28. Lorong Belakang Gudang

147 18 0
                                    

Kendaraan itu melaju dengan kecepatan normal di atas jalanan beraspal. Perjalanan sejauh 3 km ditempuh olehnya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut masing-masing. Debu-debu jalanan, asap knalpot, serta deretan penjual kaki lima, menjadi saksi atas diamnya Elang serta Rania. Keduanya sibuk oleh pikiran masing-masing. Bahkan peluh-peluh keringat tak lagi dihapus. Dibiarkan begitu saja, hingga belaian angin membuatnya mengering.

Perjalanan sejauh 3 km yang ditempuh dalam diam itu akhirnya selesai. Kendaraan roda dua yang tadinya melaju di atas jalanan beraspal kini berhenti tepat di depan rumah berpagar hitam. Rania turun, lalu melepaskan helm dan mengangsurkan ke arah Elang. "Makasih, Lang," ucap Rania sambil melihat laki-laki itu yang meletakkan benda pemberiannya di depan dasbor.

"Bentar," tukas Elang tiba-tiba. Tampaklah Elang yang juga ikut melepaskan helm full face favoritnya. Dia turun untuk kemudian menjulang tinggi di sebelah motornya. "Sini dulu." Elang menarik lengan kanan Rania agar gadis itu bisa lebih dekat ke arahnya.

Belum pun kerutan di dahi Rania berkurang, Elang kembali lagi meraih pipinya. Manik laki-laki itu menelisik jauh, meneliti lebih detail pada garis-garis merah yang terlihat samar pada pipinya. "Sialan, si kutu badak," Elang mengumpat dengan wajah memerah karena marah, "bisa-bisanya dia buat kasar sama lo."

"Udah, Lang," balas Rania memilih bersikap tenang. Dia meraih tangan Elang yang masih berada di pipi, menurunkannya. Rania tahu bahwa Elang tengah mengkhawatirkan keadaannya.

"Kalian ngomongin apaan, sih, sampe Raka bisa begitu? Terakhir gue liat dia bener-bener gila, ya, pas tau kalau Tania meninggal."

"Ih, mulutnya," desis Rania tak suka.

"Kan bener kalau dia gila. Emang stres tuh orang," sungut Elang masih pada topik pikirannya.

Karena lelah, Rania akhirnya memilih untuk mengalah. Alhasil dia pun menceritakan awal kejadian hingga berakhir dengan Raka yang menampar pipinya. "Gitu, Lang. Aku ... gak salah, 'kan?" Rania bertanya ragu. Jemari yang masih digenggam Elang perlahan basah oleh keringat dinginnya.

Terlihat laki-laki di depannya menyunggingkan senyum paling lebar yang ia punya. Wajahnya merekah, amarah yang sempat muncul beberapa saat lalu perlahan menguap ke udara. Elang lantas menepuk-nepuk puncak kepala Rania tiga kali. Bangga sekaligus takjub akan keberanian Rania. "Lo gak salah," aku Elang dengan wajah paling santai, "gue bangga malahan. Akhirnya lo bisa tegas juga sama dia."

Ah, syukurlah. Rania mengusap dada. Akhirnya ia bisa menghela napas lega. Kalau boleh jujur, Rania masih takut sampai sekarang. Dia masih bisa mengingat dengan jelas wajah tersangar Raka. Dirinya seperti baru saja melihat sisi gelap yang laki-laki itu punya. Namun, saat Elang menggenggam tangannya, saat laki-laki ini tersenyum lebar hingga menampakkan garis melengkung pada pipinya, serta saat dia menepuk puncak kepalanya, Rania pun tahu. Bahwa ketakutan yang ia punya sungguh tidak berarti apa-apa.

"Makasih, Lang." Begitu ucapnya tiba-tiba. Kata itu terlintas serta terlontar begitu saja di tengah rasa bahagianya.

"Hah, buat apa?" bingung Elang tak paham.

"Karena udah mau selalu ada buat aku," jawab Rania lancar tanpa hambatan.

"Gue selalu ada buat lo karena lo cewek gue, cebol. Gue jagain lo kaya tadi, rela berantem sampe tulang gue rasanya mau patah itu karena gue sayang sama lo. Mana rela gue liat lo ditampar-tampar sama dia. Paham?" Rania mengangguk cepat. Penjelasan Elang telah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa laki-laki yang mempunyai mulut agak 'kasar' ini memang sungguh telah menyayanginya. Elang merelakan separuh kesehatannya hanya untuk menjaga dirinya agar selalu baik-baik saja.

EPIPHANYWhere stories live. Discover now