50. Hilangnya Sebuah Senyuman

138 17 4
                                    

Tepat setelah bel istirahat pertama berbunyi, sinar matahari pelan-pelan mulai redup karena tertutupi awan. Rania mendongak, menatap dengan mata nyaris memicing ke arah gumpalan awan hitam yang sudah merata di atas langit sana. Sebentar lagi akan turun hujan, Rania menebak seperti itu.

Angin bertiup menyapu permukaan kulit, membuatnya tanpa sadar ikut memejamkan mata. Tubuh yang dipenuhi oleh keringat itu akhirnya memutuskan untuk tetap duduk di atas bebatuan kecil, bersandar pada pohon ketapang.

Dari tempatnya, telinga Rania sayup-sayup masih dapat mendengarkan seruan Kayla yang tak berhenti memanggil namanya. Bisa ditebak, pasti si gadis berkacamata itu masih berada di tengah-tengah lapangan, mengajak Rania untuk bermain basket bersama. Namun, keengganannyalah yang membuat Rania terus menetap di sini, tak ingin beranjak barang selangkah pun.

Tak lama kemudian--masih dengan kedua netra yang masih tertutup rapat--Rania mendadak merasakan sesuatu menyentuh sepatunya. Bukan main kagetnya Rania sewaktu membuka mata. Tepat diujung kakinya yang dijulurkan, Rania menemukan Elang. Laki-laki itu tampak berlutut, sementara tangannya bergerak lincah mengikat kembali tali sepatu Rania yang terlepas.

"Tali sepatu itu harus terus dijaga. Kalo keinjek, bisa-bisa lo bakalan jatuh." Selesai dengan urusannya, Elang pun bangkit dan berjalan sebentar. Sebelum akhirnya ikut mendudukkan diri di samping Rania. Namun, kali ini Elang tidak datang sendirian. Dia membawa sebuah gitar, memangkunya dengan senyuman lebar. Seolah paham akan kernyitan yang tercipta di dahi Rania, Elang pun langsung menjelaskan tanpa perlu ditanya. "Abis jam pelajaran seni tadi. Jadinya gue pinjem bentar ini si Fiko."

Elang terlihat mulai memetik dawainya beberapa kali. Menciptakan irama-irama rancu yang sialnya masih enak didengar telinga. Rania memang tidak paham betul tentang alat musik yang satu ini. Namun, tidak perlu berpikir dua kali untuknya mengatakan bahwa permainan gitar Elang sudah lebih baik dari sebelumnya.

Di atasnya gumpalan awan hitam terlihat semakin banyak. Membuatnya mendapati bahwa hamparan langit terlihat lebih suram dari biasanya. Hawa dingin mulai terasa di area sekitarnya. Angin pun mulai berembus secara tidak beraturan. Seolah benda itu mempunyai tangan tak terlihat yang diperintahkan untuk memeluk Rania, maka saat ini semua bulu tangan gadis itu berdiri tegang. Rania menarik uluran kaki hingga kedua lutut terlihat menyentuh dada.

"Tadi di kelas, gue orang nomor 2 setelah Fiki yang mendapatkan nilai praktek terbanyak memainkan alat musik. Gue seneng banget, sumpah! Ini pertama kalinya gue dapet nilai banyak. Biasanya nol mulu." Elang menoleh, lalu menarik kedua sudut bibirnya ke atas hingga membentuk seulas senyuman paling lebar yang ia punya. Namun, begitu ia mendapati Rania yang hanya balas tersenyum tipis, tanpa diminta pun lengkungan bibir Elang perlahan-lahan tampak hilang dengan sendirinya. "Masih belum mau ngomong? Semalaman gue kasih waktu ke lo masa belum baik-baik, sih, moodnya? Heran gue."

Air muka Elang berubah suram. Serupa sama seperti penampakan langit di atas sana. Beberapa siswi yang berlalu lalang di sekitar mereka terlihat sesekali mencuri pandang ke arah Elang, dan Rania tahu itu. Rania tidaklah bodoh untuk langsung mengatakan bahwa Elang termasuk salah satu laki-laki yang dikagumi di sekolah ini. Terlepas dari sikap cuek dan mudah marahnya, Elang tetaplah akan dilihat sebagai siswa tampan yang hobi bermain bola voli.

"Kak Elang kalo lagi ngeservis bola itu ber-damage sekali astaga."

"Aku suka waktu Kak Elang nyugar rambut. Keren parah!"


Jika sedang menunggui Elang latihan, Rania kerap mendengarkan pujian seperti itu dari beberapa mulut adik kelasnya. Yah, Elang memang terlihat sehebat dan setampan itu di mata mereka.

EPIPHANYWhere stories live. Discover now