H

345 57 6
                                    

Hanya soal waktu bagaimana suatu kebiasaan dihilangkan. Dan butuh keberanian untuk itu, jika ini kebaikan, semoga Tuhan mudahkan.

***

Hari terakhir bersekolah di minggu ini. Jumat, minggu ketiga di bulan September. Gosip-gosip kemarin terus beredar luas macam uang yang digemari banyak orang. Telinga Vie terasa memanas saat mendengar hal itu lewat di ambang telinga. Jika sudah seperti itu, Vie memutuskan untuk menyetel musik volume kencang agar tidak mendengar kesenangan mereka bergosip.

Saat ini pun begitu, Vie malas sekali pergi ke kantin. Ia sengaja membawa susu kotak stroberi dan roti isi. Tentu dia yang membuatnya, Tita? Mana bisa. Maafkan aku Ta.

Fasya dan Sasa tidak ada di kelas, mereka sibuk mengisi perut mereka dengan makanan kantin yang setiap hari menunya itu-itu saja. Bosan, tapi mau bagaimana lagi. Namun saat enak-enaknya menyedot susu stroberi miliknya, Vie dikejutkan dengan sesuatu. Suatu keramaian yang di dominasi oleh cewek-cewek.

"Oh my good, ganteng banget sumpah! Kak Novan mau ngapain ke sini, Kak?"

Setidaknya itu lah kata-kata yang dapat mewakilkan semua mulut bebek mereka. Padahal, kan Novan juga sering ke sini. Dia cuma modal muka yang gak jelek-jelek banget, tapi otaknya minim. Cowok seperti itu yang kalian damba-dambakan? Bucin!

"Vie, dicariin nih!" teriak salah seorang dari mereka yang memiliki suara cempreng.

Vie lantas menautkan alisnya, tak mendengar apa yang dikatakan teman sekelasnya itu. Namun tiba-tiba, ponsel Vie bergetar menampilkan satu notifikasi chat masuk.

Novan : "Keluar!"

"Apaan sih, ganggu ketenangan gue aja!" dumal Vie dalam hati.

Malasnya Vie berjalan menuju pintu, akhirnya sampai juga. Perempuan-perempuan itu segera menepi, dan memberikan jalan untuknya bak putri kerajaan terhormat.

Ini bagian yang paling seru. Kini, dia menatap jengah pemilik mata yang menyorot tajam itu. Vie tidak sama sekali takut dengan tatapan yang dilontarkan itu. Belum ada percakapan di antara mereka sampai lima menit berlalu. Orang-orang yang berkerumum terlihat takut, dan penasaran akan apa yang terjadi setelahnya.

Tiba-tiba saja, sebuah benda melayang sehabis dihempaskan dengan kasar begitu saja. Itu sebuah buku. Buku bersampulkan tulisan CAMPUS di bagian depannya. Vie belum melihat benda apa itu, karena tatapan mata mereka belum terputus.

"Puas lo?!" ucap Novan membuka pembicaraan. Nada bicaranya rendah namun penuh penekanan.

"Puas lo bikin gue malu satu kelas? Malu karena gue sendiri yang enggak dapat nilai matematika dari guru?!" Novan berhenti sejenak, memberikan celah untuk Vie respon. Namun tak ada yang ingin Vie katakan. Maka Novan melanjutkan ucapannya.

"Sekarang lo boleh ketawa sepuasnya, lo menang." Novan bertepuk tangan seorang diri, hanya tiga kali. "Mungkin lo udah tau tentang gue, bagus deh. Jadi, enggak usah gue capek-capek kasih tahu lo!"

Mereka diam, Novan diam seakan habis sudah kata-kata. Sebetulnya Vie kecewa. "Apa sih? Apa yang gue tahu tentang lo? Oh, tentang lo yang jalan sama cewek lain yang ternyata itu pacar lo?"

Untung saja Vie masih menyisakan kesabarannya untuk menghadapi makhluk rese bin aneh macam Novan. Berdoa, berharap Tuhan tidak akan menciptakan makhlum macam dia lagi.

"Udah? Udah selesai ngomongnya?" Vie mulai bicara, menanggapi ucapan Novan yang sukses membuatnya malu dan banyak mendapati sorakan dari para manusia-manusia itu.

