6. Dia Punyaku

269 32 13
                                    

"Kenapa?"

Rania menoleh dan spontan menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Saat ini wajah Elang begitu mendekati kata serius. Dan Rania malah berusaha untuk tidak melihatnya. Rania tak suka ketika Elang menajamkan mata dan menipiskan bibirnya. Rania pun lebih tak suka ketika Elang mengeraskan rahang, lalu menyentuh pipinya untuk diarahkan ke arahnya. "Kenapa, sih? Kesambet apa lo?" tanya Elang beruntun dan tak sabaran.

"Ehm ... gapapa, Lang," jawab Rania yang mencoba menutupi sikap anehnya dengan sebuah senyuman kecil. "Lo gak pesen makan?" Dan berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan. Gadis itu juga tampak menjauhkan tangan Elang yang semula berada di pipinya. Hingga pada saat itu terjadi, Elang pun tercengang. Dia enggan memercayai kalau Rania menolak sentuhannya.

Namun, Elang bukanlah Elang yang dapat dikelabui dengan mudah. Pikirannya tak mampu dialihkan hanya dengan sebuah perhatian kecil yang gadis itu berikan. Karena jauh di dalam sana, Elang sangat menuntut akan jawaban dari gadisnya.

"Lo sakit?" Kali ini Elang memutuskan untuk menebak apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Dan yang diterima olehnya hanya sebuah tawa kosong yang kering.

"Aku gak sakit, Elang. Aku gapapa," jelas Rania dengan memberi penekanan pada beberapa katanya, "kamu makan sana," lanjutnya kembali.

"Terus kenapa? Keliatan banget kalau lo risi sama kehadiran gue di sini. Apa yang salah, sih?"

Rania hanya diam ketika ditanya. Kepalanya menunduk, tatapannya mengarah ke dalam piring yang masih berisikan mi goreng yang disukainya. Dirinya sudah tak lagi berselera untuk makan. Rasa cemburu akan kedekatan Elang dan Viola seketika telah mengambil alih semuanya.

"Ran, gini-gini gue juga peka sama keadaan lo. Tapi gue bukan peramal yang selalu tau apa sedang lo pikirin. Intinya, gue gak tau kalau lo gak ngomong." Dan itu adalah sebuah kenyataan yang harus Rania percaya akan kebenarannya. Seharusnya Rania tahu, Elang bukanlah dia yang mampu menerjemahkan apa yang tengah ia rasa.

Menelan cairan teh manisnya hingga habis separuh, Rania pun tersenyum ringan. Matanya yang indah dengan hiasan bulu-bulu lentik di atasnya, tampak diarahkan ke arah laki-laki di sebelahnya.

Aku gak suka sama Viola, Lang. Aku gak suka kamu yang gak nolak ketika Viola pegang-pegang kamu kaya tadi. Aku ... cemburu.

Kalimat itu sudah tersusun begitu apik dan rapi di dalam kepala Rania. Tapi entah mengapa, saat mulutnya terbuka dan lidahnya bergerak, gadis berhidung mancung itu malah mengeluarkan kata, "Aku gapapa."

* * *

"Sekian untuk hari ini. PR-nya jangan lupa dikerjakan. Terima kasih." Suara lantang Pak Jovan terdengar begitu nyaring di depan kelas. Dengan gaya rambut klimis dan pakaian rapinya walau matahari telah mencapai pertengahan waktu, sang pengajar tersebut pun langsung bergegas keluar kelas dengan langkah terburu-buru.

Serentak semua murid menghela napas lelah di tempat masing-masing. Belajar Matematika menjelang jam pulang, adalah sesuatu yang sangat membosankan. Kayla menjulurkan kedua tangannya di atas meja sembari memalingkan wajah ke samping dan menemukan Rania yang tengah membereskan buku-bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas. "Mampir ke warung Mbak Imas dulu, Ran?" Rania menggeleng singkat tanpa jawaban jelas yang terucap dari bibirnya.

"Tumben. Biasanya lo gak pernah absen ke sana."

"Lagi gak kepengen makan mi pangsit," jawab Rania bersamaan dengan memanggul tas di punggungnya, "gue duluan." Dan setelahnya, gadis itu pun beranjak jauh, meninggalkan Kayla yang menatap bingung akan sikap anehnya.

