5. Tanyanya, "Kenapa?"

246 22 0
                                    

"Vio, Vio, Viola!"

Elang memukul mejanya dengan pelan saat gadis bernama Viola itu tak mendengar panggilannya sama sekali. Tidak ingin menyerah, Elang kembali mencondongkan tubuh. Matanya yang tajam, membidik Viola yang duduk di barisan paling depan. "Violaaaa," panggil Elang dengan bisikan panjang.

"Elang Angkasa, ngapain itu kamu maju-maju?" Pak Jovan yang memang tengah mengawasi ulangan Matematika pagi ini tiba-tiba menegurnya. Kaget akan hal itu, Elang langsung kicep seolah tengah tertangkap basah sedang mencuri.

Elang pun perlahan mundur dan duduk seperti sediakala. "Eng ... enggak ngapain-ngapain, Pak. Cuma lagi benerin posisi duduk," jawab Elang berbohong.

"Alesan. Duduk dengan tenang, kerjakan soal yang saya berikan, dan jangan bertanya sama siapa pun. Paham?"

"Paham, Pak." Elang menunduk malu saat semua mata menatap ke arahnya. Namun, saat menemukan Fiki yang berusaha menahan tawanya, Elang memelototkan mata. Dia kesal sekaligus marah. Kenapa tidak dirinya saja yang kebagian duduk di dekat Fiki? Kenapa harus Charlie si laki-laki tengil itu? Jadinya ia tak bisa menyalin jawaban Fiki hingga sama persis semua.

Masih dalam perasaan dilema harus mengisi apa pada lembaran jawabannya, sayup-sayup Elang seperti mendengar seseorang memanggil namanya. "Elang." Dan benar saja. Saat Elang mengangkat kepalanya, kedua netra matanya langsung menemukan si cantik Viola.

"Denger juga akhirnya," dumel Elang kesal.

"Mau jawaban, gak?" tanya Viola berbisik. Sesekali ia mengintip Pak Jovan yang mulai asyik dengan laptop di depannya. Syukurlah, sepertinya guru tersebut tidak menyadari pergerakannya.

"Maulah. Tadi aja gue panggil pura-pura budeg lo." Langsung saja Elang menyerang si pintar itu dengan mata tajamnya.

Dan Viola sama sekali tak kaget akan reaksi Elang barusan. Dengan mengerutkan bibir seolah kesal padahal sebenarnya tidak, Viola pun mendikte semua jawaban yang Elang minta. Hingga saat semuanya beres, Viola tersenyum kecil ketika Elang mengacungkan jempol ke arahnya. "Ntar di kantin seperti biasa. Oke?"

Viola mengangguk paham. Hati dan jiwanya berubah girang. Bukan karena Elang akan membayari semua makanannya, tapi ini lebih dari itu semua. Bercakap dengan Elang walau sebentar, seolah-olah mampu membuat Viola lupa akan segala susahnya soal ulangan Matematika. Dan bagaimana cara Elang menatapnya, membuat Viola merasa bangga. Bahwa di mata Elang, saat ini hanyalah ada dirinya.

* * *

Sepiring mi goreng dan segelas es teh manis adalah menu favorit Rania di kantin ini. Selain enak dan higenis, makanan yang berasal dari olahan tepung terigu ini juga terkenal murah. Setiap suapan pertama yang masuk ke dalam mulut, Rania selalu menutup mata agar bisa benar-benar menikmatinya. Mencecap semua rasa pedas dan manis yang bertemu di lidahnya, membuat Rania tak pernah bosan untuk terus menyantapnya.

"Ran, Ran."

Merasa terpanggil, Rania pun menatap Kayla sembari menaikkan kedua alisnya.

"Si Elang, tuh," tunjuk Kayla dengan dagu ke satu arah. Namun, anehnya gadis yang tengah menyantap menu yang sama sepertinya itu malah memasang ekspresi aneh. Antara bingung dan heran, sehingga Rania memutuskan untuk mengeluarkan suara.

"Terus? Kenapa dengan Elang?"

"Dia ... ke mejanya Viola," bisik Kayla setelah diam beberapa saat lamanya.

Menelan habis kunyahan mi yang masih berada dalam mulutnya, gadis berdagu lancip itu pun mengikuti arah pandang Kayla. Dan benar saja, pada salah satu meja di sudut sana, Rania menemukan Elang dan Viola. Keduanya tampak begitu dekat dengan Viola yang tak berhenti tersenyum ketika Elang berbicara. Bahkan hanya dari matanya saja, Rania dapat tahu bahwa si pintar Viola Angelina itu terlihat menyukai Elang-nya.

