54. Janji di Malam Hari

142 13 2
                                    

"Ck, udah dikasih tau suruh nunggu, tapi kenapa malah cuci piring?"

Rania tertawa kecil, melirik sekilas ke arah Vernon yang berdiri di sebelahnya. Dengan sebelah tangan sibuk memegang handuk untuk mengeringkan rambut, maka laki-laki itu tampak memasang muka paling garang yang ia punya. Namun, bukannya ketakutan, Rania malah melanjutkan cucian piringnya hingga selesai. Setelah mematikan keran dan mengeringkan tangan menggunakan kain lap, Rania terlihat menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Jangan salahin Rania. Salahin aja tuh kenapa piring kotornya numpuk minta dicuci."

Vernon berdecak sambil menjawil ujung hidung Rania. Dengan gemas ia bertanya, "Udah pinter ngejawab, ya, kamu?"

Sementara Rania hanya tertawa saja. Dia pasrah sewaktu pergelangan tangannya digenggam oleh jari-jari dingin Vernon yang segera membawanya menuju ke sofa. Di atas kursi panjang yang empuk, kekasihnya itu menyuruhnya untuk duduk. Sedangkan dia sendiri mengambil remot AC untuk mematikan mesin tersebut.

Malam ini hujan kembali datang. Membawa hawa sejuk yang seketika menyergap masuk hingga menusuk ke dalam tulang. Rania merapatkan kaki, lalu dilanjutkan dengan menggesekkan kedua tangan dalam gerak yang cepat. Dia perlu kehangatan untuk tubuhnya. Setidaknya agar giginya tidak terlalu menggelatuk bunyinya. Baiknya, laki-laki yang beberapa saat tadi pergi entah ke mana, kini kembali lagi dengan sebuah selimut tebal tertumpuk dalam pelukannya. Dengan cekatan lelaki berjanggut tipis itu menggeraikan selimut dan membiarkannya memeluk tubuh Rania dari arah belakang.

Sembari membenarkan tatanan selimut agar Rania tak lagi kedinginan, Vernon lantas bertanya dengan raut cemas penuh kekhawatiran. "Dingin banget, ya?"

Dan sama halnya seperti Vernon yang tak ragu untuk mencemaskannya, maka Rania pun juga tak ragu untuk menganggukkan kepala. Namun, dirinya dapat memahami bahwa di sini dia tidak boleh membuat Vernon mengkhawatirkan keadaannya secara berlebihan. Hingga akhirnya Rania memutuskan satu hal baik. Dia menarik kedua sudut bibirnya dengan sederhana, menciptakan lengkungan indah yang enak dipandang mata. "Tapi ini udah mendingan, kok. Gak usah cemas gitu."

"Gimana Abang gak cemas, Rania? Tadi Abang jemput kamu dalam keadaan baik-baik aja. Masa pulangnya udah enggak, sih? Bisa-bisa dimarahin nanti Abang sama bunda. Okelah kalo cuma dimarahin doang. Kalo Abang dilarang ketemu kamu lagi gimana? Siapa yang mau tanggung jawab kalo misalkan Abang rindu kamu?"

Demi keluh resah Vernon yang terdengar lucu di telinga, maka dalam detik itu juga Rania tergelak lebar. Dia sempat tak bisa berkata-kata beberapa saat lamanya. Juga membiarkan Vernon melongo karena heran melihatnya. "Abang lebay banget, sih? Mana ada bunda begitu?"

"Ya ... siapa tau, 'kan? Kali aja marahnya bunda enggak main-main," sahut Vernon membantah perkataannya. "Um, bentar. Kamu tunggu di sini dulu, jangan ke mana-mana," lanjut Vernon tiba-tiba.

"Emangnya Abang mau ke mana?"

"Ke dapur. Mau buatin kamu minuman yang hangat dulu."

"Eh, gak usah--" Vernon langsung berlari, meninggalkan Rania yang tak sempat lagi melanjutkan kalimatnya. Akhirnya, demi melihat sang kekasih yang mulai sibuk merebus air, Rania hanya bisa menghela napas pelan.

Tak lama menunggu, laki-laki kesayangannya itu pun kembali mendekatinya dengan wajah semringah. Vernon menyerahkan sebuah gelas kepadanya. Dan saat diteliti lebih lagi, ternyata Vernon memberinya secangkir wedang jahe kesukaannya. "Makasih."

"Sama-sama." Saat ini Vernon langsung menjatuhkan bokongnya di sebelah Rania. Suasana pun mendadak hening untuk beberapa saat lamanya. Hanya menyisakan suara derai hujan dan juga deru napas yang berembus secara beraturan. Keduanya larut dalam diam, tampak disibukkan dengan pikiran masing-masing yang sulit untuk diabaikan.

EPIPHANYWhere stories live. Discover now