52. Amarah Terbesar Elang

159 16 0
                                    

"Wah," takjub Rania sembari memperhatikan ruang yang menjadi apartemen milik Vernon. "Luas banget. Ini Abang tinggalnya sendiri doang?"

Vernon yang baru saja selesai teleponan dengan seseorang tampak tersenyum. Dia mendekati Rania, berdiri di belakangnya. "Iya."

"Kenapa gak ajak adik Abang sekalian biar ada temennya? Ini juga Rania liat kamar apartemennya ada dua."

"Gak mau dia. Katanya lebih nyaman tinggal di rumah bareng papa." Masih dengan binar-binar cerah pada manik obsidian miliknya, Vernon kemudian memegangi kedua bahu Rania dan mendorongnya pelan ke arah sofa berwarna abu-abu gelap. "Duduk. Abang mau buatin kamu minum dulu."

"Eh, gak usah. Kalo haus nanti Rania bisa ambil sendiri."

Butuh sedikit paksaan agar Vernon bisa memastikan bahwa bokong Rania telah melekat sempurna pada sofa. Hanya setelah mendengar ucapan si gadis, dia menarik kembali sudut bibir ke atas. Tangannya sekilas menarik ujung hidung Rania, berujar, "Bagus. Kalo nurut gini, 'kan, enak. Bentar, ya."

Rania menghela napas seraya menggelengkan kepala. Ternyata berdebat dengan Vernon sama sekali tak ada gunanya. Sembari menunggu laki-laki itu membuatkannya minuman, maka Rania lantas meliarkan kedua maniknya untuk menjelajahi setiap detail apartemen Vernon. Menurut Rania ruangan ini besar, tapi dia tidak tahu berapa meter luas pastinya. Ada dua kamar yang saling berdampingan, ruang tamu yang menjadi posisinya sekarang, lalu sebuah dapur yang bisa langsung dilihatnya karena tidak dibubuhi sekat.

Tak berselang lama, laki-laki yang mengenakan kaus putih berlengan pendek itu terlihat mendekatinya. Ia memegang sebuah nampan berisi dua cangkir kopi susu hangat lengkap dengan sebuah stoples kue kering yang terlihat lezat.

"Baru pindah. Jadi Abang cuma punya ini," ujar Vernon sambil meletakkan benda bawaannya di atas meja.

"Gapapa, kok, Bang. Besok-besok kalo mau belanja, Abang ajak Rania aja." Vernon mengangguk singkat, kemudian mempersilakan Rania untuk menikmati minuman sekaligus makanannya. Sementara dirinya pamit ke kamar mandi.

Lantas tangan Rania bergerak untuk membuka penutup stoples kaca, mengeluarkan sepotong kukis berbentuk bundar untuk kemudian dicelupkan ke dalam kopi susu hangatnya. Kue kering berbahan dasar tepung yang dipanggang itu terasa begitu lebur dalam mulutnya. Rasa manis yang ditimbulkan, membuat mulutnya enggan untuk berhenti mengunyah.

Namun, detik berikutnya Rania seperti teringat satu hal. Dia buru-buru menegakkan punggung, mencari tas kecil berwarna navy yang ikut dibawa bersamanya tadi. Saat benda itu ditemukan, Rania langsung mengeluarkan ponselnya. Tangannya bergerak lincah di atas layar, membuka apklikasi WhatsApp hanya untuk menghela napas lelah setelahnya.

Tak ada pesan dari Elang.

"Elang, aku khawatir," sepasang netra hitam Rania terpaut sempurna pada layar ponsel yang masih menyala, "kamu baik-baik aja, 'kan?"

Tepat setelah kalimat penuh kekhawatiran ia ucapkan, tiba-tiba saja suara akses pintu apartemen Vernon berbunyi, menandakan seseorang dari luar sana sedang berusaha masuk ke tempatnya.

Pasti itu adiknya Bang Vernon.

Dengan perasaan resah sekaligus gugup, Rania menatap ke arah pintu apartemen dan pintu kamar Vernon secara bergantian. Dia sama sekali tidak menemukan kemunculan Vernon untuk menyambut kedatangan adiknya. Rania berdecak, kenapa laki-laki itu lama sekali di kamar mandi?

Akhirnya dengan perasaan yang dipaksa untuk tenang, Rania berinisiatif biar dia saja yang menyambutnya. Alhasil Rania pun bangkit dari duduknya. Berusaha menarik kedua sudut bibir ke atas hingga membentuk sebuah senyuman indah yang dirasa paling sempurna. Dia pun melangkah satu-satu dan memutuskan berhenti sewaktu jaraknya dengan pintu hanya tersisa dua meter saja. Kedua manik Rania menyorot tenang ke arah handle yang bergerak pelan sebelum akhirnya pintu terbuka lebar.

EPIPHANYWhere stories live. Discover now