1. Sore Yang Menyeramkan

441 50 12
                                    

Ops! Esta imagem não segue as nossas directrizes de conteúdo. Para continuares a publicar, por favor, remova-a ou carrega uma imagem diferente.


"Huh, kenapa, sih, Elang bisa seenaknya nyuruh-nyuruh gue?" Rania mendengkus sambil menghentakkan kakinya dengan keras. Saat ini, di tangan kanannya terdapat dua botol air mineral dingin yang dijadikan satu dalam sebuah plastik. Sedangkan tangan kirinya, digunakan untuk menyeka peluh yang berkeliaran di sekitar dahi.

Siang ini panas sekali. Bahkan mendung yang tadinya ada, mendadak hilang begitu saja. Belum lagi kekesalan Rania surut karena perubahan cuaca yang tiba-tiba, Elang pun malah ikut-ikutan membuat dirinya kesal.

"Gue haus. Pengen yang seger-seger," kata Elang sebelum Rania terdampar di depan supermarket 24 jam ini.

"Terus?" Saat itu Rania tahu bahwa Elang akan memperbudak dirinya. Namun, tetap saja Rania berpura-pura untuk tidak peka.

"Beliin minuman bentar."

Duh. Kenapa mudah sekali untuk Rania menuruti perintah Elang, sementara laki-laki itu asyik menyantaikan diri di mobil? Huh, mungkin karena Rania ringan tangan. Em, atau ... karena dirinya mudah dibodohi?

Sesaat gadis itu menggeleng-gelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran tersebut. "Ck, gue gak mudah dibodohi," desisnya sembari mempercepat langkah.

Namun, baru dua meter ia berjalan, Rania kontan menghentikan pergerakannya. Mata yang dilindungi oleh sepasang bulu lentik itu nyaris terpicing. Ia ingin memastikan bahwa indra penglihatannya masih baik-baik saja. Hingga detik di mana Rania menyimpulkan sesuatu yang mendadak mempercepat detak jantungnya, ia berteriak keras, "Elang!"

Rania berlari sekuat tenaga, tak peduli dengan dua botol air yang terlepas begitu saja. Napasnya memburu hebat, dadanya naik turun dengan tempo yang cepat.

"Elang, berhenti! Jangan gila, Lang!" Namun, laki-laki yang tengah menggila itu sama sekali tak mendengarkan teriakannya. Bahkan meskipun bisa, Rania yakin sekali bahwa Elang sengaja mengabaikannya.

"Stop! Aku bilang cukup, Elang! Berhenti!" Sial. Suara Rania serasa mau habis karena berteriak dan menangis secara bersamaan. Tenggorokannya sakit, perih.

Lalu Rania menoleh ke segala arah. Ke semua sudut ia lihat, tapi tak ada seorang pun yang lewat untuk ia mintai bantuan. Akhirnya Rania menyerah. Kedua kakinya lemah dan luruh begitu saja. Keringat kembali bercucuran. Namun, kali ini mengalir dari matanya. "Elang, please ...." Seandainya Rania memiliki tenaga yang sebanding dengan Elang, pasti dirinya akan langsung menerjang dan kembali memukuli Elang agar sama bonyoknya.

"Bangsat!" Elang melayangkan kepalan tangan hingga mendarat sempurna di pipi Raka. Tangan satunya lagi ia gunakan untuk mencengkram kerah kemeja yang laki-laki itu kenakan.

Kini keduanya telah sama-sama hancur. Elang menerima satu sobekan di bibir karena Raka meninjunya. Sedangkan Raka juga mendapati luka memar yang setimpal dari Elang. Walaupun matahari telah memberikan sengatan yang begitu panas kepada keduanya, Elang dan Raka masih belum mau menyerah. Mereka saling adu jotos, membuktikan siapa yang paling hebat.

"Raka, berhenti!"

Raka lantas menoleh, dan kaget saat menemukan Rania yang terjatuh tak jauh dari keberadaannya. Karena dirinya yang larut memperhatikan Rania, maka kesempatan itu langsung digunakan Elang untuk menendang lipatan lututnya, lalu mematikan gerakannya detik itu juga.

"Lo gak berguna, Lang. Kemarin aja pas Rania tenggelam di kolam, siapa yang nolongin dia? Gue, 'kan? Karena lo itu cemen. Lo gak bisa berenang."

