10. Cemburunya Rania

210 26 0
                                    

Rania pernah mendengar seseorang berkata seperti ini kepadanya, 'Jangan menggunakan seseorang untuk melupakan seseorang. Karena yang bisa menyembuhkan adalah dia yang menyebabkan'.

Dulu dirinya memang tak begitu paham maksud dari kalimat itu. Namun, detik ini--saat Vernon telah pergi dan meninggalkan luka yang berbekas di hati--Rania akhirnya tahu makna dari kalimat itu sendiri. Entahlah, gadis itu bahkan masih bingung dengan perasaannya sendiri. Satu sisi Vernon masih memiliki tempat di hatinya. Tapi di sisi lain, Elang juga mempunyai peran yang sama. Keduanya sama-sama berharga. Namun, jika ada yang bertanya siapa yang paling berarti untuknya, Rania tak bisa menyangkal bahwa nama Vernon yang akan keluar dari mulutnya.

Dan di sinilah dia sekarang, terjebak di dalam kelas Elang, hanya berdua saja dengannya. "Temenin gue makan." Begitu katanya tadi tepat saat Rania menyerahkan kotak bekal berwarna biru yang berisi kimbab buatannya.

"Makannya pelan-pelan aja, Lang. Keliatan banget lapernya, lho," ujar Rania dengan mimik polos, tapi diartikan sebagai sebuah sarkasme oleh pendengar. Sehingga sebuah suapan terakhir yang nyaris masuk ke dalam mulutnya pun akhirnya diurungkan.

Elang menoleh, menampilkan kedua iris mata tajam yang dibalas dengan kerutan bingung oleh Rania. "Kenapa liatin gitu? Kimbabnya gak enak?" tanyanya yang tak paham betul maksud dari lirikan tersebut.

"Males, ah," kesal Elang, lalu meletakkan sumpit lengkap dengan potongan kimbabnya itu kembali ke dalam kotak bekal.

"Kok tiba-tiba jadi males? Perasaan tadi lahap banget makannya."

"Elo, sih ...." Elang cemberut, memanyunkan bibirnya dengan lucu. Selanjutnya ia memutuskan kontak mata dengan Rania, lalu memilih untuk menatap ke arah luar kelas yang tampak masih kosong. Maklum, ini masih terlalu pagi untuk memulai jam pelajaran.

"Eh, kenapa malah aku? Emang aku salah apa?" Namun, kedua pertanyaan itu hanya dibalas dengan diam oleh Elang. "Ini beneran gak mau dihabisin?" Jika ini adalah malam yang hening, mungkin saja akan terdengar suara jangkrik di sana. "Aku habisin aja kalau gitu." Dan tepat saat Rania menyentuh sumpit tersebut, Elang langsung memukul punggung tangannya. Membuat gadis itu memekik kaget dan menatap Elang dengan penuh tanda tanya.

"Itu punya gue." Walau wajahnya masih memberengut kesal, tetapi laki-laki ini tetap saja melahap habis semua makanannya.

Pun Rania hanya bisa mendesah selepas menggelengkan kepala tak habis pikir. Menghadapi Elang adalah salah satu hal tersulit yang harus dilaluinya. Bagi orang di luar sana seorang Elang Angkasa memang yang terbaik. Dia selalu terlihat tampan, tak banyak bicara, dan pintar dalam kelas olahraga. Namun, tak tahu saja mereka kalau si tampan yang satu ini adalah sosok yang cepat marah. Emosinya masih labil, seperti ABG yang tengah beranjak dewasa saja.

"Udah?" Elang mengangguk setelah meneguk habis air mineral yang baru saja dicurinya dari dalam tas Rania.

"Asin," akunya Elang berkomentar.

"Kimbabnya asin?" tanya Rania memastikan bahwa telinga cantiknya ini tak salah mendengar perkataan laki-laki itu barusan.

"Iya. Asin banget. Pasti waktu masak tadi lo lagi mikirin cowo lain."

"Ish, apaan, sih? Tapi beneran asin banget, Lang?"

"Iya, Rania."

"Tapi kenapa masih dimakan kalo asin?"

"Terus kalo gak diabisin mau dibuang makanannya?" Rania mengangguk cepat, membuat Elang tak segan-segannya menyentil dahi Rania hingga membuat gadis itu terhuyung ke belakang. "Gak boleh, mubazir itu namanya," tegas Elang kemudian.

Rania hanya menghela napas saja. Hingga saat Elang mengambil tas miliknya, ia pun bertanya, "Mau ngapain?"

