besar sayangnya Elang ke kamu, Rania?"

Sepasang mata yang digelayuti bulu-bulu lentik itu balas menatap Luna dengan tidak percaya. Pertanyaan ini adalah punca di mana benang kusut itu dimulai. Dan sekarang, Luna mengembalikan pertanyaan itu kepadanya. Rania terdiam cukup lama. Bingung harus menjawab apa. Di saat bibirnya terasa berat digerakkan, Rania malah menemukan jawabannya. "Rania gak tau, Bunda," air mata yang mati-matian ditahan, akhirnya jatuh juga, "tapi Rania tau satu hal. Bahwa Elang sangat menyayangi Rania."

Detik berikutnya, kedua sudut bibir Luna tertarik ke atas. Dia tersenyum mafhum. "Sekarang Bunda tau kenapa kamu bertanya seperti itu. Kamu pasti meragukan sayangnya Elang ke kamu, 'kan?" Rania mengangguk. Memang benar apa Bunda katakan.

"Bunda ngerti, Rania. Bunda paham. Dulu kamu pernah bilang bahwa kamu hanya akan mencintai laki-laki dengan sifat sama seperti yang ayahmu punya. Perhatian, pengertian, juga gak gampang marah. Bunda juga tau kenapa kamu susah sekali untuk melupakan Vernon. Karena anak laki-laki itu, jelas mempunyai semua sifat yang telah Bunda sebutkan."

"Tapi Rania, walau Elang kurang perhatiannya, walau Elang kurang pengertiannya, walau Elang mudah marahnya, tapi jelas sekali kalau Elang mempunyai salah satu sifat ayahmu yang membuat Bunda begitu mencintainya sampai sekarang. Mereka sama-sama mempunyai rasa sayang yang begitu besar kepada pasangannya. Mereka setia, Rania."

Hancur sudah semua benteng pertahanan Rania. Di bawah langit gelap dengan tetes hujan bersamanya, Rania seharusnya memutar kembali pertanyaannya. Bukan tentang seberapa sayang Elang kepadanya, tapi tentang seberapa sayangnya dia kepada Elang.

* * *

EPIPHANYDonde viven las historias. Descúbrelo ahora