16. Tidak Ada Sentuhan

198 23 0
                                    

Setelah cukup lelah di sekolah tadi, kini Elang dibuat lebih kesal lagi lantaran motornya tiba-tiba mati. Gadis yang duduk di belakangnya pun berjengkit kaget. Lantas bertanya, "Kenapa, Lang?"

"Gatau. Tiba-tiba aja mati," jawabnya bingung, "turun dulu, Ran. Biar gue periksa."

Rania patuh dan kemudian berdiri di sebelah Elang yang juga telah bangkit dari jok motor. Terlihat laki-laki itu menggaruk dagunya yang tiba-tiba gatal. Menunduk, lalu mencoba memeriksa apa yang salah pada motornya sehingga memilih untuk mati di tengah-tengah perjalanan malam ini.

"Gimana?"

"Hah ... gak tau gue apa yang salah di sini. Bensinnya masih banyak padahal." Elang menyerah dan kembali berdiri di sebelah Rania. Kedua tangannya memilih memegang pinggang. "Biarin ajalah ini. Ntar gue telepon orang bengkel buat benerin," kata Elang setelah sebelumnya melirik ke arah motor yang terparkir tak berdosa. Sambil melepaskan helm yang pacarnya pakai, ia berkata, "Nanti kita pulangnya pake taksi aja."

Namun, gadis yang sempat diam beberapa detik itu terlihat membuka suara untuk membantah perkataan Elang. "Jalan kaki aja, Lang."

Dan tangan Elang yang baru saja meletekkan helm di atas tangki motor itu berhenti bergerak. Ia menoleh ke arah Rania dengan alis tertaut. "Tapi ini udah malam, Ran. Lo gak takut?"

"Kan ada kamu. Kenapa harus takut," kekeh Rania dengan tangan yang berinisiatif melepaskan helm Elang darinya. Rania terus tersenyum, bahkan saat rambut Elang yang tampak berantakan kini disisirnya agar terlihat lebih rapi. "Udah ganteng. Yuk, jalan!"

Ditarik begitu, Elang memutuskan untuk pasrah dan berdiam diri saja. Malam ini ia ingin mengikuti semua kemauan Rania. Setelah tadi makan mi pangsit di warung Mbak Imas, dan sekarang pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Elang masih terus diam, tidak menyela sepatah kata pun saat Rania terlihat bersemangat ketika bercerita tentang bundanya yang telah mau makan bersamanya di meja makan. Atau sewaktu dia menceritakan sekilas tentang film horor yang baru saja ditontonnya.

Elang hanya diam, mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Namun, di balik itu semua Elang memutuskan untuk memandangi wajah Rania yang bertambah cantik ketika diteliti. Ah, entah karena dirinya yang kelewat bucin, atau memang karena gadis itu memiliki pesona yang tidak dimiliki oleh kebanyakan gadis di luar sana.

Mematut penampilan Rania begitu lama, akhirnya Elang menyadari bahwa malam ini dia mengikat rambutnya. Biasanya gadis itu lebih suka menggerai. Lebih nyaman, katanya. Tapi tak apa. Bagaimanapun bentuknya, asalkan itu Rania, Elang tetap suka.

Setelah puas bercerita banyak hal, Rania akhirnya mengembuskan napas lelah. Ia menoleh ke samping, lebih tepatnya ke arah Elang. "Diem aja dari tadi. Akunya kebanyakan ngomong, ya?"

"Hm, iya," sahut Elang jujur yang seketika membuat Rania tertawa. Elang bingung saat tidak menemukan lelucon ataupun candaan dalam kalimatnya. Tapi saat melihat gadis manis itu tertawa, rasa-rasanya Elang ingin jadi badut saja. Tawa Rania terlalu sukar untuk diabaikan. Detik per detik ia rekam dalam kepalanya, berharap sang waktu mau berjalan lambat untuk beberapa saat ke depan.

"Huh ...." Lagi, gadis itu mengembuskan napas panjang. Entah lelah karena tertawa, atau lelah karena harus menempuh perjalanan yang lebih lama dari biasanya.

"Capek?"

"Iya."

"Capek apa?"

EPIPHANYWhere stories live. Discover now