"Tidur," sahut Elang singkat dan benar-benar menggunakan tas Rania sebagai bantal olehnya. Tapi Elang tak mau berhenti di sana. Ia lantas mengambil satu tangan Rania untuk diletakkan di atas kepalanya. "Elus," lirihnya dengan mata yang masih terbuka. Hingga saat gadis mengangguk dan mengelus rambutnya dengan gerak pelan, barulah Elang benar-benar memejamkan mata.

Keheningan pun terjadi di antara mereka, berbanding terbalik dengan suasana di luar yang mulai tampak ramai. Beberapa teman kelas Elang terlihat memasuki kelas. Ada yang hanya meletakkan tas saja lalu pergi ke kantin, dan ada pula yang memutuskan untuk tetap tinggal di sana.

Rania melirik ke arah Elang dan mendapati laki-laki itu masih memejamkan mata dengan napas yang berembus teratur. Merasa risi, tangan yang tadinya masih mengelus rambut, kini digunakan untuk menepuk pipi Elang tiga kali. "Lang, bangun."

"Apa?" tanya Elang dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Aku ke kelas dulu, ya. Udah mau bel."

Elang mengucek matanya sejenak, lalu melemparkan pandangan ke seluruh sudut kelas. Alhasil, Elang menyadari bahwa suasana di kelas mulai ramai. "Gue anterin." Ia berdiri dan disusul oleh Rania. Dan pada saat Rania hendak mengambil tas, Elang langsung berkata, "Biar gue aja."

"Makasih," ucap Rania tersipu malu dan membiarkan Elang membawakan tasnya.

Keduanya kemudian berjalan ke luar kelas. Tak ada percakapan di antara mereka. Tak ada yang berani memulai untuk saling bergenggaman tangan. Mereka hanya diam, melewati beberapa kelas hingga sebuah suara memanggil nama Elang dengan lantang.

Bukan hanya Elang, tapi Rania juga ikut menoleh ke arah lorong sebelah kanan yang baru saja mereka lalui. Karena Rania tahu betul bahwa pemilik suara melengking itu adalah seorang gadis cantik bernama Viola. Tatapan mereka bertemu tepat saat gadis yang terengah karena kelelahan berlari itu berhasil berdiri di hadapan keduanya.

"Hai, Rania," sapa Viola terlihat begitu ramah. Gadis itu mengikat rambutnya pagi ini, membuatnya terlihat semakin dewasa saja. Ketika ia tersenyum, kedua bibirnya melengkung dengan sempurna, lengkap pula dengan tambahan gigi gingsul yang mempermanis tampilan wajahnya.

"Hai," balas Rania, berusaha untuk tersenyum selebar yang ia bisa.

"Lang, gue bawain lo sarapan, nih. Cobain, deh. Rasanya enak banget pasti." Seiring dengan rentetan kalimat yang keluar dari mulutnya, Viola juga menyodorkan kotak bekal ke arah Elang.

"Telat lo," celetuk Elang, lalu mendorong kembali benda tersebut ke arah gadis di depannya, "gue baru selesai sarapan kimbabnya Rania."

Sepintas Rania melihat ada raut kecewa pada wajah Viola. Kedua bahunya luruh, juga tampak melirik sekilas sosok Rania yang menyimak saja pembicaraan mereka. "Yah ... padahal gue udah capek-capek buatinnya, lho, Lang. Seriusan lo tolak?"

"Ya seriuslah. Orang gue udah kenyang juga." Melihat Viola yang menunduk kecewa, Elang pun lanjut berkata, "Kasih ke orang lain aja, deh. Charlie, deh, Charlie. Pasti suka dia."

Viola mengangguk, terlihat jelas bahwa dia menyembunyikan seutas kecewa dibalik seulas senyumannya. "Iya. Gue duluan, ya."

Rania menatap lekat-lekat ke arah perginya Viola. Tubuh lampai gadis itu akhirnya menghilang ditelan oleh belokan. Masih memikirkan tentang Viola, Rania dikagetnya oleh sebuah tepukan pada puncak kepalanya. "Sabar. Pelan-pelan gue juga bakalan jauhin dia."

"Eh!?" Kedua alis Rania menyatu, menatap Elang dengan tanda tanya besar di matanya.

"Cemburu lo susah soalnya. Ditanya kenapa, jawabnya gapapa."

Dan detik itu sebuah senyum kecil lolos dari bibirnya. Hati Rania menghangat dengan cepat sewaktu menyadari bahwa cemburunya di kantin saat itu juga disadari dengan jelas oleh lelakinya.

* * *

Tbc

Salam sayang,

jam berapa kamu baca cerita ini?

EPIPHANYWhere stories live. Discover now