Keluar dari kelas, Rania menjejakkan kakinya di koridor bersama beberapa murid yang lain. Dalam berisiknya kerumunan, seseorang menepuk pelan bahu kanannya. Membuat Rania refleks memutar kepala dan menemukan Raka yang telah tersenyum lebar hingga ke mata. "Eh, Raka. Kenapa?" tanya Rania sambil menghadapkan badan sepenuhnya ke arah laki-laki yang berkulit tidak terlalu putih itu.

Sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan Rania, Raka lebih dulu menarik lengan gadis tersebut agar berdirinya sedikit ke pinggir. Jadinya tidak mengganggu jalannya murid lain. Sementara itu, Rania hanya bisa membalasnya dengan sebuah gelak senyum. "Aku mau ngembaliin buku kamu, Ya. Makasih banget."

"Eh, iya. Sama-sama," balas Rania seraya mengambil buku catatannya dengan sampul berwarna cokelat yang kemarin sempat dipinjam Raka, "ini lo udah selesai semua, 'kan?"

Raka mengangguk singkat. "Udah, Ya."

"Bagus, deh," sahut Rania tersenyum simpul. "Em ... Raka, soal yang kemarin itu, gue bener-bener minta maaf atas nama Elang." Gadis itu menatap Raka tepat di matanya. Kedua pupilnya melebar, seakan tengah mengharapkan keampunan dari laki-laki manis di depannya ini.

Perlahan senyum di bibir laki-laki dengan tinggi 185 cm itu memudar. Ia balas menatap Rania sama dalamnya. Dari mata gadis yang selalu terlihat manis olehnya, Raka menemukan sebuah arti penyesalan. "Kenapa kamu yang harus minta maaf?"

Ditanya begitu, Rania hanya mampu meneguk salivanya hingga habis. Dan untuk mengais sedikit rasa canggungnya, Rania menggepalkan kedua tangan yang disembunyikan di belakang tas. "Karena gue rasa itu perlu. Kita sama-sama tau kalau Elang itu adalah tipe cowok yang gengsi banget buat minta maaf. Jadi di sini, gue mau ngewakilin dia," perjelas Rania dengan rangkaian kalimatnya.

Dan lihat, lagi-lagi Raka terpesona akan sikap Rania. Gadis ini selalu terlihat sempurna di matanya. Lantas, Raka tersenyum manis. Sebuah penghargaan kecil darinya untuk menghargai kebaikan hati Rania. "Santai aja. Lagian kemarin itu aku juga salah."

"Tapi muka lo--eh, apa, nih?" Ucapan Rania terputus dan sedetik kemudian hampir saja berteriak saat sebuah lengan tiba-tiba menjerat lehernya. Dia terdiam, lalu mendongak ke belakang hanya untuk menemukan sesosok laki-laki berpostur tinggi dengan wajah dingin layaknya es kutub yang tak tersentuh.

"Elang?" Rania terbelalak. Jantungnya nyaris jatuh saat matanya bertemu langsung dengan netra kelam yang tajam. Gadis itu menelan ludah, bersamaan ketika Elang mulai membuka mulutnya.

"Apa, hm? Gue tungguin ternyata lo nyangkut di sini." Elang berkata telak dengan intonasi yang cukup rendah, tapi ajaibnya mampu membangunkan bulu-bulu halus yang ada di sekitar leher Rania. Seolah tidak memberikan celah untuk gadis itu membela dirinya, Elang sontak melayangkan tatapan tajam ke arah sosok laki-laki yang beberapa saat lalu tampak berbicara dengan pacarnya. "Lo kayanya belum cukup pinter buat memahami perkataan gue kemarin. Sekali lagi gue tegasin, jangan deket-deket sama cewe gue." Suara Elang berdesis sinis, terdengar halus di telinga gadis yang berdiri cukup dekat dengannya.

Lantas, bersama dengan lilitan lengannya yang menurun lalu berakhir hinggap pada kepalan tangan Rania yang berubah dingin entah sejak kapan, Elang berpindah selangkah ke depan. Sengaja ia mendekatkan bibir pada telinga Rania. Namun, manik matanya malah menatap Raka yang sejak tadi hanya diam memperhatikan saja. "Dia ini ... punya gue."

* * *

Tbc

Uhh, udah bisa ngerasain feel-nya belum? Menurut kamu, Elang itu tipe pacar yang gimana?

Salam hangat,

dari manusia biasa

EPIPHANYWhere stories live. Discover now