8. Terima Kasih

235 26 4
                                    

"Ran, bener, kan, lo baru aja abis nangis?"

Rania tersadar bahwa dirinya belum menjawab pertanyaan Kayla untuk kedua kalinya. Seraya menegakkan punggung, ia lantas berkata, "Enggak, kok, Kay. Gue gak nangis. Malah ini gue baik-baik aja setelah ngerjain PR-nya Pak Jovan."

"Masa, sih?" bingung Kayla dengan suara pelan, "pasti lo boong, 'kan? Ayo, ngaku lo! Siapa yang udah nyakitin lo, hah!?"

"Gue gapapa, Kayla, serius. Suara sengau itu karena efek cuaca malam yang sejuk banget. Udah biasa juga kali, mah." Rania beralasan. Semua ini ia lakukan karena tidak ingin membuat Kayla khawatir terhadapnya.

"Bener, Ran? Apa gue cek langsung ke rumah lo aja kali, ya?"

"Eh, jangan!" pekik Rania secara tak sadar, "katanya lo ada janji sama Fiki. Yakin mau dibatalin, nih? Kali aja malam ini dia mau nembak lo, 'kan? Udahlah, jangan segitunya ke gue. Sekali-kali lo juga harus perhatian sama diri lo sendiri."

Terdengar helaan napas Kayla selanjutnya. Terjadi keheningan selama beberapa detik, sebelum akhirnya Kayla pun kembali bertanya, "Bunda lo ada di rumah?"

"Di butik dia. Lembur lagi."

"Oke. Karena gue gak bisa nemenin lo malam ini, jadi gue bakalan nyuruh Elang buat ke sana. Oke, Ran?"

Lagi-lagi Rania terjolak kaget. Matanya melebar dua kali lebih besar. Belum pun bantahan darinya terdengar, Kayla dengan segera mematikan sambungannya. Ck, dasar! Ingin rasanya Rania mengumpat, merutuki Kayla habis-habisan. Dia tahu kalau gadis yang tengah bahagia itu khawatir terhadapnya, tapi ... dengan menyuruh Elang ke sini juga bukan solusi yang tepat.

Dengan kesal Rania memukul meja belajarnya beberapa kali. Sewaktu kepalan tangannya terasa perih, ia pun berhenti melakukannya. Masih menerawang pada pajangan note-note kecil yang tertempel di dinding, sontak Rania dikagetkan dengan bunyi bel rumahnya berkali-kali. "Bunda," ucapnya cepat. Dengan perasaan bahagia, ia cepat-cepat beranjak dari duduknya dan seketika berlari keluar kamar. Ia menuruni tangga, tapi anehnya suara bel rumahnya masih saja terdengar. Itu membuat Rania risi dan mendadak heboh dengan sendiri. "Bentar, Bun!" teriaknya.

Dan pada saat pintu rumah dibuka, Rania hanya bisa menemukan seseorang yang langsung memegangi dahinya. Mengecek suhu tubuhnya sana-sini, dan akhirnya bertanya, "Kok lo gak demam?"

"Ya ... siapa juga yang ngomong kalo aku demam?" Ia membalas pertanyaan sosok tersebut dengan santai.

Dilihatnya Elang melotot dengan spontan. Dan pada detik ini, Rania baru menyadari bahwa napas laki-laki itu saling tumpang tindih. Elang seperti orang kelelahan setelah menempuh perjalanan yang begitu panjang. Peluh bertaburan di sekitaran wajah yang berkilau apabila terkena cahaya lampu. Seketika, tubuh Elang terjatuh di lantai bersama dengan hela napas yang terdengar begitu panjang. "Hah ... berarti Kayla bohongin gue?"

Rania juga ikut-ikutan berjongkok di depan Elang hingga tinggi di antara keduanya terlihat sama. "Kayla yang kasih tau kalo aku demam?" tanya Rania setengah menahan tawa begitu mengetahui kalau Elang telah dikerjai habis-habisan.

"Iyalah," ketus Elang, "dasar cewek rabun. Gue sumpahin Fiki gak jadi nembak lo malam ini!"

"Gak boleh ngomong gitu, Lang. Gak baik."

