G

405 64 2
                                    

Kenyataan memang selalu pahit jika diketahui. Sebagian orang menahan rasa ingin tahunya karena tidak ingin kecewa pada akhirnya. Tapi sebagainnya lagi rela kecewa saat rasa ingin tahunya lebih besar.

***

Sekembalinya Vie dari dapur untuk minum, ia telah menghabiskan dua botol air mineral untuk ditenggaknya sampai rasa pedasnya hilang. Memang Vie membeci pedas begitunya. Vie segera kembali ke kamar membawa raut wajah menyedihkan.

"Apa kabar, lo?" tanya Tita, masih memasukkan kacang pedas itu tanpa merasakan mulutnya terbakar.

"Hampir pingsan," jawab Vie asal.

"Air minum buat gue, mana?" Tita menengadahkan tangannya seperti orang meminta sesuatu.

Tita diabaikan, ucapannya tidak dihiraukan. Vie duduk di tepian kasur dan menatap lantai dengan tatapan kosong. Dia seperti orang linglung.

"Woi! Malah bengong. Gue nanya ini. Jangan bilang lo lupa?" ucap Tita lagi, padahal di tidak menitip apa pun pada Vie saat ia ke dapur. Tapi niat Tita hanya ingin meledek dan menghibur Vie saja.

"Gue kangen Novan, Ta," lirih Vie pada akhirnya yang bersuara.

Tita mulai menyadari ada yang tidak beres sama Vie. Ia pun mendekat, mengikuti Vie duduk di bibir kasur.

"Kenapa tiba-tiba lo ngomong gitu?"

"Tadi pas gue minum, tiba-tiba aja ingat kejadian tadi pas di angkot. Gue kangen Novan, Ta. Kangen waktu dia dulu ngejar-ngejar gue dan mohon supaya gue jadi pacarnya. Tapi semua itu sekarang udah enggak ada, Ta. Apa ini akhir dari kisah gue sama Novan?"

Vie mulai berlinangan air mata, Tita segera memeluk sepupunya itu tanpa ada niatan ingin melepasnya jika Vie belum baik-baik saja. Otaknya sembari berpikir bagaimana cara menghibur Vie saat ini.

"Udah, lo jangan kepikiran. Nanti jerawat lo tambah banyak kalau banyak pikiran juga. Kalau emang ini akhirnya, lo harus ikhlas. Gue tau, Vie yang gue kenal itu kuat, ceria, dan enggak cengeng kayak gini," ucap Tita sekaligus menghibur. Mungkin ini cara menghibur. Tita bahkan tidak tahu cara menghibur orang yang benar itu seperti apa.

Vie melerai pelukannya terlebih dahulu. "Makasih, ya Ta. Gue janji enggak akan nangis lagi," kata Vie seraya tersenyum dan menghapus air matanya. "Gue mau cuci muka dulu. Muka gue pasti jelek kalau habis nangis, kan? Gue juga enggak mau jadi banyak jerawatnya lagi. Kasian lo." Sebisa mungkin, Vie juga menghibur dirinya sendiri. Dia tahu, Tita sudah melakukan yang terbaik.

"Loh kok gue?" Tita bingung tapi Vie hanya menampakkan cengiran kudanya. Sekuat tenaga untuk bisa tegar.

Beberapa menit berlalu, Vie keluar dari kamar mandi. Tita sepertinya sudah tidur, dia menelungkupkan selimut sempurna menutupi seluruh tubuhnya.  "Secepat itu 'kah Tita tidur? Mungkin dia kelelahan," batin Vie.

Bagi Vie, Tita adalah sepupu terbaiknya. Vie kembali duduk di pinggiran kasur, mengeluarkan gawainya dari saku celana selutut yang dikenakan untuk tidur malam ini. Sejenak menarik-ulurkan layar dan menekan-nekannya beberapa kali. Gawai pintarnya itu kini sudah menempel sempurna di telinga Vie, hanya tinggal menunggu panggilan diterima saja.

"Halo Kak, maaf Vie ganggu, iya. Vie mau nanya, Kakak kenal sama cewek yang pulang sekolah tadi pulang sama Novan, enggak, Kak?"

Jerawat (TAMAT) ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