Darah Mengalir

13 1 0
                                    

Aagh

Rio tersentak saat peluru menyasar punggungnya. Rio merasa darah mengalir di punggung.

"Rio bangun Yo. Rio," pekik Joan melihat Rio merosot ke pahanya lalu tubuhny menyentuh lantai. Joan tidak bisa memegang tubuh sahabatnya karena ia masih terikat di kursi.

Pras yang baru menembakkan peluru pun ambruk. Seorang anak buahnya mendekat. Ia membopong si bos untuk berdiri.

"Ayo, bos. Kita pergi dari sini."

Dengan susah payah si anak buah membopong tubuh bosnya yang lemah. Keduanya berjalan menuju pintu belakang.

"Jangan dikejar, Kak Kevin. Tolongin Kak Rio." Suara itu terdengar di kuping si anak buah saat keduanya hendak mencapai pintu belakang.

Si anak buah tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ya itulah kesempatan ia dan si bos lari menyelamatkan diri.

Keduanya berhasil keluar dari pintu belakang. Si anak buah sedikit lega. Ia melihat mobilnya tak jauh lagi. Ia terus membopong si bos.

Tapi langkahnya terhenti. Di depannya sudah ada dua polisi berseragam mengadang.

"Tahan di situ, Kawan," kata seorang polisi.

Tak lama belasan polisi pun datang mendekati mereka. Tampak seorang polisi memerintahkan rekan-rekannya memasuki rumah.

Dua polisi yang mengadang tadi langsung membekuk si anak buah dan bosnya. Mereka memasukkan si bos dan anak buah ke sebuah mobil bersirine warna biru.

"Kevin..." seru seorang polisi yang memimpin penangkapan itu saat masuk ke ruang makan.

"Loe gak apa-apa?" tanya polisi itu lagi.

"Gue gak apa-apa, Bang. Tapi Rio kena tembak," jawab Kevin.

Arya melihat situasi di depannya. Seorang perempuan muda memangku kepala seorang pria muda. Perempuan itu menangis. Darah segar mengalir dari punggung pemuda itu.

Di sebelahnya seorang perempuan usia lanjut berusaha membangunkan seorang pria yang tampak lemah.

"Dheo, bawa keduanya ke rumah sakit. Segera," perintah Arya pada anak buahnya.

Dheo dan rekan-rekannya pun dengan sigap mengangkat tubuh Rio dan Pak Rudi. Joan, Bi Hana, dan Daffa mengikuti masuk mobil polisi menuju rumah sakit. Sedangkan Kevin mengambil mobilnya yang diparkir di depan rumah.

Arya melihat ruang makan. Pecahan kaca bertaburan. Tali pun berserakan. Tali itu tadinya digunakan untuk mengikat Joan, Bi Hana, dan Pak Rudi. Setelah Rio ditembak, sebelum polisi memasuki rumah, Kevin dan Daffa yang melepaskan ikatan itu.

Lima pria bergeletakan. Arya membayangkan pertarungan sengit di ruang tamu itu. Ternyata, walau masih anak SMA, Kevin dan kawan-kawannya bisa diandalkan, pikir Arya.

"Kalian bereskan ini semua. Bawa mereka ke markas. Biar dokter di markas yang mengurusi mereka," perintah Arya pada timnya.

----------

Matahari mulai menyemburkan sinarnya di pagi itu. Suasana hangat dari mentari tak mampu menghentikan aliran air mata di pipi Joan.

"Kita doakan yang terbaik buat Rio, Jo," bujuk Axel yang langsung datang ke rumah sakit setelah mendapat info mengenai kejadian di rumahnya.

Axel berusaha menenangkan tangis yang berganti suara isakan dari mulut Joan. Axel memeluk tubuh mungil adiknya. Sesekali tanganya mengusap rambut Joan.

Di seberang bangku, Kevin duduk. Ia cemas. Terlebih cemas lagi adalah Daffa. Sedari tadi ia mondar mandir. Sesekali ia mengintip kaca pintu ruang operasi. Tentu itu tak ada gunanya, karena kaca pintunya tidak tembus pandang

Flashback on ------

Joan masih mengingat beberapa jam lalu, ia terkejut dengan Rio yang tiba-tiba di depannya. Memeluknya. Rio memeluk kepala Joan ke dadanya. Tapi Joan tak bisa membalas karena tangannya terikat di belakang kursi.

