W

201 26 2
                                    

Jangan terus hanyut dalam ratap kesedihan. Bangkit dan lihatlah ke depan. Ada hadiah kecil sebagai penghargaan untuk dirimu sendiri.

***

"Kamera sudah, buku catatan sudah, kacamata hitam sudah, topi sudah, apa lagi, iya?"

Vie berencana minggat hari ini. Minggat dari rumah ayahnya. Tidak jauh kok, masih sekitaran Jakarta.

"Kayaknya udah semua, ya sudah, cuss ...."

Orang tuanya sedang tidak ada di rumah. Mereka kembali menjalankan aktivitasnya dengan bekerja sampai malam. Jelas Vie merasa kesepian. Setelah memesan taksi online, Vie pun dibawa sang sopir ke tempat yang ingin Vie tuju.

"Mau ke mana, Mbak?" tanya si sopir.

"Monas, Pak."

Vie menikmati perjalanan, melihat pemandangan Jakarta yang didominasi gedung pencakar langit. Deretan kendaraan di depan pintu tol, terlihat dari atas flay over. Kamera yang dibawanya tidak menganggur begitu saja. Ia gunakan memotret di sepanjang jalan. Kamera palaroin mini berwarna ungu yang sangat lucu itu begitu imut. Untung saja, Vie membawa refil kertas fotonya. Jadi tidak perlu takut kehabisan.

"Berapa, Pak?"

Usai membayar, Vie menatap sejenak ketinggian Monas yang emasnya tak terlihat karena sinar matahari yang terlalu menyorot mata. Bibirnya mengukir senyuman, lalu ia pun melangkahkan kakinya masuk lebih dalam ke area monas.

Banyak pengunjung asing yang datang ke sini. Banyak pula terlihat anak-anak kecil seusia SD bersama guru pendampingnya untuk mewawancarai beberapa turis. Mereka seperti sudah sangat lancar dan fasih berbahasa Inggris. Vie tak melewatkan momen itu. Ia mengambil gambar yang menarik untuk diabadikan dalam gambar.

Kembali bibirnya melengkung, dan cepat melenggang dari tempat itu. Vie memutuskan menaiki lebih tinggi monas itu. Mencoba mengambil angle yang bagus dari ketinggian.

Namun, di tengah perjalanan ternyata banyak sekali godaan yang datang. Melihat museum yang ada di dalamnya, menarik Vie untuk melihat lebih jelas. Lalu sebuah film dokumenter yang di dalamnya ada naskah proklamasi. Itu pun tak luput untuk Vie sambangi.

Tiba-tiba, ponsel Vie berdering. Menampilkan nama Tita di layarnya.

"Halo, Ta?"

"Halo, Vie. Lo di mana? Kok gue cariin di rumah lo enggak ada sih? Gue udah sampai di rumah lo, nih."

"Oh, lo udah sampai. Emm ... ya udah senang-senang dulu deh di rumah, ya. Gue lagi jalan-jalan bentar di Monas. Di kulkas ada camilan kok. Kalau mau makan ambil aja," kata Vie santai.

Tita menggerutu kesal dibuat Vie. Ia yang menyuruh Tita datang tapi anaknya malah tidak ada di rumah. Vie pun mematikan panggilan teleponnya, setelah menganggapi ocehan Tita. Baru kali ini Vie dengar ocehan seorang Tita yang panjang sampai tidak habis-habisnya.

Vie kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak Monas. Setelah sedikit gangguan, ya hitung-hitung jeda istirahat.

Pemandangan indah tersaji dengan sangat hebat. Semua gedung, serta rumah-rumah terlihat jauh dan kecil. Angin yang berembus dari atas sini juga segar. Tapi sayang, matahari menyorot tajam sampai mata diharuskan menyipit membentuk garis.

Vie memotret di ujung pembatas gedung. Senyumnya tak pernah luntur. Walau dia sendirian, tapi rasa bahagia selalu hadir. Di tempat itu pula, Vie menbuat ukiran kata dalam sajak tak beraturan di buku catatan yang dia bawa.

Jerawat (TAMAT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang