19. Siapa Dia?

201 24 0
                                    

Rania perlu waktu untuk ini semua. Saat Elang berhasil mencekal lengannya yang otomatis membuat kakinya berhenti berlari, ia hanya bisa menunduk dengan air mata yang siap menetes kapan saja. Rania tak ingin gegabah, tak ingin secara gamblang menunjukkan betapa menyedihkan wajahnya ketika tengah marah. Untuk alasan itu, alhasil dirinya hanya bisa bisa menunduk kaku. Membiarkan laki-laki di hadapannya frustasi sendiri.

"Ran, gue bisa jelasin soal yang tadi."

Ya, tentu saja Rania butuh penjelasan. Kenapa, mengapa, dan apa yang menyebabkan mereka harus terikat sedemikian eratnya dalam sebuah tali bernama pelukan? Namun, Rania tak ingin mendengar itu sekarang. Kepalanya bisa saja meledak jika beban hari ini semakin dipaksa masuk ke dalam sana. Ia berdehem, menyela Elang yang baru saja akan masuk ke dalam penjelasan. Pada saat demikian, Rania mencoba untuk mengangkat paksa kepalanya. Netra mereka saling bertabrakan, saling berbagi kode bahwa kedua tidak sedang baik-baik saja. Terakhir, yang perempuan berujar dengan suara penuh getaran halus yang hanya dapat Elang rasakan ketika ia benar-benar mendengarnya. "Aku ... mau ... pulang."

Debaran-debaran itu masih tersisa banyak di dalam hatinya. Desiran darah akibat jantung yang terus memompa, berhasil membuat Rania menelan ludahnya sendiri dengan kasar. Tangan-tangannya bergerak gusar, tampak nyata sewaktu ia meremas rok abu-abu hingga kusut pada beberapa bagian. Pandangannya terus mengarah ke depan, samping kiri, tapi tak kunjung menoleh ke samping kanan. Rania tak tahu di mana letak kabar baiknya sekarang. Entah saat Elang langsung menuruti kemauannya untuk segera pulang, atau saat laki-laki itu hanya memilih bungkam dan membiarkan keheningan tercipta di antara mereka selama ini.

Rania menghela napas kasar, menyadari bahwa dirinya sebentar lagi akan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya di bawah atap yang sama dengan Elang. Kedua pupilnya lantas tertutup sewaktu mobil itu berhenti karena Elang menginjak pedal remnya kuat-kuat. Rania tidak bodoh. Dia tidak ingin berlari guna untuk menghindari Elang siang ini. Dia tahu bahwa Elang akan selalu selangkah lebih maju dari dirinya. Pintu mobil masih terkunci rapat. Dan dari cara Elang melepaskan sabuk pengaman serta cara dia mendekatkan diri ke arahnya, Rania tahu bahwa laki-laki itu tidak berniat untuk membiarkannya pergi secepat itu.

Lagi, Rania menelan ludah kasar. Energinya hampir terkuras habis walau sejak tadi ia tidak melakukan apa pun. Entah ini benar atau tidak, yang pastinya Rania akan tetap memilih bungkam, menatap ke depan, bahkan saat Elang telah membuka suaranya.

"Vio nyatain perasaannya ke gue." Adalah kalimat pertama yang Rania dengar secara gamblang. Gemuruh kembali terdengar dari dadanya. Matanya tampak berpindah, menatap Elang dengan seksama. Nyatanya, Rania telah kalah akan pendiriannya untuk sekali saja mengabaikan Elang berbicara.

"Waktu itu gue mau pergi, Ran. Tapi dia meluk gue tanpa aturan. Pas mau gue lepas, elo tiba-tiba dateng dan liat semuanya."

Alhasil, Rania kembali membuang wajah ke arah samping. Debaran aneh tadi telah lenyap, tergantikan dengan gelayar kesal yang merasuki tiap relung hatinya. Rania merasa cemburu untuk kali kesekian. Walau akhirnya ia tahu, ini bukan salah Elang sepenuhnya. Karena sejatinya, Elang berhak dicintai oleh siapa saja, termasuk si cantik Viola. Namun, sepertinya laki-laki ini takkan pernah kunjung peka. Dia tidak paham bahwa gadisnya ini masih merajuk dan memerlukan sedikit bujuk rayu untuk membuat mood-nya kembali baik. Detik itu juga Elang menarik ujung hidung mancung Rania hingga membuatnya berteriak kesakitan. Dan ketika ditatap marah, Elang malah memberinya sebuah cengiran lebar.

