Catatan 13 Hari yang Buruk

6.1K 761 61
                                    

Bisa kubilang ini adalah hari terburuk setelah aku menikah dengan Mas Dru. Dulu sih sudah biasa aku merasa nggak nyaman, nggak aman, dan lain sebagainya. Terjebak bersama orang yang salah juga pernah kualami. Namun, kali ini rasanya beda. Hatiku makin keki dibuatnya. Mungkin karena aku telah masuk dalam lembaga pernikahan. Dan aku terjebak dengan orang yang salah, nggak seharusnya membuat runyam masalah.

Hujan masih turun dengan derasnya saat aku berusaha menelepon Mas Dru. Aku juga berusaha menghubungi Bu Ivana dan senior yang lain agar mereka kembali. Namun, sia-sia. Daerah ini beneran daerah yang susah signal. Kata bu Kades, biasanya mereka pakai wifi kalau akses internet. Sayangnya karena hujan deras, jaringan wifi juga buruk. Ini sebenarnya masih di Malang apa sudah di pedalaman bumi sih. Susah banget rasanya.

Lalu gimana aku menghubungi mereka? Aku dan yang lainnya tak ingin di sini lama-lama. Apalagi aku yang mulai tak nyaman karena di sini bersama dengan Daniel. Pasti gosip tentang kami makin sip, hiks. Aku takut dianggap melanggar larangan Mas Dru untuk jaga jarak dengan Daniel. Kenapa sih harus terjebak di desa ini sama dia! Kalau nggak ada dia, mungkin aku masih tenang.

“Izin Bu, teh hangat. Badan Ibu sedikit basah,” buyar Bu Hakim sambil memberiku segelas teh melati yang masih mengepul.

Aku menggeleng pelan, “saya nggak haus, Bu.”

“Izin, saya taruh di meja sini, ya?” Dia bergegas pergi untuk menyajikan teh pada 7 Om anggota yang ikutan terjebak juga. Termasuk si dokter belagu yang tak ada hentinya menatapku. Kucolok juga nanti ya!

“Bu, HPnya ada signal? Boleh saya minjem buat nelepon suami saya?” berondongku linglung. Bu Hakim menggeleng kecewa.

“Tidak ada HP yang berfungsi, Bu,” jawabnya sedih sambil berlalu.

Aku menghempaskan badan kurus ini pada kursi kayu rumah bu Kades. Pandanganku kosong dan tak tahu harus apa. Ini beneran hari yang buruk. Seperti sebuah kesalahan terburuk dalam hidup Alana. Aku takut membuat Mas Drupada cemburu. Takut jika dia tidak percaya padaku. Trauma itu masih membekas jelas dalam benakku.

“Minumlah, Mbak. Biar Mbak tidak kedinginan,” dokter Daniel menyodoriku dengan gelas teh yang masih penuh.

Aku menatapnya judes, “nggak usah deketin saya!”

“Saya akan cari cara supaya kita bisa pulang, Mbak,” katanya sabar. Suaranya sok dikalem-kalemkan, hiii jijik.

“Ya bagus! Pikir sendiri sana!” suruhku judes. Aku membalik badan untuk menghindarinya. Ini orang mukanya tebal sekali sih, nggak nyadar-nyadar.

“Boleh saya periksa nadi, Mbak? Mbak pucat sekali,” halo, apakah Anda sedang khawatir? Nggak perlu! Kepedulianmu nggak ngaruh bagiku.

“Nggak usah!” tekanku dengan nada sinis. Beberapa anggota sampai melihat kami. Oke, aku artis kalian! Haruskah aku joget sekalian?

Aku berjalan cepat menghindarinya. Lebih baik masuk ke dalam rumah bu Kades dan mencari tempat persembunyian darinya. Sekalian menghangatkan diri karena badanku dingin sekali. Angin kencang dan hujan deras adalah paket komplet untuk menyiksaku sore ini. Mana sebagian bajuku basah lagi karena tadi susah payah cari signal, hiks.

Hari mulai beranjak malam. Gelap mulai datang dan membuat beberapa hewan malam mulai berbunyi. Listrik juga nyala hidup, apalagi kalau habis hujan angin gini. Oke, lengkap deh mirip seperti perkemahan. Gelap, sunyi, dan hanya ada suara gemericik hujan. Bu Kades menyuruhku dan Bu Hakim tidur di kamar anaknya. Kami maklum walau kamarnya berantakan dan sempit. Harusnya malah sangat berterima kasih karena telah dibantu. Untung pada setiap kemalangan, aku bertemu dengan orang-orang baik. Kali ini bahkan aku dipinjami baju sama bu Kades.

“Maaf Ibu jika makan malamnya sangat sederhana. Hanya ada sayur manisah dan ikan asin, serta sambal terasi. Maaf sekali Ibu,” ucap Bu Kades tak enak. Pak Kades juga hanya bisa tersenyum malu.

Catatan Dodol Mamah Muda (Serial Alana dan Drupada)/OngoingWhere stories live. Discover now