27. Tentang Luka

154 19 2
                                    

Lagi-lagi bel kembali dibunyikan. Untuk kali ini, semua murid bergegas merapikan buku dan alat tulis untuk kemudian dimasukkan ke dalam tas masing-masing. Rania ikut tertawa kala Kayla tampak tertawa di sebelahnya. Kini gadis berkacamata itu tengah bercerita panjang lebar. Tentang perubahan sikap Fiki yang lebih lembut dari biasanya, tentang cara Fiki yang selalu perhatian kepadanya, dan tentang cara keduanya yang diam-diam telah mengubah panggilan 'lo-gue' menjadi 'aku-kamu'.

Kayla terus menceritakan banyak hal, apa saja yang telah ia lalui. Tanpa sadar, seseorang juga telah menunggunya di luar kelas. Fiki bersandar sambil matanya menatap ke puluhan murid yang berlalu lalang di depannya. Dia mencari Kayla.

"Eh, Fiki?" seru Kayla tertahan. Dia kaget sekaligus senang. Sosok yang baru saja ia bincangkan kini benar-benar hadir tepat di depan matanya.

Buru-buru Fiki memperbaiki cara berdirinya, menampilkan senyum terbaik yang ia punya. "Em ... mau ajak kamu pulang bareng," jelas Fiki tanpa perlu ditanya. Menggaruk tengkuk yang tiba-tiba gatal, Fiki merasa canggung.

"Eh, iya," angguk Kayla dua kali.

Melihatnya, Rania yang berdiri di sebelah Kayla tampak tertawa kecil. Lucu saja. "Ki, Elang mana?"

"Tadi dia dipanggil Pak Ramli ke ruangannya, Ran."

"Oh, ngapain?"

Fiki mengangkat kedua bahu secara bersamaan. "Entah."

Rania mengangguk samar, lalu mempersilakan Kayla dan Fiki untuk pergi duluan. Rania memutar langkah, berjalan ke arah ruangan Pak Ramli. Namun, tepat dari arah depannya, ia menemukan Raka. Laki-laki itu baru saja keluar dari ruangan olahraga yang kebetulan letaknya berdampingan dengan ruangan yang hendak Rania jadikan sebagai tujuan.

"Hai, Nia. Mau ke mana?" Raka bertanya ramah saat berpapasan dengan Rania.

"Mau nungguin Elang," jawab Rania singkat.

"Emang dia di mana?"

"Di ruangan Pak Ramli. Duluan dulu, ya, Ka." Rania melangkah, tapi Raka mencekal tangannya. Membuatnya kembali memutar tubuh hanya untuk menemukan Raka yang tersenyum kecil.

"Aku temenin, ya?"

"Gak usah, Ka. Gue bisa sendiri. Lagian lo sendiri juga tau kalau Elang gak suka kalau kita deket-deket," perjelas Rania selembut mungkin. Bersamaan dengan mulutnya yang bergerak, Rania juga berusaha untuk melepaskan tangan Raka darinya. Namun, usahanya sia-sia. Semakin berusaha dilepas, Raka semakin kuat mencengkramnya. Rania meringis sakit, perih. "Lepasin, Ka," pinta Rania tak suka.

"Kenapa, Ya?" Tiba-tiba Raka bertanya, tanpa melepaskan tangannya, membiarkan Rania dalam kesakitan. "Kamu ngejauh dari aku? Apa aja yang udah kamu tau, sampai liat mukaku pun kamu gak betah lagi?"

"Raka!" Rania berteriak, menyentak tangannya kuat-kuat hingga terlepas. "Gue tau banyak tentang lo. Tentang apa aja yang udah lo lakuin sama hubungan Elang dan Tania."

Namun, biarpun Rania berteriak kalap hingga pita suaranya rusak, Raka masih tidak peduli. Laki-laki yang mengenakan jaket berwarna biru tua dan menyandang tas hitam pada bahu kanannya itu malah menertawakan perkataan Rania. "Jadi Elang udah berhasil jelek-jelekin aku? Dan kamu percaya gitu aja, Ya?"

Rania terdiam, menelan ludah kasar untuk menahan semua cercaan yang hampir ia keluarkan. Pun kedua tangannya tiba-tiba ikut terkepal. Dan pada saat Raka selangkah maju mendekatinya, Rania mengambil inisiatif untuk dua langkah mundur menjauhinya.

Raka tampak kaget. Ekspresi wajahnya dibuat seterkejut mungkin. Kedua matanya terbuka sempurna, lengkap dengan alis yang diangkat, juga mulut terbuka lebar. "Lihat! Bahkan sekarang pun aku gak boleh dekati kamu lagi, Ya," ucapnya dengan nada tenang, "jangan asal percaya, Ya. Bisa aja Elang bohong. Aku gak sejahat apa yang dia omongin, kok."

"Kalo tentang Tania yang bunuh diri karna lo selingkuhin, itu bener gak, Ka?" Pertanyaan itu sukses membuat Raka mengatupkan mulutnya. Ekspresi wajahnya berubah keras. Rahangnya bergerak-gerak, membuat gemelatuk giginya terdengar jelas. Kemudian disusul oleh napas Raka yang menderu tak beraturan. Tanpa Rania sadari, sesuatu 'tentang Tania' telah menyulut sisi lain yang selama ini ia jaga. "Aku bukan pembunuhnya. Tania mati itu karena pilihannya sendiri," ucap Raka dengan suara rendah. Tapi terlepas dari itu semua, dua kalimat yang baru saja ia ucapkan itu mengandung penegasan. Raka tak suka saat Rania menyinggung perasaannya.