Mendengar suara Rania yang begitu lembut, Elang pun menatapnya dengan ekspresi bingung. Area di sekitaran dahinya berkerut. Kedua alisnya pun hampir menyatu untuk membentuk satu garis lurus. "Lo tau apa yang gue udah alamin tadi, hah?" Rania menggeleng, karena memang dirinya tak tahu sama sekali. "Oke, gue jelasin! Gara-gara si cewek rabun itu yang telpon gue trus ngomong kalau lo demam tinggi, gue langsung bangun, pake hoodie, trus lari keluar. Dan pada saat mau pergi, gue gak nemu nih sendal yang benar, sampe akhirnya gue pake aja walau warnanya beda."

Rania menunduk, tepatnya menatap ke arah sandal yang saat ini Elang pakai. Begitu melihatnya, Rania langsung tertawa kecil. Laki-laki ini benar-benar memakai sandal dengan warna yang berbeda. Satunya ia kenakan warna hitam dan satunya lagi ia kenakan warna hijau.

"Gue tau lo mau ngakak. Gapapa ngakak aja. Gue ikhlas," ucap Elang terlalu pasrah, tapi tersirat makna kesal dan nada dingin di sana.

"Lucu banget, Lang," timpal Rania yang masih tersenyum hingga kedua matanya tenggelam. "Trus kenapa kamu bisa masuk ke sini? Soalnya kalau gak salah pagar rumahnya aku kunci, deh."

Pun Elang berdecak, lalu membenarkan posisi duduknya menjadi bersila di lantai. "Gue panjatlah," cicit Elang tanpa berani menatap Rania di matanya.

"Hah!? Serius?" kaget Rania tak percaya. Ia kemudian spontan melihat ke arah pagar yang tinggi, lalu kembali lagi ke wajah Elang. "Gimana bisa?" desisnya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Mana gue tau. Orang kalo udah khawatir, ya, gini. Gue takut lo kenapa-kenapa. Soalnya Kayla bilang lo sendirian di rumah. Mana bisa tenang gue."

Rania mengulum senyum malu. Malam ini Elang terlalu romantis baginya. Padahal siang tadi laki-laki ini baru saja memarahinya, mengatakan beberapa hal yang sedikit menggores hatinya. Namun, semua itu perlahan-lahan habis. Elang mengikisnya tanpa sadar hingga rasa sedih itu berubah menjadi sesuatu yang membuat Rania bahagia.

"Ck, apaan, sih, liatin mulu?" kesal Elang karena menyadari bahwa Rania enggan memindahkan mata dari wajahnya. "Ambilin minum sana. Gue haus, capek!"

Langsung saja Rania bangun tanpa banyak membantah. Berjalan cepat ke arah kulkas untuk kemudian menuangkan segelas penuh jus jeruk untuk Elang. Ia kembali lagi dengan senyum simpul. Melangkah pelan ke arah Elang yang masih duduk di atas lantai dan terlihat membelakanginya. Rania mengambil tempat di sebelah Elang yang kini tengah larut memandangi bulan sempurna di atas sana. Gelas yang bagian luarnya terdapat embun-embun kecil, lantas Rania tempelkan pada pipi Elang untuk menyadarkan laki-laki itu yang sama sekali tak melihat ke arahnya. "Nih, minum," ucap Rania begitu Elang menoleh karena kaget.

"Hm." Elang mengambil minuman tersebut dan meneguknya. Matanya terpejam, jakunnya naik turun, dan itu semua tak luput dari pandangan Rania. Elang terlihat begitu spesial malam ini. Entah karena sandal jepit yang berwarna tak sama. Atau karena celana jeans lusuh selututnya. Elang tampak berbeda. Mungkin karena rambutnya yang tampak berantakan. Elang terlihat tampan, hanya karena keringat yang mengatakan bahwa ia sangat lelah ketika menempuh perjalanan untuk menemuinya. Dan ... Elang terlihat begitu menawan, walau hanya memakai hoodie hitam yang Rania berikan sebagai hadiah ulang tahun untuknya.

Rania tersenyum simpul di tempatnya. Dan dari itu semua, ia hanya bisa berkata, "Makasih udah mau khawatirin aku, Elang."

* * *

Tbc

Salam sayang,

yang suka mellow-mellow di part ini

EPIPHANYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang