P R O L O G

1.8K 176 40
                                    

Inilah awalnya, sebuah kejadian dimulai dan menyisakan lebih banyak luka daripada bahagianya.

***

Bandung senin pagi tak kalah jauh suasananya seperti ibu kota. Jalanannya yang padat, dikerumuni lautan manusia. Bagai ada gula atau sesuatu yang manis dan banyak digandrungi para semut yang kelaparan.

Seorang laki-laki tampan menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang sedang sibuk mengawali hari di hari senin. Telinganya tersumpal earphone kualitas yang paling baik di tokonya, dan kabelnya menyalur pada layar ponsel miliknya. Rasanya, ia lebih tertarik pada game yang ada di ponselnya daripada melihat jalanan yang sangat membuatnya jengah.

Kursi tengah mobil terasa hanya miliknya seorang. Lantaran tidak memiliki kakak ataupun adik, yah dia anak tunggal yang tidak dimanjakan. Walau nyatanya, dia anak orang kaya. Bukan tidak ingin duduk di kursi depan bersama pengemudi, tapi posisi itu telah terisi oleh sang ibu.

"Novan, kamu main game terus sih? Kan enggak bawa power bank. Nanti kalau batrai kamu habis, kan enggak bisa telepon Mami buat jemput kamu," ucap sang ibu yang sedari tadi terus melirik putranya dari kaca spion tengah.

Laki-laki itu tidak menyahut, telinganya terasa tuli karena suara gamenya sangat kencang.

"Biarkan aja, Mi. Nanti juga pulang enggak ada yang jemput," sahut papa.

Ternyata telinga Novan masih bisa mendengar apa yang kedua orang tuanya itu katakan padanya. Buktinya saja, dia segera melepas penyumpal telinganya itu dan membanting ponselnya ke kursi di sebelahnya dengan perasaan kesal.

"Mi, Pa, mangkannya biarin Novan punya motor atau mobil sendiri. Biar enggak numpang terus diantar jemput gini sama kalian. Kan, kaliannya juga capek harus antar dan jemput Novan sekolah setiap hari," ujar Novan kesal.

Permintaannya yang satu ini sangat sulit ia dapatkan. Jika ingin meminta sesuatu pada kedua orang tuanya, jangan harap akan langsung diberikan. Tapi harus melakukan sesuatu hal terlebih dahulu, harus berusaha baru mendapatkan apa yang diinginkannya.

Novan mengembuskan napas kasar, tubuhnya ia sandarkan di sandaran belakang. Membiarkan kedua orang tuanya mengoceh tentang dirinya. Lagipula, apa salahnya dia memiliki kendaraan pribadi untuk ke sekolah atau tempat yang ingin dia tuju tanpa ada yang repot mengantarnya. Usianya juga sudah menginjak tujuh belas tahun bulan April kemarin.

"Gimana tuh, Pa. Anaknya minta punya mobil sendiri," ledek sang ibu pada Ibnu, papa Novan.

Ibnu terkekeh sesaat mendengar candaan istrinya. Padahal dia tahu, orang di belakangnya itu sudah sangat jengkel tingkat tinggi.

Sampai tidak terasa, SMA Bintang Angkasa sudah sampai di depan mata. Gerbangnya terbuka lebar, para siswa satu persatu datang untuk menimba ilmu.

"Oke, Papa akan turuti keinginan kamu kali ini," ucap Ibnu pada akhirnya.

Satu herapan muncul, mata Novan berbinar mendengar ucapan papanya. Jika sudah seperti ini, tidak akan papanya itu ingkar janji. Tapi tentu saja dengan satu syarat.

"Kamu tahu, kan? Papa enggak akan kasih kamu sesuatu secara cuma-cuma?"

"Iya, Pa. Apa kali ini yang harus Novan kerjakan?"

Hening sesaat. Mata Ibnu seperti sedang menjelajah mencari mangsa yang akan diterkam oleh putranya. Riska, sang ibu pun merasa bingung apa yang ada di dalam pikiran suaminya.

"Nah itu!" serunya, "kamu harus jadikan dia pacar kamu, dan bawa dia ke rumah untuk dikenalkan sama kita. Buat dia senang dan merasa bahagia, kalau tidak sampai dia bahagia, mobil enggak akan ada di garasi dalam waktu satu bulan," ucap Ibnu lebih terdengar seperti mengancam.

"Sa--satu bu--bulan, Pa?"

Sang ayah hanya mengangguk, kedua alisnya terangkat menanggapi pertanyaan putranya yang seperti tidak percaya.

"Si Papa, mana boleh mempermainkan perempuan gitu, ah!" protes Riska.

"Loh, kok mempermainkan sih, Mi? Enggak dong. Papi kan hanya ingin anak kita ini enggak terus-terusan jomlo, umur udah banyak, punya pacar satupun aja enggak ada," Ibnu terdiam sejenak, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Riska seraya berbisik, "Papa takutnya si Novan itu enggak laku, Mi."

Novan merasa bete berlama-lama di dalam mobil. Mood-nya terus diombang-ambing oleh orang tuanya dengan cepat, dia membuka pintu mobil yang sudah tidak terkunci.

"Novan dengar kok, Pa, kalian ngomong apa. Cewek-cewek di sekolah juga pada antre kali nungguin ditembak sama Novan," ketusnya.

Sementara di dalam mobil, pasangan suami istri itu tertawa pelan padahal mereka tahu takkan ada yang mendengar kecuali mereka berdua. Rasanya senang, melihat sang anak memiliki usaha terlebih dahulu sebelum memiliki sesuatu. Itu sebagai salah satu pembelajaran agar Novan tidak manja.

"Sial! Kenapa harus dia?!" Batinnya menggerutu tanpa ampun.

***

Hai guys, dukung terus cerita aku, iya. Ini cerita yang akan aku ajukan untuk event challenge-nya Glorious Publisher.
# Dukung dengan cara :
1. Baca setiap hari,
2. Vote setiap selesai membaca ataupun sebelum membaca,
3. Komentar kalau kalian ada masukan buat aku. (Karena itu sangat membantu aku sekali untuk memperbaiki di kemudian). Dan yang terakhir,
4. Share. Sebarkan cerita ini agar banyak teman-teman kalian yang membaca.

💛Terima kasih teman😃 yang mau feedback-an sama aku, DM aja, iya. Happy reading, guys! 💛

Jerawat (TAMAT) ✔Where stories live. Discover now