"Pilihan yang terpaksa ia pilih, Raka," balas Rania berani.

"Jangan asal ngomong kamu!" bentak Raka marah. Nada bicaranya berubah kasar, suaranya meninggi, lebih keras daripada biasanya. "Aku tinggalin dia juga karena ulahnya sendiri. Kamu gak tau aja gimana perasaan aku saat Tania banding-bandingin aku dengan Elang. Aku benci itu, Rania!"

"Itu karena lo yang duluan rebut--" Sial! Ucapan Rania terhenti, dan memang tak bisa ia lanjutkan sama sekali. Tamparan keras itu tiba-tiba mendarat tepat pada pipi kirinya. Wajah Rania terhempas. Air mata mengalir dengan sendirinya. Tangan Raka memang sudah menjauh, tapi bekas tamparan itu masih berdenyut-denyut perih. Dengan mata merah dan napas yang saling tumpang tindih, Rania berkata dengan bibir yang gemetar. "Lo kasar, Raka," desis Rania tajam.

"Kamu sendiri yang mau, Nia," sahut Raka tidak merasa bersalah sama sekali.

"Pantes aja kalau selama ini gak ada yang mau sama lo. Bahkan Tania yang udah lo dapetin pun bisa pergi gitu aja."

"Diam atau aku bakalan nampar kamu sekali lagi!" Raka bersiap mengangkat tangannya kembali. Tapi sebelum itu terjadi, sebuah kelapan tinju lebih dulu mengenai rahangnya. Raka terhempas ke belakang, mengusap bekas pukulan yang tidak ia tahu entah dari mana datangnya.

"Berengsek! Lo apain cewek gue, hah!"

Sosok itu adalah Elang. Raka tertawa, menyeka cairan kental berbau anyir yang mengalir dari sudut bibirnya. "Baru gue tampar sekali, Lang. Dia banyak bacot soalnya."

"Setan!" Elang maju dan kembali menghantam Raka tepat pada perutnya. Belum pun Raka berdiri dengan benar, Elang lagi-lagi memberinya bogem mentah pada bahu kanan. Seketika, Raka terjatuh. Dahinya terbentur meja peyangga pot bunga, membuat kulitnya terbuka dan mengeluarkan cairan merah dari sana. Namun, biarpun Raka telah memilih diam dan tidak membalas pukulannya satu pun, Elang masih menggila di atasnya.

Lorong kelas telah sepi. Semua murid telah beranjak pergi tanpa sempat melihat kejadian mengerikan ini. Hanya ada Rania--yang menangis sambil menutup muka--tanpa berani membuka matanya barang sekali saja. Dia hanya mengandalkan indra pendengarannya. Saat Elang mengumpat, Raka tertawa, dan suara hantaman entah apa dan mengenai siapa. Rania terisak seorang diri. Karena terlepas dari itu semua, Rania membiarkan Elang melakukan apa disukainya.

"Astaga, Elang! Berhenti, Elang! Berhenti!" Pak Ramli tampak terkejut saat menginjakkan kakinya keluar dari pintu. Pria paruh baya itu berlari ke arah Elang, menarik paksa anak muridnya yang tengah menindih Raka. "Apa yang kamu lakukan, hah!? Kamu baru saja keluar dari ruangan saya. Dan sekarang kamu berulah lagi! Mau dikeluarin dari sekolah kamu?"

"Dia duluan, Pak," Elang menunjuk Raka yang tengah mencoba untuk berdiri walau terjatuh berkali-kali, "dia yang duluan nampar cewek saya sampe dia nangis ketakutan begitu."

Pak Ramli menoleh ke arah Raka. Matanya yang sipit kini terkesan tajam lebih dari biasanya. Sebelum ia sempat bertanya, Raka lebih dulu menunduk. "Maaf, Pak. Saya kelewatan," aku Raka tidak ingin memperpanjang urusan.

Kemudian Pak Ramli menghela napas kesal. Dia mengusap dahinya yang telah mengeluarkan peluh dingin. "Kalian ini, sampai kapan, sih, bisa hidup baik-baik saja? Kenapa semua masalah harus diselesaikan dengan kekerasan? Kalian berdua mau jadi jagoan, hah!" Pak Ramli menoleh ke arah Rania yang telah meringis lebih dulu saat ditatap begitu. "Ada yang sakit?" Rania menggeleng cepat, tubuhnya gemetar.

"Sekarang kalian silakan pulang. Tapi ingat, besok kalian bertiga harus kembali ke ruangan saya." Kompak ketiganya mengangguk patuh. "Dan kamu," Pak Ramli mengendihkan dagu ke arah Raka, "itu masih bisa pulang atau gimana?"

"Bisa, Pak."

"Saran saya kalian banyakin berdoa. Semoga besok tidak dikeluarkan dari sekolah."

* * *

EPIPHANYWhere stories live. Discover now