15

1.5K 212 63
                                    

Yujin melangkahkan kaki jenjangnya melintasi koridor rumah sakit. Baju putihnya dibiarkan berkibar mengikuti setiap gerakan langkah kakinya. Kacamata tebal yang menggantung di sekitar wajahnya sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanan natural yang menjadi miliknya.

Yujin sesekali tersenyum ketika beberapa pasien, pengunjung bahkan suster-suster mulai berjajar dan memamerkan senyuman menggoda ke arahnya.

"Dokter Ahn, anda sudah ditunggu." Suara nyaring Chaewon terdengar di telinga Yujin ketika ia melintasi meja kerja sekretarisnya.

"Terima kasih nona Kim." Ujarnya lembut kemudian masuk ke dalam ruang kerjanya.

Yena bangkit dari tempat duduknya ketika melihat Yujin memasuki ruangannya. Pemuda berwajah kekanakan itu memperhatikan wajah lelah Yujin yang masih sibuk menggantungkan baju putihnya di tiang mantel.

Yena kembali duduk di kursinya ketika Yujin mengisyaratkan dirinya untuk kembali duduk. Meski mereka sahabat, norma kesopanan harus tetap dijaga bukan?

"Jadi, kau mendapatkan sesuatu?" Yujin melepas kacamata tebalnya. Menatap Yena yang kini duduk berhadapan dengannya.

"Aku tidak yakin apa kau akan suka mendengar cerita ini. Tetapi percayalah kepadaku, Minju benar-benar gadis yang malang."

Yujin menyimak dengan baik setiap kata yang dilontarkan Yena. Sesekali rahangnya menegang karena marah, kedua matanya melebar nyaris tak percaya pada kronologis cerita yang disampaikan Yena. Yujin menggeram, kedua tangannya terkepal erat hingga menyebabkan seluruh buku jarinya memutih.

"Apa kau tahu di mana si berengsek itu sekarang?" Yujin nyaris berteriak ketika menanyakan hal tersebut.

"Entahlah, Yuri juga tidak bisa menemuinya setelah malam itu. Mungkin dia memilih untuk kabur." Tebak Yena kemudian menyeruput kopi yang disiapkan sekretaris Yujin untuknya.

"Pengecut" geram Yujin kesal. Pikirannya kini melayang pada kondisi Minju malam itu. Yujin bisa merasakan bagaimana kecewa dan terlukanya Minju karena perbuatan Jaemin. Tiba-tiba saja rasa ingin melindungi itu kembali muncul di dalam hatinya. Namun yang menjadi masalah adalah sikap Minju yang masih enggan menerima niat baiknya.

"Ah,, satu lagi. Ini soal kehamilan Minju."

Yujin seketika tersadar dari lamunannya, "Ada apa dengan kehamilannya?" Tanya Yujin protektif.

"Kurasa Jaemin juga berencana untuk menggugurkan kandungan Minju."

"Mwo?"

"Ada perusahaan rekaman yang berniat mendebutkan Minju sebagai penyanyi. Jaemin yang mengenalkan Minju dengan produser itu. Dan setahuku syarat-syarat menjadi seorang penyanyi yang akan debut adalah, tidak terikat hubungan, belum menikah, dan jelas tidak boleh hamil. Bukankah itu strategi yang sempurna untuk mendorong Minju melakukan aborsi?"

Yujin menatap nyalang ke depan. Tangan kanannya yang bebas digunakan untuk meremas kertas-kertas yang berserakan di depannya, "Si berengsek itu benar-benar ingin mati."

"Lalu sekarang apa rencanamu? Kau benar-benar ingin menikahinya?"

Yujin menghela nafas panjang, "Minju masih belum mau menerimaku." Bisiknya nyaris tanpa suara.

"Lalu ibumu? Bagaiamana dengan nyonya Eunbi yang terhormat? Apa dia akan mau menerima Minju?"

Yujin menatap kosong ke arah Yena. Dia juga belum memikirkan tentang itu. Ucapan ibunya pagi itu benar-benar membekas di pikirannya. Apa benar ibunya akan mau menerima kehadiran Minju? Seorang penyanyi bar, bukan dari golongan atas dan telah berbadan dua.

.








.








.

TIMING (END)Where stories live. Discover now