37. Dia Yang Akan Datang

113 15 0
                                    

Satu per satu rintik hujan jatuh di atas genteng. Hingga lama-lama disusul oleh ribuan tetes lainnya. Menimbulkan suara deras yang seketika memekakkan telinga. Memang sejak sore tadi kumpulan awan hitam telah memenuhi langit. Dan inilah puncaknya. Awan-awan hitam itu tak lagi sanggup untuk menahan beban sehingga harus memuntahkannya detik ini juga.

Pandangan mereka bertahan dalam waktu yang cukup lama. Keduanya seperti tengah menyelami manik masing-masing. Namun, Rania tak ingin hanyut. Dia tidak ingin melupakan apa yang telah menjadi tujuannya. Saat mengetahui lawan bicara memilih diam bak patung, Rania berdecak. Dia perlu menunduk dan meraih tangan kiri Elang agar dapat dilihat dengan jelas oleh matanya sendiri.

Seperti yang Rania duga. Kecuali ibu jari, sisanya dia menemukan sesuatu yang aneh di sana. "Ini kenapa?" Rania memperlihatkan garis-garis lurus pada keempat jari tangan Elang. Garisnya dalam, bahkan hampir merobek kulit jari. Tapi ketika melihat Elang tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya, Rania malah mendengkus kesal. "Kalau ditanya itu dijawab. Bukan malah senyam-senyum."

Udara di luar memang dingin. Sangat dingin malah. Tapi jika dibandingkan dengan raut muka Rania, maka sungguh kedinginan di luar sana bukanlah apa-apa. Mata Rania nyalang memandang ke arah Elang. Kedua bibirnya sengaja ditipiskan.

Tak ada takut-takutnya untuk Elang yang saat ini malah tertawa. Entah di mana lucunya. "Tadi kejepit pintu. Segitunya lo perhatian sama gue," papar Elang seraya meloloskan sebuah senyum manis untuk meredam amarah Rania.

"Meleng nih pasti. Lain kali jangan gitu lagi," peringat Rania sambil menarik ujung hidung Elang dengan sedikit keras. "Mau aku obatin, gak?"

"Gak usah. Gak sakit juga," tolak Elang. Kemudian, Elang menggeserkan tubuhnya ke samping. Dia menepuk-nepuk bekas tempat duduknya seraya menatap Rania. Saat gadis itu telah sepenuhnya ada di sampingnya, Elang berujar, "Besok tanggal merah, 'kan?" ada jeda untuk Rania menganggukkan kepala, "nah, berarti besok lo ke rumah gue, ya?"

"Eh, ngapain?"

"Gue mau dibuatin kimbab. Ya?" Elang menaikkan kedua alisnya tinggi-tinggi. Bibirnya ditarik selebar mungkin, sekalian memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapi.

"Kamu aja ke sini," usul Rania yang secara tidak langsung dapat diartikan sebagai sebuah penolakan.

"Enggak, ah. Males," cetus Elang setelah kembali menyandarkan punggung pada sofa. Dia menoleh, lalu mendapati Rania yang duduk manis dengan gurat muka bingungnya. Lantas, dia pun menjelaskan, "Gue males karna waktu ke sini, gue harus selalu lewatin warung makan di depan kompleks."

"Emang kenapa sama warung makan itu?"

"Bukan sama warung makan itu, sih. Gue gak suka aja sama pemiliknya. Tiap gue lewat, ibu itu selalu kedipin mata sama manggil-manggil. Geli gak tuh?" Bahkan saat menceritakannya saja Elang masih bergidik ngeri. Bulu kuduknya pun berdiri secara spontan.

"Yaudah cuekin aja. Beres," ucap Rania memberi usulan yang dihadiahkan dengan tatapan dari Elang.

"Gak bisa."

Rania bertambah bingung karena jawaban singkat dari Elang. "Lho, kenapa gak bisa?"

Perlahan kedua sudut bibir Elang tertarik sempurna. Dia kembali mengulas senyum lebar yang seketika membuat Rania curiga. Sebelum menjawab, Elang lebih dulu memegangi kedua tangan Rania. Pasalnya dia tahu kalau gadis ini pasti akan mengamuk setelah mendengarnya. Elang perlu antisipasi untuk melindungi diri. Elang menggerakkan bibir, mengeluarkan kalimat yang tersusun indah dalam kepalanya. Dia menjawab, "Soalnya di sana ada anak ibu itu. Cantik. Gak sanggup buat dicuekin jadinya."

EPIPHANYحيث تعيش القصص. اكتشف الآن