"Gue akan terus jaga loe, Jo. Selalu," bisik Rio lembut.

Dorrrr .....
Aagh .....

Joan mendengar suara itu. Joan bingung. Ada apa ini.

Tak lama, Rio merosot ke pangkuannya. Rio lalu tergeletak di lantai, tepat di kaki Joan. Darah mengalir dari punggung Rio.

"Rio bangun Yo. Rio," pekik Joan.

Tapi Joan tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa berteriak. Tangannya terikat.

"Jangan dikejar, Kak Kevin. Tolongin Kak Rio."

Joan masih mendengar teriakan Daffa. Selebihnya Joan tak peduli lagi. Kemudian, ikatan pada tangannya lepas. Entah siapa yang melepaskannya. Joan tak peduli.

"Yo bangun yo. Please bangun," pinta Joan menggoyangkan tubuh Rio. Tapi Rio diam.

Joan menempatkan kepala Rio pada pahanya. Joan mengusap-usap lembut wajah Rio dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri Joan sudah berwarna merah. Itu darah Rio.

"Non...," panggil Bi Hana yang juga dalam kondisi tidak baik. Joan menoleh. Ia melihat Bi Hana berusaha menegakkan tubuh suaminya, Pak Rudi.

Joan tak bisa melihat dengan jelas kondisi Pak Rudi. Matanya sudah basah.

Joan tak peduli lagi dengan apa yang terjadi. Yang ia tahu, ia hanya mengikuti beberapa polisi yang mengangkat tubuh Rio ke mobil bersirine biru. Di dalam mobil, Joan memangku kepala Rio. Di depannya Daffa duduk bersama polisi yang mengendarai mobil itu.

"Daffa, Bi Hana dan Pak Rudi dimana?" tanya Joan pada Daffa dengan sedikit berusaha tenang.

"Mereka di mobil belakang. Tapi dibawa ke rumah sakit yang sama," jawab polisi yang tengah menyetir.

Flashback off ---

"Non Joan, Mas Axel," sapa Bi Hana pada dua bersaudara di depannya.

Axel yang memeluk Joan pun menoleh. "Oh sini, Bi Hana. Duduk," ajak Axel lalu ia melepaskan pelukannya pada Joan dan berdiri mempersilakan Bi Hana duduk di kursinya.

"Bi, gimana Pak Rudi. Bibi juga gimana?" tanya Joan yang memeluk Bi Hana. Bi Hana membalas pelukan Joan.

"Pak Rudi sudah masuk ruang rawat. Kata dokter, cuma lebam. Gak ada patah tulang."

"Non," lanjut Bi Hana dengan tangan masih memeluk Joan, "Maafin Bi Hana dan Pak Rudi ya, gak bisa jagain Bi Hana."

Bi Hana menangis. Axel kemudian mengusap pundak Bi Hana.

"Sudah, Bi. Namanya juga musibah. Mau bagaimana lagi. Yang penting sekarang Pak Rudi, Bi Hana, Joan selamat. Sekarang kita berusaha dan berdoa untuk Rio yang sudah menolong kita," ucap Rio berusaha menenangkan dua perempuan di depannya.

"Iya Mas Axel. Makasih. Semoga Mas Rio segera sembuh dan baik-baik saja."

"Aamiiin."

"Non, Mas, saya kembali ke ruang rawat dulu. Di nomor 430. Khawatir Pak Rudi butuh bantuan," Bi Hana pun pamit. Sebelum melangkah, ia menepuk pipi Joan, menyalurkan kekuatan untuk gadis yang sudah ia asuh sejak 10 tahun lalu itu.

"Istirahat, Bi. Nanti aku anterin makanan ya," kata Axel. Bi Hana mengangguk. Ia pun pamit menuju ruang rawat suaminya.

Tak lama lampu hijau di ruang operasi menyala. Seorang dokter keluar dari ruang operasi. Joan, Axel, Daffa, dan Kevin mendekat.

"Kalian siapanya pasien?" tanya Dokter.

"Saya adiknya Kak Rio. Ini mereka teman-teman Kak Rio," jawab Daffa.

"Operasi sudah dilakukan. Kami sudah berusaha mengeluarkan peluru dari punggungnya. Sekarang menunggu keajaiban Tuhan agar pasien segera sadar."

"Kondisi Rio gimana, Dok?" tanya Kevin.

"Pasien koma..."

Tbc











Janji Masa SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang