Teriakan Itu

18 1 0
                                    

Ceklek...

Jendela terbuka. Rio menyingkap gorden tipis secara perlahan. Di depannya, terpampang sebuah ranjang, nakas, lemari. Ia tak menemukan Joan di kamar bernuansa biru itu.

"Mana Joan?" tanya Kevin.

Rio tak menjawab. Ia melangkah pelan ke sebuah pintu, yang ternyata menghubungkan kamar dengan kamar mandi. Tapi, kamar mandi kosong.

Perlahan pula, Rio melangkah ke sebuah pintu.

Bug...

"Tolong hentikan. Suami saya sudah tidak berdaya. Tolong hentikan."

"Om Pras. Stop. Udah aku bilang, kita gak tau apa-apa."

Teriakan di luar kamar mengejutkan Rio, Kevin, dan Daffa. Dan salah satu suara itu adalah milik Joan. Mereka yakin di luar kamar terjadi hal buruk.

Plak...

"Yo, Joan, Yo." kata Kevin panik setelah mendengar bunyi itu. Seperti suara tamparan.

"Tenang, Vin. Jangan gegabah. Gue intip dulu bentar," ucap Rio.

Rio lalu membuka perlahan pintu kamar Joan. Setelah dirasa aman, ia pun melangkah dan berusaha tak menimbulkan suara. Ia melongokkan kepalanya ke luar kamar. Sepi.

Selangkah, dua langkah, begitu hati-hati. Ia menyusuri dinding. Kamar Joan ada di lantai dua. Rio ingat Joan pernah bilang, lantai dua hanya ada kamar Joan, kamar kakaknya, dan kamar orang tuanya.

Rio melangkah ke pagar mezzanine (balkon dalam rumah). Dari mezzanine, ia bisa melihat suasana di lantai bawah sambil bersembunyi di pagarnya.

Rio melihat enam orang berpakaian hitam berdiri di ruang makan. Satu orang duduk di sebuah kursi. Tunggu, Rio terperanjat. Orang itu memegang pistol yang mengarah ke sebuah perempuan yang duduk terikat di depannya.

Perempuan itu, Joan. Oh tidak, Joan dalam bahaya. Pikir Rio. Tapi Rio berusaha tenang.

Di sebelah Joan, seorang perempuan juga dalam kondisi terikat. Seorangnya lagi laki-laki yang dalam kondisi lemas.

"Yo, gimana ini? Kita lawan aja," usul Kevin yang ada di belakangnya.

"Iya Vin. Tapi kita harus hati-hati. Mereka bawa senjata."

"Kak, jadi gimana?" tanya Daffa dengan berbisik pada kakaknya. Rio masih diam. Ia sedang berpikir.

"Vin, loe telpon abang loe. Ceritain kondisinya. Gue n Daffa duluan ke bawah. Setelah loe telpon abang loe, loe ke bawah tanpa ketauan mereka. Loe pastikan di sekitar ruang makan, n ruangan lain, gak ada lagi komplotan mereka. Kalau ada, gue serahin mereka ke loe. Biar gue n Daffa fokus di ruang makan. Sanggup loe?" tanya Rio sebelum melanjutkan strateginya.

"Ya gue usahakan sanggup," jawab Kevin tegas.

"Kalau kondisi aman, loe ke ruang makan. Tapi loe gak perlu nunjukin diri loe. Loe back up dari kejauhan. Kalau gue dan Daffa dah kewalahan, loe dateng. Loe juga bantu antisipasi kalau mereka mencelakakan kita dan kita kewalahan. Gimana?"

"Sip, Yo. Gue telpon abang gue dulu. Loe berdua, ati-ati ya. Setidaknya kita ulur waktu sampe abang gue dateng. Tapi kalau kita bisa lumpuhin mereka sebelum abang gue dateng, itu lebih baik."

"Yups betul tuh Bang Kevin. Ayo Kak Rio, kita turun," ajak Daffa. Dalam hati, Daffa bermohon semoga kemampuan bela diri mereka bisa diandalkan dalam kondisi seperti itu. Apalagi, lawan mereka bawa sejata. Wuuuuh, harus bisa menang. Tekad Daffa dalam hati.

Pelan-pelan, langkah Rio dan Daffa makin dekat ke ruang makan. Untung mereka sempat pakai sneakers. Jadi langkah kaki mereka teredam sol karet sepatu saat menapak di lantai marmer. 

Begitu berada di sebuah partisi yang memisahkan ruang keluarga dan ruang makan, Rio dan Daffa bersembunyi sesaat. Mereka mengatur strategi. Mereka sepakat berpencar.

