25. Keyakinan

153 17 4
                                    

Gelak tawa memenuhi sepanjang lorong kelas. Membuat beberapa pasang mata menoleh, hanya untuk diabaikan pada detik setelahnya. Kayla dan Rania berjalan berdampingan, saling berpegangan tangan. Sisa-sisa tawa dan cerita tentang pentas drama yang baru saja mereka praktikan, seolah takkan pernah ada habisnya.

"Seru." Begitu kata Kayla.

"Lucu," ujar Rania setelahnya.

Panasnya matahari terasa membakar kulit. Keduanya menuju ke kantin dengan semangat. Masing-masing memesan seporsi mi goreng dengan tambahan es teh manis. Ah ... terasa begitu nikmat saat minuman manis itu mengairi tenggorokan.

Kantin outdor adalah posisi mereka saat ini. Pedasnya mi goreng ditambah dengan teriknya matahari, tak lekas membuat keduanya lelah. Masih ada sisa tawa pada cerita mereka. Masih ada rasa bahagia, mengingat drama yang telah dilatih berminggu-minggu kini menuai hasil yang memuaskan.

"Nia." Panggilan itu terdengar. Membuat tawa mereda dan pembicaraan terhenti seketika. Tak hanya Rania, tapi Kayla pun ikut menoleh ke arah yang sama.

"Iya, Ka. Kenapa?" tanya Rania setelah mengedipkan matanya sebanyak dua kali.

"Ini punya kamu bukan?" Raka menyodorkan sebuah gitar kecil berbahan kayu yang dapat digunakan sebagai gantungan ke arah Rania.

"Eh, iya," Rania berbinar dan mengambil benda miliknya dari telapak tangan Raka, "lo nemu di mana?"

"Di parkiran tadi pagi."

Rania tersenyum, memandangi gantungan tas miliknya yang sempat lelah untuk dicari dan wajah Raka secara bergantian. "Makasih banyak, ya." Hanya itu. Karena memang itu yang bisa ia ucapkan. Gitar kecil itu bukan hanya sebatas benda tak bermakna. Ini lebih dari apa terlihat. Pemberian ayah untuk terakhir kalinya saat keduanya pergi ke pasar malam. Senyum Rania pun terlihat semakin lebar, mengingat bahwa ia begitu bahagia hanya dengan menatap benda di telapak tangannya.

"Lain kali hati-hati, Ya. Aku pergi dulu," pamit Raka bersama tubuh yang perlahan menjauh.

Baru dua meter Raka beranjak, Elang dan Fiki datang ke arah mereka. "Ngapain?" Elang bertanya sambil mengedihkan dagu ke arah perginya Raka.

"Gak ngapa-ngapain. Cuma mau ngembaliin ini," jelas Rania seraya memperlihatkan benda di tangannya.

"Itu namanya juga ngapa-ngapain, cebol!" ketus Elang tak santai. Dia bahkan tak segan untuk menepuk puncak kepala Rania dengan sedikit keras. Sengaja. Ada kebahagiaan tersendiri saat Rania mengaduh dan menampakkan wajah kesalnya. Lantas, setelah melewati pertengkaran kecil, Elang pun mengambil langkah untuk duduk.

"Kayla," Fiki memanggil, "ke meja sebelah, yuk!"

"Ehem ehem." Rania berseru, menggoda Kayla dengan menyikut lengannya.

"Apaan, sih, Ran?" balas Kayla setengah melotot. Kemudian, dia menatap Fiki, mengangguk. Hingga pada detik berikutnya, keduanya pun menghilang dari sana.

"Hah ...." Rania menghela napas lega. Sambil menompang dagu dan menyunggingkan senyum, ia pun berkata, "Seneng banget liat mereka akhirnya jadian."

"Hm," gumam Elang tanpa minat. Dia bahkan enggan menoleh ke arah Rania sedetik pun. Karena baginya, ketoprak Mbak Lia lebih menarik perhatiannya.

Sekejap Rania menekuri wajah Elang lebih dalam. Mulai dari matanya, rambutnya, bahkan dari cara ia melahap ketoprak pun tak luput dari pandangannya. Jujur, Rania menyukai semua yang ada pada diri Elang. Bahkan saat laki-laki itu mendongak setelah membiarkan Rania mengagumi parasnya dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Elang bertanya, "Apa liat-liat? Baru sadar kalau cowok lo ini ganteng?"

"Heum," angguk Rania banyak kali, "ganteng," lanjutnya lagi.

