48. Mendadak Ragu

133 11 0
                                    

Benar kata orang, hujan bukan hanya mengundang petir dan gemuntur untuk datang. Tapi hujan juga membuat perut terasa lapar. Sama halnya seperti malam ini. Saat hujan tengah deras-derasnya dan jam telah melewati waktu tengah malam, Elang memutuskan untuk keluar kamar dan menuju ke dapur--tempat di mana perut keroncongannya dapat terisi.

"Eh, Bang!" Elang terkesiap sewaktu menemukan Vernon juga berada di tempat yang sama. "Kok di sini?" Elang terus berjalan hingga akhirnya tiba tepat di sebelah Vernon, lalu menyandarkan diri di pantri.

"Laper. Lagi kepengen makan mi instan."

"Oh, sama berarti. Gue ke sini juga mau nyari makanan. Sekalian buatin buat gue juga, ya." Sambil memamerkan deretan gigi-giginya, Elang berkedip-kedip lucu. Untuk pertama kalinya, Elang ingin merasakan bagaimana rasanya mempunyai abang. Baiknya, siasat Elang tidak berakhir sia-sia. Vernon dengan mudahnya tersenyum dan menganggukkan kepala. Lantas juga menyuruh Elang untuk menunggu saja di meja makan.

Jadi gini rasanya punya abang. Asiiik, bisa gue manfaatin, nih, kalo gini terus ceritanya.

Sebagai adik penurut dan baik budi, Elang kontan melangkah ke arah meja makan sambil melenggangkan kedua tangan dengan santai. Wajahnya pun terlihat semringah. Tepat ketika bokongnya mendarat sempurna pada salah satu kursi di sana, Elang tampak mengeluarkan ponsel dari saku celana. Untuk kemudian digunakan agar membunuh rasa bosan yang kerap datang saat ia sedang menunggu.

Kilatan petir menyambar terang di luar sana. Deru angin bertiup kencang, menggoyangkan pepohonan, menggugurkan ranting-ranting rapuh hingga berjatuhan satu per satu ke tanah yang basah. Bagi Elang, ini adalah salah satu malam yang kelam dan sedikit mengganggu perasaannya. Pasalnya, sejak tadi sore pesan yang ia kirimkan kepada Rania hanya tertera centang satu abu-abu yang tidak kunjung membiru.

Lelah menahan rasa yang sangat merepotkan, Elang akhirnya membenamkan dahi pada meja kaca di hadapannya. Dia ingin istirahat barang sejenak. Jujur, mengkhawatirkan Rania sama juga dengan membiarkan tatanan hatinya berantakan.

"Ngantuk, Lang?"

"Eh!" Elang mendongak kaget, lantas menggeleng pelan setelahnya. Dilihatnya Vernon yang cekatan menata dua mangkuk mi soto lengkap dengan dua gelas air putih di atas meja. Kemudian, laki-laki yang mengenakan kaus putih berlengan pendek itu mengambil tempat di sebelahnya. Dia tersenyum, lalu mempersilakan Elang untuk menikmati mangkuk mi yang menjadi bagiannya.

Dinginnya malam ini seolah menembus kulit dan menusuk tulang. Hujan pun sepertinya tidak kunjung menemukan kata reda. Dan waktu yang tadinya merangkak, kini seakan berjalan dengan sangat cepat. Namun, dua bersaudara itu tampaknya mengabaikan ketiga hal tersebut.

Bagi Elang sendiri, tidak ada dingin yang benar-benar membuatnya beku selain ketika dirinya tidak mendapatkan secuil kabar dari gadisnya. Rania adalah bagian terpenting dalam hidupnya dan Elang sadar akan hal itu. Maka lagi-lagi, Elang melongok ke arah ponsel yang tergeletak manis di atas meja. Sontak Elang meluruhkan kedua bahu, helaan napasnya terdengar berat. Sekali lagi, Rania berhasil membuat Elang tenggelam dalam rasa khawatirnya.

"Kenapa, sih, Lang? Dari tadi kaya orang cemas aja." Si paling tua akhirnya memutuskan untuk bertanya. Memang selepas mereka malam malam bersama papa, Vernon terus-terusan menemukan Elang yang setiap menit mengecek ponsel. Bahkan saat ketiganya berkumpul di ruang tengah--menikmati siaran pertandingan bola di televisi--Elang juga terlihat sama gusarnya.

"Doi gak bales chat dari sore," Elang menjawab kegusarannya yang tak lagi mampu untuk ia pendam, "padahal tau banget dia kalo gue gak suka dibuat khawatir. Astaga ...."

Vernon tertawa kecil kala melihat tingkah adiknya yang meremas-remas rambut dengan mata menatap ke arah layar ponsel.

"Awas aja besok di sekolah. Gue marahin dia sampe mulut gue berbusa."

EPIPHANYWhere stories live. Discover now