11. Ada Apa dengan Elang?

209 21 0
                                    

Senyum di bibirnya mendadak hilang begitu saja. Jantung yang tadinya berderap kencang, seakan berhenti berdetak detik itu juga. Kedua matanya terbuka lebar. Wajah yang beberapa detik lalu tersipu malu, kini seketika berubah cemas. Rania menambah kecepatan langkah kaki. Dengan gerakan yang buru-buru, ia menghampiri Kayla yang tengah menangis di kursinya. "Kayla, kenapa?" tanya Rania sambil menempatkan diri pada kursi kosong di sebelah Kayla.

Kayla menoleh dengan mata sembab, memperlihatkan wajah berantakan yang ia punya. Pipi basah, hidung merah, dan kantung mata yang menghitam, kontan membuat Rania langsung membatin bahwa Kayla sedang tidak baik-baik saja. Setahun bersama Kayla, Rania tahu betul bahwa gadis yang telah melepaskan kacamatanya ini sangat pantang untuk menangis. Dan ketika menemukannya dalam keadaan kacau seperti ini, pantas sekali jika Rania bertanya, "Siapa yang udah nyakitin lo?"

Sebuah pelukan yang begitu erat diterima Rania detik itu juga. Bersama isak tangis yang membuncah, Rania terus membatin bahwa telah terjadi sesuatu kepada gadis di depannya. Rania mencoba untuk menenangkan Kayla dengan mengusap punggungnya secara perlahan. Menepuk-nepuk bahunya sembari berbisik lirih, "Gue ada di sini, Kay."

* * *

Keduanya masih menetap di tempat yang sama meski bel istirahat telah berbunyi sejak 2 menit yang lalu. Kini Rania dan Kayla sama-sama terdiam. Rania beranggapan kalau Kayla tengah menyusun kata yang akan dilontarkan untuknya. Karena selepas tangis tadi pagi yang kemudian dilanjutkan dengan kedatangan pengajar, Rania masih belum sempat untuk mendengarkan cerita sang sahabat.

"Sekarang cerita ke gue apa yang terjadi sama lo," tukas Rania yang merasa telah cukup bersabar untuk mendiamkan mulutnya agar tidak bertanya.

"Fiki ... " Kayla menunduk, mengembuskan napas pelan dari mulutnya, "lagi-lagi dia kasih gue harapan paslu, Ran."

Jantung Rania mencolos, terasa panas seperti baru saja disirami air mendidih ke atasnya. Di saat tangannya berinisiatif untuk menggenggam tangan Kayla yang kemudian dibalas dengan sama eratnya, gadis itu kembali melanjutkan ucapannya. "Apa gue yang udah berlebihan, ya, Ran? Gue merasa kalo Fiki itu punya rasa yang sama ke gue, tapi ternyata enggak. Gue udah kepedean, udah berharap banyak sama dia, tapi ternyata--"

"Udah, cukup. Jangan dilanjutin lagi," potong Rania yang tak kuasa untuk mendengar kelanjutannya.

Lantas Kayla terlihat mengangkat kepala. Ia menatap Rania, lalu tertawa kosong setelahnya. Bermula dari tawa kecil yang akhirnya pelan-pelan berubah menjadi tawa yang begitu keras. Kayla tampak frustasi setelah harapnya berakhir dengan kekecewaan. Kayla kembali menangis, membuat mata dan hidungnya terlihat merah seperti tomat. Dari situ Rania tahu bahwa sahabatnya begitu jauh dari kata baik-baik saja. Genggaman tangan keduanya bertambah kuat, sekuat Rania yang mencoba untuk tidak ikut menangis bersamanya. Percayalah, Rania juga merasakan sakit yang sama.

Berselang waktu setelah kondisi Kayla terlihat sedikit membaik, Rania pun mencoba untuk membawa gadis itu ke kantin. Tangis Kayla itu lama, dan Rania yakin bahwa gadis yang melangkah di sebelahnya ini juga merasakan lapar yang sama dengannya.

Menjelang 15 menit sebelum bel berakhir, kantin sekolah masih terlihat ramai. Kali ini mereka lebih memilih untuk makan di dalam saja. Dan pada saat keduanya baru saja selesai memesan makanan, seseorang memanggil salah satu dari mereka dengan suara lantang. "Pacarnya Elang Angkasa!"

Kompak menoleh, Rania dan Kayla akhirnya menemukan Elang yang tengah melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Bersama Fiki, Elang memenuhi kursi pada jalur tengah. "Sini!" teriak Elang dengan isyarat agar Rania menuju ke arahnya.

EPIPHANYWhere stories live. Discover now