Namun, pujian itu tidak menghangatkan hati Elang sama sekali. Dengan ujung alis yang hampir menyatu pada pangkal hidung, alhasil Elang lebih memilih untuk menegapkan cara duduknya. "Tumben jujur? Biasanya gak pernah mau ngaku tuh."

Rania tertawa. Ucapan Elang sukses menggelitik tubuhnya. "Elang, aku mau nanya sesuatu," ujarnya usai tawa reda.

"Biasanya juga gak pernah ijin langsung gas," gumam Elang yang masih dapat didengar oleh Rania, "yaudah apa? Kalau pertanyaan tentang Matematika awas aja."

"Enggak, kok, Lang. Santai. Aku jamin otakmu yang gak seberapa pinter itu bakalan baik-baik aja," sahut Rania dengan tenang. Namun, ekspresi Elang jauh dari jangkauannya. Laki-laki itu tampak kesal dan memutuskan untuk menyentil dahi Rania menggunakan telunjuknya. Membuat gadis itu mengaduh, meringis, dan akhirnya melotot tak terima. "Kasar," desis Rania tak santai.

"Ucapan lo lebih kasar, Neng."

"Ck." Rania berdecak tidak suka. Manik matanya menjelajahi setiap penjuru kantin outdor. Beberapa murid tampak beranjak dari kursi, menuju ke kelas. Maklum saja, 15 menit lagi bel akan berbunyi. Namun, beberapa lagi masih terlihat betah. Entah hanya untuk bercengkrama, ataupun menikmati desiran angin sepoi-sepoi yang menyentuh kulit. Pada salah satu bangku, Rania menemukan Kayla dan Fiki. Keduanya tampak bahagia, berfoto ria untuk kemudian diposting pada media sosial. Dan jauh dari arah depannya, Rania juga menemukan Raka. Sosok yang akan ia jadikan sebagai bahan pertanyaan kali ini.

"Sebenarnya ... " kalimat itu mengalun, menuntut Elang untuk diam mendengarkan, " ... kamu ada masalah apa, sih, sama Raka?"

Seketika wajah Elang berubah. Tatapannya berubah semakin dingin, dengan deru napas yang diusahakan untuk terus beraturan. "Kenapa nanya gitu?"

"Pengen tau," jawab Rania singkat. Dilihatnya Elang membuang wajah ke arah samping. Laki-laki itu berdecak, mengerutkan dahi, dan menggepalkan kedua tangan. Pun dengan keberanian yang hampir terkikis, Rania mencoba untuk menyentuh telapak tangan Elang. Membuatnya menoleh hanya untuk bersitatap dengan Rania.

"Aku itu pacar kamu, Lang. Jadi kurasa, aku berhak tau tentang apa yang telah kamu lalui selama ini. Bukan aku ingin ikut campur, tapi aku gak mau dibilang bodoh karena gak tau apa-apa tentang diri kamu." Alhasil, kalimat yang telah disusun seapik dan serapi mungkin itu meluncur dengan sempurna. Walau sebenarnya Rania gemetar, tapi dia tetap ingin mengukuhkan dirinya sekali saja.

"Bukan tentang pertanyaannya, Ran," Elang membuka mulut masih dengan wajah datar yang tenang, "tapi ini tentang jawaban yang sebentar lagi akan gue berikan."

Rania terdiam, mencerna kata per kata yang tengah Elang katakan.

"Gue tanya sekarang, lo gak sanggup gak denger jawaban gue yang nantinya akan memuji-muja cewek lain? Satu-satunya mantan gue yang bikin gue gagal move on dalam waktu yang cukup lama? Mantan yang berhasil buat gue memohon biar dia gak pergi? Lo sanggup denger gak tentang seberapa cinta dan sayang gue ke dia?"

Sekak! Elang berhasil memukul telak dirinya. Genggaman tangan Rania terlepas begitu saja. Kini nyalinya telah menciut sempurna. Ada bagian dalam dirinya yang berhasil dikikis. Perih. Sakit. Sebuah rasa yang Rania benci akan hadirnya.

Tidak! Dia belum cukup kuat untuk mendengar jawaban Elang sekarang. Dia ingin menggeleng, bilang tidak jadi. Namun, saat Elang balik menyentuh tangannya dengan tatapan yang berubah teduh, Rania merasa bahwa kesempatan ini tidak boleh disia-siakan.

Setelah mengukuhkan hati dan menambah nyali, Rania mengangguk. "Aku yakin dan aku siap mendengar jawabannya, Lang."

* * *

Kalo kamu, udah siap belum?

Salam,

apa komentar kalian untuk sosok seperti Raka?

EPIPHANYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang