Catatan 21 Bangkit Bersama

12.5K 1.1K 226
                                    

Drupada Sadika Djati POV

Senyumku muncul saat melihat Alana tertidur cantik di sebelahku. Dia masih kelihatan lemah setelah kehilangan anak kami. Sebenarnya, aku tak mau membahas ini sebab sama saja mengucuri jeruk pada luka. Ini sangat menyakitkan bagiku. Kebodohanku menjadi salah satu penyebab anak kami pergi. Andaikan saja aku tak ikut menekan Alana seperti kemarin, pasti dia masih ada.

Kalau dituruti, aku bisa saja memukul diri sendiri. Aku terlalu emosi jika mengingat itu. Maka, ikhlas lebih melegakan. Lebih baik ikhlas daripada mengungkit sebuah kesakitan, supaya kita bisa mensyukuri hal yang lain. Setidaknya, istriku masih sehat dan baik saja. Dia masih kembali ke pelukanku kendati aku telah menyakitinya.

Berita keguguran Alana sampai pada bapak dan ibuku di Bandung. Mereka langsung terbang ke Malang saat ada libur di akhir pekan. Bapak dan ibu langsung menghambur untuk memeluk dan menguatkan Lana. Bahkan, ibuku tak sampai menangis karena takut membuat Lana bertambah sedih. Betapa sayangnya mereka pada istriku. Kata bapak, Lana bukan hanya anak mantu melainkan sudah seperti anak kedua bagi mereka. Itu karena aku hanya anak tunggal, yang terbiasa kesepian.

Sampai hari ini ibu masih ada di sini, rumah orang tua Alana. Kalau bapak sudah kembali ke Bandung karena dinas. Ibuku terlalu sayang meninggalkan Lana, beliau masih ingin merawat Lana. Kehadiran ibu membuat suasana semakin ramai di sini, sebab ibu mertuaku juga masih belum berangkat ke Surabaya.  Nuansanya lebih kepada reuni sesama rekanita zaman dulu. Minus Alana yang lebih suka tidur. Dasar putri tidur, mungkin kebanyakan obat ini anak.

“Bangun Sayang!” guncangku pada Alana yang masih ngiler.

Dia menggeliat kecil sambil memegang perutku, seperti kesukaannya selama ini. “Coklat blok, laparrr.”

“Apa?” aku geli sendiri mendengar ocehannya. Nglindur mulu ini cewek.

“Sayang! Bangunlah! Tuh kamu dicari bu Ivana disuruh voli!” tipuku yang membuat mata indah Lana terbelalak.

“Hah, mana? Ya ampun aku mandi dulu ya, Mas?” Lana terkejut bukan main sambil membuang selimutnya. Aku ngakak kegirangan. Lana merengut.

“Mas, bukannya Lana masih istirahat dari kegiatan ya!” protesnya kesal.

“Ti – pu!” ucapku mantap. Lana memukuli dada bidangku. Aku memegang tangannya, masih pagi untuk mesra-mesraan tipis-tipis.

“Coba sini gimana baunya kalau bangun tidur?” godaku yang membuatnya heboh.

“Ahhh, nggak mau. Mas Dru nakal! Lana ditipu pagi-pagi.” Lana sok-sokan menunduk bak putri malu.

“Ya habisnya tidur mulu. Mas bentar lagi mau dinas, masa kamu nggak anter ke depan. Aku kangen kamu, Sayang,” rayuku pelan. Lana menggeliat malu dan geli.

“Mas, ingat dong kata dokter, kita nggak boleh aneh-aneh dulu. Lana masih dalam masa pemulihan,” ujarnya pelan. Aduh, kenapa aku bisa lupa!

“Eh iya, maaf ya Sayang. Tapi nyuri bibirmu dikit boleh dong,” pintaku centil.

“Banyak juga boleh!” sahutnya sambil merem. Aduh istriku ini memang murahan sekali kalau sama aku, ha ha ha.

Maka kamipun berciuman mesra. Bisa dikatakan panas karena hingga terbaring di kasur. Padahal aku sudah rapi dalam seragam loreng yang baru dicuci dan disetrika. Rambutku juga telah rapi disisir dan ditata, sekarang malah diacak-acak oleh tangan lentiknya. Kepalang tanggung ini sih. Telah lama aku memendam hasrat jiwa, tapi tak tersalurkan. Lanjutin nggak ya! Berangkat dinas tinggal 20 menit lagi, mana bisa aku gituan dalam waktu sebentar.

Napas kami sama-sama tersengal. “Lanjut Sayang?”

“Nggak mau Mas, Lana takut,” ujarnya pelan. Aku bingung sendiri, laki-laki normal ya gini.

Catatan Dodol Mamah Muda (Serial Alana dan Drupada)/OngoingWhere stories live. Discover now