"Au ah. Gak usah sok-sokan marah lagi lo. Udah gue jelasin semuanya juga." Dan pada akhirnya, Elang akan tetap menjadi lelaki yang selalu berakhir menyebalkan. Hingga saat mobil kembali berjalan, samar-samar Rania mendengar Elang berkata lirih.

"Iya gue tau kalo gue ini milik lo. Nanti gue bakalan usaha lebih keras lagi. Biar lo tau, kalo yang berhak sentuh-sentuh gue itu cuma lo orangnya."

* * *

Rania selalu menyukai malam di mana Kayla akan bertamu ke rumahnya. Kamar yang biasanya sepi karena dia huni sendiri, kini tampak sedikit lebih ramai dan gaduh hanya karena kehadiran Kayla semata. Gadis berkacamata yang mengenakan kemeja abu-abu itu tampak lincah mencoba lipstik milik Rania yang sore tadi ia beli. Mengharuskan si pemilik mendesah pasrah di tempatnya.

"Uhh ... warnanya bagus banget sumpah. Lo beli ini di toko mana, sih, Ran?" tanya Kayla seraya memperlihatkan benda pewarna bibir yang barusan ia coba.

"Di toko biasa, Kay," jawab Rania tanpa melepaskan mata dari handphone yang baru saja dipegangnya.

Kayla yang sedari tadi terlihat asyik bercermin kontan melebarkan kedua mata. Ia memutar tubuh menghadap ke arah Rania. Dengan ekspresi wajah yang disetel sekaget mungkin, gadis pemilik rambut sebahu itu pun bersuara. "Hey, serius? Berarti ini barang baru, ya? Kemarin gue ke sana gak ada nih lipstik."

Detik setelah Kayla benar-benar mengatupkan kedua bibir, alhasil Rania pun mengangkat kepalanya. Dirinya bangkit dan berjalan mendekati Kayla. Namun, belum pun kedua kakinya berhenti tepat di hadapan gadis tersebut, Rania tiba-tiba saja memutar tumitnya ke arah pintu. "Iya, tuh. Berarti belum rezeki lo, Kay." Begitu teriak Rania sebelum dia menghilang dari ruangan tersebut.

Kini Kayla tinggal seorang diri di sana. Setelah meletakkan lipstik yang telah membuatnya jatuh cinta pada sentuhan pertama itu di atas meja rias, dia terlihat berjalan mendekati ke arah meja belajar sahabatnya. Meja belajar Rania tidaklah mewah. Pada sisi kanan, Kayla menemukan beberapa tumpukan buku pelajaran. Lalu di sampingnya dia juga melihat banyak alat tulis yang diletakkan pada tempatnya. Namun, saat ini kedua bola mata Kayla malah dibuat terpaku pada beberapa kertas kecil yang tertempel pada jaring besi di atas meja.

Dia kembali melangkah sambil sedikit mencondongkan kepala. Usai membaca sesuatu pada notes tersebut, Kayla pun terlihat mengulaskan sebuah senyuman kecil. Ternyata temannya yang satu ini begitu mencintai dirinya sendiri. Dari apa yang telah Rania tulis, Kayla menemukan banyak kata-kata motivasi. Entah itu tentang kehidupan, tentang sesuatu yang patah dan mencoba sembuh, atau tentang cara menguatkan diri sendiri. Namun, secarik foto yang terselip di bawah notes paling sudut serta merta membuat Kayla memusatkan seluruh atensinya ke sana. Kini tangan kanannya terulur untuk menyentuh benda tersebut, lalu menariknya hingga terpisah dari jaring besi. Dengan kedua alis yang saling tertaut juga tatapan bingung sekaligus heran, Kayla menatap lekat-lekat dua sosok yang berada di dalam foto tersebut. Seorang gadis berponi dengan bando merah yang terpasang cantik pada kepalanya, kini dikenali Kayla sebagai Rania. Dia tahu bahwa itu adalah foto Rania waktu masih bersekolah di sekolah yang lama. Karena seragam yang terlihat berbeda, maka dengan mudah Kayla simpulkan hal tersebut. Namun, kebingungan yang gadis itu rasakan kini lebih dari itu. Mata Kayla terpusat pada satu titik. Tepatnya ... pada laki-laki yang berdiri di sebelahnya Rania. Laki-laki itu bukan hanya merangkul bahu Rania. Namun, dia juga mencium pipi sahabatnya dengan mesra. Pertanyaannya, siapa laki-laki tersebut?

* * *

EPIPHANYWhere stories live. Discover now