Rio menyerang dari arah kiri. Daffa dari kanan. Daffa mengangguk menandakan dirinya siap bertarung. Ia menggerakkan lehernya rileks sambil menarik napas. Lalu mereka ambil posisi masing-masing.

Rio mendekati seorang pria paling dekat dengan posisinya. Ia menghantam leher belakang pria itu hingga pingsan. Sebelum tubuh pria itu menghantam lantai, Rio menyambutnya agar tak memunculkan bunyi dentuman.

Tapi Rio kalah cepat. Seorang pria lain melihat aksinya. Saat Rio lengah, pria itu menodongkan pistol ke belakang kepalanya. Rio tersentak lalu diam.

"Berputar," pria itu memerintah.

"Jalan," perintahnya lagi.

Pria itu mengarahkan Rio lebih dekat ke pimpinan mereka. Rio menurut namun tetap tenang. Rio juga tengah berpikir mengatur strategi di ruang makan itu.

"Rio..." panggil Joan lirih saat melihat sosok di depannya. Rio tersenyum. Namun ia tetap waspada. Ia melihat Daffa belum melakukan pergerakan. Entah dimana Daffa.

Sementara Kevin yang menyaksikan kejadian itu dari mezzanine meringis. Ia berharap abangnya dan teman-teman segera datang.

"Wow wow wow, ada pahlawan super kayaknya. Makin seru aja nih. Dia pacarmu, Jo? Kok bisa ada di rumah ini ya?" seru pria yang duduk di kursi.

Tak ada yang menjawab, baik Rio maupun Joan. Mereka berkutat dengan pikiran masing-masing. Air mata yang ditahan Joan mulai menetes. Rio yang melihat kondisi Joan menggelengkan kepalanya, seolah menyampaikan pesan pada Joan, "Jo, tenang. Loe harus kuat."

"Koneksi yang manis untuk anak manis Pak Robert Januardi Hanafi. Jangan nangis dong, sayang." Pras mendekat ke Joan dan mengangkat dagu perempuan itu.

"Cepat kasih apa yang gue mau," sentak pria itu pada Joan.

Bug...

Joan meradang. Ia lalu membenturkan kepalanya pada kepala Pras. Pras mundur terhuyung. Ia tak menyangka gadis itu berani melawannya.

Rio yang merasa lawan lengah langsung menyerang pria di sampingnya. Ia berputar, mengarahkan siku pada kepala lawan. Lawan yang terkejut tak dapat melawan.

Rio merampas senjata dari tangan lawan lalu meninju hidung pria malang itu hingga berdarah. Sebuah tinju dilayangkan Rio lagi ke wajah pria itu hingga pria itu pingsan.

Dengan cepat, Rio beralih ke pria lain. Tendangannya telak mengenai perut pria itu. Usiro geri memang jadi andalan Rio untuk membuat lawan lumpuh.

Praaang...

Tubuh pria itu mental ke sebuah lemari kaca di belakangnya. Kaca itu pecah. Pria itu merosot pingsan.

Di sisi lain, Daffa menyerang dua orang sekaligus. Ia menangkis lawan di kirinya, namun kakinya menendang lawan di kanannya. Hingga akhirnya, Daffa merenggut kepala dua orang itu. Ia lalu membenturkan kepala mereka hingga mereka pingsan.

Masih dua lawan lagi plus bos mereka yang harus Rio dan Daffa lumpuhkan. Rio hendak beranjak dari posisinya menuju posisi Joan. Tapi terlambat.

"Eh anak muda. Jangan senang dulu kau. Pacarmu bisa mati sekarang," ancam Pras yang menodongkan pistolnya ke kepala Joan.

Tubuh Joan tampak bergetar. Dia ketakutan. Daffa yang melihat itu merasa miris. Tapi tidak dengan Rio. Dia mengangkat kedua tangannya. Dia melangkah pelan dan pelan.

"Diam di situ," bentak si bos.

"Bos awas di belakang," pekik seorang anak buah yang tengah bersiap menembak orang di belakang bosnya.

Tapi ia kalah cepat. Daffa meraih piring di meja di dekatnya. Ia melemparkan piring tepat ke wajah anak buah itu. Si pria itu pingsan seketika.

Sedangkan si bos yang kaget langsung menoleh ke belakang. Buuug bug bug... Sebuah pukulan telak ke wajah, dada, dan perutnya. Pukulan dari dua tangan Kevin.

Si bos meringis. Seluruh tubuhnya sakit. Ia merasakan pistol masih dia genggam. Dengan kesadaran seadanya, ia mengarahkan pistol ke Joan.

Rio menyadari hal buruk akan terjadi. Ia lalu mendekati tubuh Joan dan menunduk memeluk sahabatnya.

Dorrrrr dorrrr

Tbc

Janji Masa SMATahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon