36. Tangan Elang

124 13 0
                                    

Elang terpengun lima detik setelahnya. Hanya karena suara lirih Rania yang penuh dengan penyesalan, juga keadaan hatinya yang berantakan seiring dengan melihat kepala Rania tertunduk pelan. Dia mengusap tengkuk dan menelan ludah. Merasa atmosfer di sekelilingnya berubah awkward, Elang mencari cara untuk mencairkannya. Mendadak ide konyol muncul di kepalanya. Tersenyum jahil, Elang beringsut mendekati Rania dan kontan melingkarkan kedua tangan pada lehernya.

Jelas saja Rania kaget. Dia mengerjap untuk memastikan bahwa Elang memang tengah memeluknya. "Eh?! Kok--"

"Gue kedinginan, nih. Gada niatan buat balas meluk apa?" tanya Elang dengan nada kesal yang dibuat-buatnya. Walaupun si perempuan tidak bisa melihatnya, tapi tetap saja Elang menekuk wajah. Seolah benar bahwa dia marah hanya karena kedinginan, berdiri terlalu lama di luar. Keinginannya disambut dengan baik. Perlahan-lahan dia merasakan sesuatu melingkar indah pada punggungnya. Ah, itu tangan Rania. Refleks Elang menahan senyum untuk menyembunyikan guratan bahagianya.

"Hm, udah, Lang?" Tiba-tiba Rania bertanya saat pelukan keduanya berlangsung cukup lama.

"Belum. Masih dingin ini," jawab Elang tak jujur, "kecuali kalo lo mau liat gue mati kedinginan, ya, silakan aja dilepas."

Terasa di dadanya bahwa Rania menggeleng kepala sebelum menjawab panik, "Eh, enggak mau. Aku peluk lagi, nih," patuh Rania yang termakan modusnya.

Mengetahui bahwa malam ini Rania terlalu jinak untuknya, Elang pun semakin tak tahan untuk tidak mendekap Rania seerat yang dia bisa. Bahkan saat pelukan dilepas oleh Elang secara sengaja, dia masih sempat-sempatnya mencium pipi Rania sekilas. "Gemes gue sama lo. Mudah banget kemakan modus."

Alhasil, Rania pun mengerti alur permainan Elang. Dia tampak kesal, lalu memukuli lengan Elang sebanyak yang dia bisa. "Kamu, ya! Kukira tadi beneran kedinginan," gerutunya, lelah karena memukuli Elang banyak kali.

"Dih, tadi aja jinak kaya kucing gue. Sekarang udah buas lagi kaya ibu singa," celetuk Elang dengan senyum yang masih tertahan. Kemudian dia menepuk puncak kepala Rania, lalu melanjutkan, "Gue bawain makan malam buat lo. Belum makan, 'kan?"

"Belum," jawabnya sambil bertanya-tanya dalam hati makanan apa yang laki-laki itu bawakan untuknya. "Eh, nasi kucing!" Rania bersorak girang, pupil matanya melebar. Lantas, dia spontan berdiri dan berlari menuju ke dapur. Dia mengambil piring dan sendok dan membawakannya ke tempat semula.

Bungkusan nasi kucing telah Elang buka. Dengan hati-hati, dia memindahkan makanan tersebut ke dalam piring. Sejenak Rania melihat keanehan di sini. Kedua alisnya hampir bertaut, lalu menatap Elang dengan gurat kebingungan. "Kok cuma satu? Kamu gak ikut makan, Lang?"

Elang menggeleng. "Gak laper."

Rania menarik senyum singkat, lalu mulai melahap nasi kucingnya dengan perlahan. Suasana mendadak berubah hening. Hanya terdengar suara sendok yang bersentuhan langsung dengan piring. Elang melirik Rania sekilas. Diam-diam ia mengulas senyum. Sepertinya gadis ini telah melupakan bahwa siang tadi sempat kecewa kepadanya.

"Sebenarnya tadi gue mau beliin lo mi pangsitnya Mbak Imas, tapi warungnya tutup." Obrolan kembali dibuka dengan Elang yang duduk menyamping ke arahnya. Di tangan laki-laki itu terdapat ponsel dan manik Elang mengarah ke sana.

"Tumben tutup? Kamu tau kenapa?"

"Enggak."

Sebelum Rania sempat melanjutkan untuk bertanya, ponsel Elang tiba-tiba saja berdering. Laki-laki itu langsung mengangkatnya, lalu menempelkan pada telinga kiri. "Hm, kenapa?"