Emosi Elang mendadak naik hanya karena kalimat sialan itu kembali tergiang di pikirannya. Tak peduli walau Raka sudah babak belur di tangannya. Tak peduli pula ia akan Rania yang meraung-raung untuk menghentikannya. Karena saat ini, dunia Elang hanya berporos kepada Raka seorang. Bahkan kalau bisa, Elang sangat berharap akan kematian laki-laki itu.

Di saat ia hendak meninju Raka tepat pada matanya, mendadak sesuatu mengikat perutnya dengan gerak cepat. "Jangan lagi, Lang. Aku mohon ... berhenti. Udah cukup ...."

Masih dengan napas yang saling tumpang tindih, Elang menunduk perlahan hanya untuk menemukan kedua lengan Rania yang melingkar manis di pinggangnya. Tangan itu sama bergetar dengan tubuhnya. Hingga akhirnya Elang menyadari satu hal, Rania ketakutan akan kejadian yang baru saja terekam dalam memorinya.

"Jangan diterusin .... Jangan lagi, Lang." Lirihan itu sayup-sayup masih terdengar. Dalam remang-remang mentari sore, Elang bisa merasakan sesuatu yang basah mengenai baju belakangnya.

Mungkin berhenti memang pilihan terbaik untuk saat ini. Usai memastikan Raka benar-benar sudah tak lagi berdaya, Elang dengan gerak cepat menendang perut Raka hingga membuat laki-laki itu batuk beberapa kali. "Jangan harap gue bakalan lepasin dia buat lo," desis Elang sebelum akhirnya menarik Rania untuk menjauh dari sana.

* * *

"Ini, Bang. Makasih, ya," ujar Rania tersenyum kecil seraya menyerahkan sejumlah uang untuk tukang ojek yang baru saja mengantarnya ke sekolah.

"Sama-sama, Mbak. Permisi, ya," balas tukang ojek yang kemudian berlalu dari hadapan Rania.

"Huh ...." Rania menghela napas panjang. Belum apa-apa, dirinya telah kelelahan di pagi ini. Bukan lelah fisik, sih, sebenarnya. Cuma lebih ke lelah batin.

Sejak semalam, Rania sengaja mematikan ponsel untuk menghindari Elang. Entahlah, untuk saat ini Rania seperti ingin menjaga jarak dulu dengan laki-laki pemarah tersebut. Selain takut, Rania juga kesal karena Elang telah memukuli Raka sore kemarin. Dan sewaktu Rania menanyai alasannya, Elang hanya diam saja. Bahkan ia masih ingat betul bagaimana cara Elang memutuskan kontak mata mereka.

Tengah asyik-asyiknya berjalan di lorong kelas, Rania tiba-tiba dikagetkan dengan tepukan kecil pada puncak kepalanya. Uh, sial! Rania tahu itu ulah siapa.

"Woi, maksudnya apa?" Tanpa perlu basa-basi seperti kebanyakan pasangan lainnya, Elang memutuskan untuk langsung to the point saja.

"Gak ada maksud apa-apa," jawab Rania berusaha setenang mungkin. Seolah hari ini ia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Seolah meninggalkan Elang bukanlah suatu dosa yang membuatnya langsung dilempar ke neraka.

"Berangkat ke sekolah sendiri dengan gak ngabarin gue itu gak ada maksud apa-apa lo bilang?" Elang mendengkus kesal. Matanya menatap sinis sewaktu menemukan gadis yang berjalan di sebelahnya itu menelan ludah dengan susah payah.

"Aku cuma lagi mau berangkat sendiri. Salah emang?" Rania bertanya dengan berani. Semua kata yang keluar dari mulutnya meluncur dengan sempurna. Tak ada getaran aneh, tak ada pula keringat dingin di pelipisnya. Seolah apa yang barusan ia katakan adalah sebuah kebenaran yang nyata.

"Berhenti." Bagaikan mantra, Elang dan Rania kompak berhenti dalam langkah yang sama. "Liat gue." Lagi, Rania memutar tubuh tanpa perlu Elang sentuh. Ia mendongak dan menemukan Elang yang telah lebih dulu menatap matanya. Untuk beberapa detik ke depan, keduanya sama-sama larut dalam keheningan. Jika Elang tengah mencari jawaban dari sorot mata Rania, maka gadis itu juga tengah berusaha untuk mencari alasan yang pantas untuk dilontarkan.

"Apa ini ada hubungannya sama Raka?"

* * *

Salam sayang,

dariku yang ga sabar pengen update terus

EPIPHANYOnde as histórias ganham vida. Descobre agora