Catatan 18 Langit Suram

8.3K 1K 122
                                    

Langit suram sesuram hatiku. Mungkin itu judul yang tepat untukku mengawali catatan pernikahan ini. Pernikahan yang awalnya indah dan selalu panas, kini berisi kesialan dan pertengkaran hampir setiap hari. Mungkin kedatangan Daniel hanyalah perantara cobaan dalam pernikahan ini. Kata orang kan memang tahun awal pernikahan adalah tahun yang terberat. Terberat menurut siapa aku juga nggak tahu.

Pusing kepalaku bak naik kapal layar. Goyang-goyang kena badai asmara yang tak kunjung berakhir. Sama seperti emosi suamiku yang tak kunjung mereda. Malah makin kacau setiap harinya. Sehari setelah pertengkaran hebat itu dia pulang terlambat. Kami bahkan tak bicara hingga jam tidur. Dia tak ingin tidur denganku dan memilih tidur di depan TV. Diajak masuk ke kamar juga diam aja, hiks.

Masalah permakanan, dia juga lebih suka berangkat pagi dan melewatkan sarapan. Masakan anehku selalu kumakan sendiri dan kadang berakhir di tempat sampah. Menyedihkan sekali sih nasibku ini. entah kenapa kemarahannya berlarut sekali. Sungguh kekanakan. Kupikir dia dewasa ternyata nggak samsek. Jengkel iya, heran iya banget. Banyak sifatnya yang baru kukenali setelah nikah, huh.

“Mau makan nggak?” tawarku cuek sambil menggigit roti mentega. Dia hanya melirik tipis sambil memakai sepatu.

Ini hari sabtu, hari kedua pertengkaran hebat kami. Aku tak diam-diam mulu kayak dia, masih kutanya mau apa dan apa. Namun, dia yang lebih banyak jaga jarak. Seolah aku ini anjing galak rabies gitu deh. Ya udah botok amat, udah capek aku. Capek menjelaskan. Capek dituduh nggak jelas. Nggak ngarti lagi ah sama sikapnya, botok amat!

“Nggak makasih,” jawabnya pendek sambil memakai kopel di pinggang rampingnya.

“Ya udah,” jawabku pendek bin cuek. Lapar ya udah, bukan urusan gue.

Mas Dru pamit kerja dengan cuek setelah kucium tangannya, masih hormat menghormatilah. “Besok siapkan baju di tas dan beberapa makanan. Seperti janjiku, setelah semua selesai kita jalan-jalan seharian.”

“Hah, jalan-jalan kemana? Malas!” timpalku enggan.

Mas Dru menatapku datar. “Siapkan saja!”

Aku tak menjawab dan hanya melihat wajahnya yang kosong. Ada kerinduan dalam benakku saat melihat wajah gantengnya. Namun, aku lebih ke enggan memulai pembicaraan apapun karena sikapnya. Semua tertutup karena sikap kekanakan alaynya itu. Dia kan kepala keluarga, kok nggak bisa mimpin aku. Eh, setidaknya berbaikan denganku gitu. Eh, baik-baikin aku kek. Masa iya dia kayak gitu karena cemburu berat? Kecewa sama aku gitu? Ya udahlah bodok!

“Ogah, mendingan aku besok ke rumah bunda aja. Minggat ke sana, daripada di sini cuma kayak keset welcome!” gumamku kesal sambil merapikan meja makan.

Bodok amat sama masak-masakan. Dia mau makan kek enggak kek, nggak ngurus! Kemarin masak nasgor juga utuh nggak dimakan sebutirpun.

Hari berganti hari gitu aja. Cepet karena kebanyakan aku tidur doang. Malas mau apa juga. Dia juga jarang pulang ke rumah. Kayaknya menghindar gitu deh. Iye terusin aja kayak musuh sama aku, nggak apa-apa kok. Aku udah biasa dikecewain. Udah biasa ngerasa useless. Katanya cinta aku, nyatanya cuma ‘katanya’. Buktinya, sekarang aku dibuang gitu aja cuma karena masalah yang aku nggak sepenuhnya salah.

“Udah siap?” buyarnya saat aku menggeliat manja di kasur.

Aku berdecak kecil, “mau kemana emang?”

“Jalanlah! Yuk!” ajaknya setengah memaksa. Aku menyeringai malas.

“Mas ajalah. Aku di rumah aja,” jawabku ogah.

“Ini janji yang harus kutepati. Udahlah jalan aja!” paksanya sambil mengangkat tubuhku pelan. Ih, aku hampir ketawa lho ini mendapatkan skinship-nya. Murahan banget kan aku!

Dia menatapku datar dengan mata sendu itu. “Aku tunggu di depan TV. 10 menit cukup kan buat ganti baju.”

“Engg – enggak ma – mauu,” seperti biasalah selalu gagap hanya karena ditatap mataku. Murahan sekali kan akuh, hah!

Catatan Dodol Mamah Muda (Serial Alana dan Drupada)/OngoingWhere stories live. Discover now