"Sekarang gantian gue yang ngomong. Gue selama ini udah sabar ya, Van. Gue biarin lo jalan sama cewek lain yang ternyata itu cewek lo! Dan, dan untuk PR lo itu?" Vie menunjuk buku itu, ia tahu dari Novan yang mengucapkan tugas matematika. "Itu urusan lo, Van. Bukan urusan gue! Lo ngerti, kan? Lo senior di sini dan pasti lebih ngerti dari gue. Gue adik kelas lo, ya mana ngerti gue pelajaran lo gitu. Hampir pecah kepala gue ngerjain PR lo!"

Ucapan Vie yang mulai meninggi membuat emosi Novan tersulut. Tak dapat terelakkan, tak ada yang bisa menghentikan kecuali ada yang berani.

"Asal lo tau, gue enggak pernah benar-benar mau macarin lo. Lo itu cewek jerawatan yang enggak guna! Kalau bukan karena taruhan sama Papa gue, gue enggak akan pacarin lo! Jadi lo jangan mimpi deh," teriak Novan yang masih menyisakan emosi.

Tanpa pernah diizinkan, air mata Vie rembas begitu saja. Hatinya hancur, selama ini semua yang ia lakukan untuk Novan. Untuk membuat pacarnya itu terkesan. Susah payah dia menghilangkan luka di wajahnya ini demi dia, agar dia tidak merasa malu dengan pacarnya yang selama ini ditutup-tutupi dari publik. Tapi apa? Oh ini hanya sebuah pertaruhan. Apa kata Sam sudah menjadi nyata.

"Lo inget, iya. Gue bukan barang mewah yang bisa lo dan papa lo jadikan taruhan! Gue punya harga diri. Gue enggak guna, kan buat lo. Terus buat apa lagi. Mulai hari ini kita putus!"

Berbarengan dengan hal itu, Sasa, Fasya, Tita, Sam dan Vidie mendatangi kelas Vie yang menjadi sumber keributan. Mereka jelas mendengar kata putus dari Vie. Sedangkan, di ujung koridor seorang perempuan bernama Bella tersenyum senang. Seringainya begitu tajam melengkung. Dia merasa menang.

Novan merutuki kebodohannya sendiri. Bagaimana bisa dia sampai keceplosan? Padahal sebentar lagi dia bisa mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan. Tapi lenyap begitu saja. Di lain sisi, ada hati yang hancur. Novan merasa bersalah sekaligus sakit hati mendapati kata-kata putus dari perempuan bernama Vie yang sekarang resmi menjadi mantannya itu. Belum pernah Novan diputuskan cewek seperti ini, biasanya ia yang akan mengatakan putus kepada para perempuan yang pernah ia pacari.

Kerumunan pun bubar sebelum para guru memergoki mereka, menyisakan sorak sorai yang begitu gaduh. Serial drama anak SMA telah usai, ketika Vie masuk ke dalam kelasnya. Di dalam kelas, Aldo yang tahu semua pristiwa itu langsung memeluk Vie dan mendekapnya saat perempuan itu menghampirinya bermaksud ingin duduk di kursinya.

Aldo paham, hati Vie sedang sangat-sangat hancur. "Ini yang terbaik, Vie. Gue enggak mau liat lo nangis dan sedih lagi. Ini yang terakhir kali," ucap Aldo, berbisik di telinga Vie.

Ada rasa tenang setiap kali ada di dekat Aldo. Seperti saat ini, tanpa Vie mengatakan bagaimana hancurnya hatinya saat ini, Aldo paham semuanya. Sesaat kemudian, Tita, Sasa dan Fasya masuk ke dalam kelas, melihat keadaan Vie. Di ambang pintu, dua laki-laki berdiri mematung mengepal kedua tangan. Novan dan Sam. Novan belum juga pergi dan masih dibujuk Vidie.

***

Hai guys, dukung terus cerita aku, iya. Ini cerita yang akan aku ajukan untuk event challenge-nya Glorious Publisher.
# Dukung dengan cara :
1. Baca setiap hari,
2. Vote setiap selesai membaca ataupun sebelum membaca,
3. Komentar kalau kalian ada masukan buat aku. (Karena itu sangat membantu aku sekali untuk memperbaiki di kemudian). Dan yang terakhir,
4. Share. Sebarkan cerita ini agar banyak teman-teman kalian yang membaca.

💛Terima kasih teman😃 yang mau feedback-an sama aku, DM aja, iya. Happy reading, guys! 💛

Jerawat (TAMAT) ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora