35. Kedatangannya

179 16 1
                                    

"Kenapa?"

Butuh waktu beberapa detik untuk Elang bisa menjawab pertanyaan singkat dari Rania. Setelah cukup memikirkan kata-kata yang sekiranya pantas untuk ia ucapkan, Elang membuka suara, "Kayanya gue gak bisa nemenin lo hari ini."

Kan.

Rania berdecak. Wajah dongkolnya cukup menjadi jawaban bahwa Rania tidak suka dengan apa yang barusan Elang katakan. Dan lihatlah sekarang! Minat Rania untuk menghabiskan semua makanan ini sirna dalam waktu yang tak lama.

"Ran, sorry. Gue lupa kalo ada janjian sama Fiki siang ini," ucap Elang berusaha membujuk.

Namun, Rania dalam mode menstruasi sangatlah berbeda dari hari biasanya. Dia bisa menjadi gadis yang pemarah dan sedikit lebih sensitif. "Gak bisa hari lain apa? Aku mau kamu di sini dulu, temenin aku, Lang. Kamu, 'kan, tau kalo aku itu butuh kamu?" Rania bertanya kalut. Ekspresi wajahnya pun sudah berubah masam.

"Iya, gue tau, Rania. Cuma yang ini lebih penting dari--"

"Dari aku? Iya?"

Elang kembali tercenung. Entah sudah kali ke berapa, yang pasti dirinya terus saja membasahi tenggorokan dengan saliva. Dan jangan lupakan satu hal. Bahwa Elang bukanlah laki-laki yang pandai dalam membujuk sang pacar yang masih merajuk. Tak kalah frustasi dengan Rania, Elang pun mengusap wajahnya dengan kasar. Dia berdiri yang sesaat kontan membuat Rania melebarkan matanya. Singkatnya, Elang telah memutuskan dari sekian banyak pilihan. Dan ini adalah jawabannya. "Gue pergi. Nanti malem gue ke sini lagi." Setelah menepuk puncak kepala Rania, tubuhnya pun perlahan menjauh dari sana.

"Aku emang gak sepenting itu buat kamu, Lang," lirih Rania ketika menyadari bahwa Elang benar-benar meninggalkan dirinya.

* * *

"Bunda gak pulang?" Kamar yang berukuran 3×5 itu lantas dipenuhi oleh suara tinggi Rania. Dia buru-buru bangun dari dekapan selimut begitu Luna menelponnya, dan mengatakan bahwa ia akan menginap di butik.

"Iya. Maaf, ya. Soalnya kalau Bunda pulang pergi yang ada banyak memakan waktu. Mana pekerjaan Bunda lagi menumpuk juga."

Rania menghela napas lelah. Kabar buruk baginya. Rania biasa ditinggal lembur oleh Luna. Tapi kalau untuk benar-benar tinggal sendiri di rumah ini ... Rania belum pernah. Dia menelan ludah, gusar. "Jadi ... malam ini Rania sendirian di rumah, Bun?" Suaranya mendadak berubah seperti cicitan halus. Dia memainkan lidahnya dengan mulut tertutup, berharap banyak kalau Luna akan membatalkan niatnya tersebut.

"Iya, Sayang. Gapapa, 'kan?"

"Hm ... yaudah, deh."

"Oke. Teleponnya Bunda tutup. Kamu udah makan?"

Refleks Rania menggeleng lemah lantas menjawab dengan nada rendah, "Belum."

"Makan dulu, ya. Kamu lagi menstruasi soalnya. Kalau seandainya males masak, kamu beli aja di luar. Pokoknya jangan sampe gak makan. Janji?" Usai mewanti-wanti Rania dengan banyak pesan lainnya seperti jangan lupa mengunci pintu dan menutup semua jendela, telepon pun dimatikan.

Kontan Rania menghempaskan tubuhnya kembali di atas kasur. Dia mengambil bantal, meletakkan di atas wajah lalu berteriak sepuasnya. "Ahh, Rania takut sendirian. Bundaaa!" rengek Rania seperti anak kecil yang gagal pergi ke pasar malam. Namun, bukankah Rania juga bukan anak kecil lagi? Seharusnya dia tidak akan dan tidak boleh menangis hanya karena ditinggal sendiri seperti ini.

EPIPHANYWhere stories live. Discover now