Lihat saja! Saat Elang terlihat ingin berdiri, dengan berani Viola menarik lengan Elang hingga membuat laki-laki itu terjatuh di sebelahnya kembali. Rania juga melihat bahwa Viola sengaja merapatkan tubuhnya dengan Elang. Berbicara lembut, bergerak lambat, hanya untuk membuat Elang terpesona akan dirinya.

Rania ... menerjemahkan hal seperti itu.

"Samperin, gih!"

Satu dorongan diterima Rania pada lengannya. Itu dari Kayla. Dan pada saat anak itu menoleh, Kayla sudah memasang tampang cemas. "Ngapain?"

"Ya ... emang lo gak cemburu liat Elang temenin Vio makan?" Dan seharusnya Kayla tidak bertanya seperti itu kepadanya. Rania bukanlah gadis yang bisa mengungkapkan apa yang dia rasa secara terang-terangan. Entah kenapa, Rania lebih suka memendam. Mungkin ini juga karena pengaruh seseorang di masa lalunya. Di mana orang tersebut begitu memahaminya tanpa perlu Rania katakan.

"Cemburu gimana, sih, Kay? Mungkin mereka lagi ngobrol aja sambil nungguin Fiki. Tuh, dari tadi dia enggak ada, 'kan?" Rania masih berpikir positif. Mungkin saja. Soalnya Rania melihat bahwa Elang tidak memperlihatkan tatapan yang sama seperti saat laki-laki itu menatapnya.

"Tapi ... lo tau, 'kan, kalau Vio itu suka sama Elang dari lama?"

Dan di situlah jantung Rania benar-benar berpacu dengan cepat. Matanya setengah melotot, seperti orang yang berusaha menahan teriakan agar tidak terlepas dari mulutnya. Sendok yang berada dalam genggamannya, tak sengaja teremas dengan kuat. Rania menahan napas beberapa waktu. Dan ketika dia hendak kembali bersuara, saat itulah Elang mendatanginya.

"Makan pedes mulu. Entar sakit perut baru tau rasa." Elang menepuk kepala Rania, salah satu kebiasan kecil yang sudah biasa ia terima. Kemudian baru setelahnya, Elang tampak menduduki kursi kosong di sebelah Rania.

Dan ketika itu berlangsung, kedua gadis yang tengah membicarakan hal penting lantas terjolak kaget. Alhasil mereka hanya diam tanpa menyahuti perkataan Elang sepatah kata pun.

Menemukan sesuatu yang aneh di antara keduanya, Elang pun merasa tertarik untuk bertanya. Ia memiringkan tubuh, menghadapkan lutut ke arah Rania. Wajahnya yang tampan kemudian dibuat sedatar mungkin olehnya. "Kenapa diam? Lagi mengheningkan cipta?"

"Eh oh," Kayla bergumam tak jelas, terlihat buru-buru meneguk es teh manisnya hingga kandas, "Fiki di mana, Lang?"

"Di perpus," jawab Elang singkat tanpa melihat Kayla. Karena detik ini, Elang berada di sebuah fase di mana Rania adalah objek menarik yang harus selalu dipandanginya. Elang tahu betul bahwa gadis yang menolak balas menatapnya itu tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Sesuatu yang entah apa pastinya, tapi sedikit membuat Elang merasakan nyeri di hati.

"Em ... gue ke sana dulu, deh," cetus Kayla yang membuat Rania mendongakkan kepala. Keduanya pun lantas bertatapan cukup lama. Berbagi kode istilahnya. Namun, di situ Elang tahu bahwa saat ini Rania melarang Kayla untuk pergi. Gadis yang menggeraikan rambutnya hari ini, tampak keberatan sewaktu Kayla benar-benar telah berdiri dari duduknya.

"Yaudah. Fiki juga lagi sendiri di sana," cetus Elang seolah-olah tengah mendukung Kayla untuk pergi.

"Ran, gue duluan, ya," cicit Kayla lalu segera berjalan keluar tanpa sempat mendengar Rania memanggilnya.

"Kenapa?"

* * *

Tbc

Semoga suka, ya.

Salam sayang,

dari penikmat kopi

EPIPHANYWhere stories live. Discover now