Perlahan-lahan, Elang terlihat beringsut menjauhi Rania. Saat tubuhnya mencapai ujung sofa, barulah dia berhenti bergerak. Sesekali matanya melirik ke arah Rania yang telah selesai dengan nasi kucingnya. Menduga apakah Rania bisa mendengar suara Charlie atau tidak. Karena sejatinya, Elang sangat berharap kalau Rania tidak mendengarkan sepatah kata pun di seberang sana.

"Malam ini gak bisa. Gue lagi di rumah cewek gue." Lagi, Elang melirik ke arah Rania. Pada saat netra keduanya bertembung, Elang berusaha untuk menampilkan gurat sesantai mungkin. "Tetap gak bisa, elah. Minta yang lain aja. Banyak tuh yang mau pasti. Udah dulu, ya. Cewek gue udah nunggu. Jangan ganggu gue lagi lo."

"Siapa, Lang?" Spontan Rania bertanya saat melihat Elang meletakkan ponsel di atas meja.

"Charlie."

"Em ... yang teman sekelas kamu itu? Yang matanya sipit-sipit, 'kan?"

"Iya."

"Ngobrolin apa sama dia? Kayanya serius banget sampe kamu harus ngejauh gitu? Gak mau kedengeran aku, ya?"

Elang mengangkat kepala. Mulutnya terbuka, tapi tak kunjung mengeluarkan suara. Dia masih berpikir. Di antara banyak kata, manakah yang harus ia gunakan untuk menjelaskan kepada Rania? Tidak sampai beberapa detik untuk akhirnya Elang mengembuskan napas pasrah. Dia menatap Rania dengan sayu, lalu reflek kembali mendekatkan dirinya.

"Gue mau kasih tau sesuatu sama lo," bisik Elang sambil menyipitkan mata, "sebenarnya gue itu seorang pembalab liar," tambahnya dengan ekspresi serius yang tak dibuat-buat. Namun, detik berikutnya Rania malah memukul dahinya dengan kencang. "Aw! Kenapa mukul-mukul kepala, sih? Lo mau punya pacar bego?"

"Enggak aku pukul pun kamu tetap bego, Lang."

Elang berdesis. Rania tahu saja cara untuk melukai hatinya. "Oke. Lain kali gue gak mau belajar lagi biar jadi bego beneran," ancam Elang memandangi Rania tajam.

"Huh," dengkusan terdengar dari bibir Rania, "bercanda lo tadi gak lucu tau, gak? Mana ada tipe-tipe pembalab modelan kaya kamu gini?"

Dikatai begitu Elang hanya bisa pasrah. Punggungnya dibawa bersandar pada sandaran sofa seraya menjalin kedua tangan di belakang kepala. "Yaudah kalau gak percaya. Besok jangan marah, ya, karna ngaku-ngaku gak gue kasih tau."

Rania memutar bola matanya dengan malas. Sambil menahan nyeri di perutnya, Rania meraih kantung belanjaan yang tadi Elang bawakan bersama dengan nasi kucing yang ia makan. Saat menemukan apa yang ada di dalamnya, Rania terlihat menarik senyum simpul. "Ini buat aku, 'kan?" Rania membawa pandangannya ke samping kanan hanya untuk melihat Elang yang kembali sibuk dengan ponsel di tangan.

"Emang buat siapa lagi? Ya kali gue minum Kiranti," tukas Elang seraya balas menatap Rania sejenak. "Ran, gue haus ini. Ambilin air putih, dong."

"Iya," angguk Rania patuh. Dia berlalu ke arah dapur. Tak lama kemudian, gadis itu kembali menghampiri lengkap dengan segelas air putih dingin di tangannya.

Cepat-cepat Elang merampasnya. Seperti orang yang hidup di musim kemarau yang jauh dari air, dia menandaskan minuman itu dalam sekali teguk. Gelas dengan bening embun di sekitarnya diletakkan di atas meja hingga menimbulkan suara 'tuk' yang jelas terdengar. Namun, bukan itu fokus Rania sekarang. Sesuatu yang aneh menarik perhatiannya. Karena itulah tatapannya jatuh pada jari tangan Elang.

Masih berdiri di sebelah Elang, Rania tiba-tiba saja menjulurkan tangan tepat di hadapan Elang. Jelas hal itu membuat Elang mengernyit bingung. Dia mendongak, kemudian bertanya, "Apa, nih? Minta duit?"

"Bukan," sahut Rania lengkap dengan gelengan kepala, "minta tangan kiri kamu sini."

* * *

EPIPHANYWhere stories live. Discover now