Catatan 19 Percaya Aku

12.9K 1.1K 167
                                    

Aku telah dicampakkan, oleh suamiku sendiri bahkan. Mungkin memang sudah tertulis di goresan takdir bahwa Alana adalah wanita yang pantas dicampakkan. Aku nggak berharga, terlihat jelas dia tak percaya. Sekuat apapun aku meminta, dia tak mau lagi berdekatan denganku. Tak dipercaya suami sendiri itu sakitnya kayak dicambuk seribu kali. Ya meskipun aku nggak pernah dicambuk sih.

Aku keki berat. Hatiku kacau balau nggak ada bentuk. Sepanjang perjalanan dari pantai laknat itu aku banyak diam. Begitu pula dengan dia, biasanya udah diam sekarang makin hening. Kayak nggak ada yang perlu dibicarakan lagi denganku gitulah. Kenapa sih dia nggak bilang kangen aja? Kenapa harus seribet ini pakai minta tenangin diri segala?

“Apa aku separah itu menyakiti Mas?” tanyaku datar tanpa melihatnya. Kami ada dalam perjalanan pulang.

“Bisakah kita tidak membahas itu? Aku sedang menyetir, Lana,” alihnya tak mau tahu.

Aku menatapnya lurus seraya berkata, “kenapa sih harus ambil cara yang rumit? Tak bisakah kita baikan lalu memperbaiki semua ini bersama?”

“Nggak bisa Alana,” ujar Mas Dru sambil meminggirkan mobilnya. Mungkin takut nabrak kalau nyetir sambil debat.

“Kenapa?” tanyaku pendek.

“Tahukah kamu, berdekatan denganmu saat ini hanya membuatku ingin marah saja. Aku tak mau memarahimu lagi, Lana. Pernikahan kita sangat melelahkan akhir-akhir ini,” ujarnya.

“Kenapa, Mas? Apa dosaku sangat besar?”

“Bukan, tapi rasanya pikiranku benar-benar ruwet. Aku butuh sendiri Alana. Tak bisakah kamu memberikanku kesempatan?” ulangnya menyebalkan.

“Tapi bagaimana kalau ayah bunda tahu kita sedang bertengkar? Kepulanganku ke rumah ini pasti akan menggemparkan, Mas,” alasanku masuk akal kan?

“Lalu kembali ke asrama, iya? Menambah beban pikiranmu karena kita sedang jadi topik bahasan nomor satu di sana,” Mas Dru menatapku lekat.

“Aku kayak gini juga karena mikirin kamu, Lana. Aku nggak mau kamu, kita, makin stres dengan omongan orang,” imbuhnya frustasi.

“Bukannya Mas bilang udah tebal kuping? Nggak semua perkataan orang harus didengar,” desakku.

“Iya, nyatanya omongan tentang kita di asrama makin seru dan bikin kupingku gatal,” jawabnya kesal. Bener juga, manusia mana yang nggak capek digosipin terus.

“Lalu ini alasan Mas membuangku?” sindirku tajam.

“Demi Tuhan hentikan itu, Alana! Aku nggak membuangmu! Aku hanya ingin kita sama-sama tenang, seminggu saja!” tegasnya tak suka.

Aku membuang tawa kosong ke udara. “Jadi itu alasannya Mas suruh aku kemas baju? Karena aku mau diusir dari rumah asrama.”

Hufft, terserah kamu Alana. Aku capek menjelaskan lagi dan lagi,” timpalnya menyerah.

Kami sama-sama menghempaskan badan di jok mobil tak bersalah itu. Suasana yang tak pernah bagus seperti cuaca di luar sana, mendung mulai merintik hujan. Entah apa keputusan untuk saling menyendiri ini berguna atau tidak. Entah apa tanggapan banyak pihak. Akankah mereka mengerti atau malah mengutukiku? Sumprit, aku cuma merasa sedang dibuang itu saja!

“Aku nggak nyangka bakalan pulang ke rumah dalam kondisi kayak gini,” simpulku kacau.

“Aku yang bakal bicara semua ke ayah dan bunda. Kamu cukup diam dan mendengarkan saja, Alana,” Mas Dru menimpali semua dengan enteng. Iya dong, dia mau aku menjauh darinya kok. Ya naseb ya naseeeb.

Oke, kuikuti semua maumu Mas. Entah mau kamu jadikan apa aku ini, entah perkedel atau geprekan. Aku udah pasrah. Terlalu lelah rasanya sehingga aku tak sanggup lagi. Saking pasrahnya aku memilih merem di perjalanan ini. Terserah Mas Dru mau nurunin aku dimana.

Catatan Dodol Mamah Muda (Serial Alana dan Drupada)/Ongoingजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें