12. Lagi-lagi Dia

212 24 0
                                    

Suara televisi mengubah malam yang awalnya sunyi menjadi sedikit lebih ramai. Dalam diam, Rania berserta Luna yang duduk saling berdempetan tampak memperhatikan aktor Dimas Anggara yang tengah melakoni sebuah peran. Laki-laki itu terlihat mengeraskan suara pada lawan mainnya, membuat Luna tak sengaja meringis ketika melihatnya.

"Kenapa, Bun?" tanya Rania menyadari suara yang barusan Luna keluarkan.

"Itu ... kasian banget ceweknya dimarahin," jelas Luna tanpa melihat ke arah Rania yang diam-diam tertawa tanpa suara di tempatnya.

"Salah sendiri, dong, dia karna udah buat si cowok marah," celetuk Rania setelahnya. Kemudian, ia terlihat merapatkan duduknya ke arah Luna dan memeluk lengan wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. "Rania seneng karena Bunda bisa temenin Rania malam ini." Gadis itu menjatuhkan kepala pada bahu Luna. Sejenak, bau rambut Luna tercium harum, memasuki rongga penciumannya.

"Iya, Bunda tau kalau Bunda sering sibuk akhir-akhir ini. Maafin, ya," ucap Luna tersenyum simpul.

"Maafnya bisa diganti dengan sarapan besoknya bareng-bareng gak, Bun?"

Luna terdiam saat itu juga. Pupil yang awalnya mengarah ke benda segi sempat di depannya, kini lantas berpindah arah. Wanita itu memandangi Rania cukup lama. Dari mata putrinya, Luna menemukan sebuah harapan yang menolak untuk dipatahkan. Dari senyuman putrinya yang mengembang, ia juga menemukan sebuah cinta yang begitu tulus adanya. Luna menelan saliva guna membasahi tenggorokannya yang mengering. Pun dengan tekad bulat tak lupa untuk menepiskan segala rasa ganjil yang ada di hatinya, ia kontan berkata, "Iya. Besok kita sarapan bareng-bareng."

Dan pada saat itu terjadi, Rania terlihat tak bisa untuk menampung rasa bahagianya lagi. Seulas senyuman terpampang lebar pada bibirnya. Kedua matanya juga terlihat berbinar. "Seriusan, Bun?" tanya Rania yang merasa perlu untuk memastikan apa yang barusan didengarnya.

"Huum. Serius," jawab Luna disertai anggukan kecil darinya.

"Makasih, Bunda." Dengan gerak refleks, Rania mendekap Luna detik itu juga. Percayalah, saat ini dirinya tak bisa lagi menahan bibirnya untuk tidak tersenyum lebar. Wajahnya berubah semringah, terukir indah dari bibir yang juga menyipit pada sudut matanya.

"Sama-sama, Sayang."

Detik selanjutnya, Rania tampak bangkit dari duduknya. Katanya, ia haus. Baru setelahnya gadis yang memakai piyama berwarna hitam itu melenggang pergi ke arah dapur. Namun, baru saja ketika cairan bening dingin yang diambilnya dari kulkas terlihat mengairi kerongkongan, bel rumahnya berbunyi. Dari dapur Rania menemukan Luna yang bergerak ke arah pintu utama untuk menyambut tamu yang telah dibukakan pintu olehnya.

"Eh, Nak Elang. Masuk, Nak, masuk."

Rania tersedak oleh minuman yang belum sempat mendarat sempurna pada tempat seharusnya. Kedua matanya melebar, lalu sedetik kemudian bertanya dengan nada berupa teriakan, "Siapa, Bun?"

"Elang," jawab Luna setelah sepintas menoleh ke arahnya, "masuk, Nak. Ranianya ada, kok."

Embusan kasar lolos begitu saja dari mulutnya. Dan benar saja, saat pintu dibuka lebih lebar, Rania akhirnya menemukan Elang yang mengekori Bundanya. Kedua mata gadis itu sengaja dibuat tajam saat tak sengaja bertemu dengan kepunyaan Elang. Dengan gerakan mulut tanpa suara, ia bertanya langsung kepada Elang, "Ngapain?"

Namun, bukan jawaban yang diterima olehnya. Melainkan hanya sebuah gelakan kecil yang membuatnya semakin kesal saja.

"Duduk dulu, Nak," ujar Luna mempersilakan Elang dengan senyumannya.

EPIPHANYWhere stories live. Discover now