16-Amerika Penambah Luka

760 80 16
                                    

Rencana untuk bepergian ke Amerika pun sepertinya tidak sekedar wacana saja bagi Veyla. Buktinya, sekarang Veyla tengah mempersiapkan beberapa pakaian untuk dimasukkan ke dalam kopernya. Bahkan tiket pesawat untuk pergi ke Amerika pun sudah dipesan.

Jarum jam di kamarnya telah menunjukkan pukul delapan malam. Kurang lebih sudah hampir satu jam ia berkutat dengan acara beberes yang sudah terjadwalkan di otak Veyla.

Veyla menghembuskan nafas lelahnya lalu melempar tubuh ramping yang dibaluti sweater itu ke kasur. Ia merentangkan kedua tangannya selebar mungkin guna meregangkan otot-otot tangannya yang pegal.

Bola mata hazelnya menatap langit-langit kamar dengan bibir tersenyum. Sungguh, ia tak sabar untuk menanti hari itu tiba. Ia sudah tak sabar melihat reaksi Jevan ketika ia secara diam-diam datang ke Amerika.

Kemarin ketika keduanya melakukan komunikasi via video call, Veyla menanyakan alamat tempat tinggal Jevan selama di Amerika dengan alasan jika saja ada sesuatu yang mendesak untuk Veyla bertemu Jevan ia bisa menemuinya tanpa tersesat.

Dan dengan senang hatinya, Jevan memberikan alamat tempat tinggalnya selama ia berada di Amerika. Tepatnya di New York.

Sekarang Veyla membayangkan bagaimana raut muka Jevan ketika melihat surprise yang diberikannya nanti. Senyum terus mengembang di bibir Veyla malam ini. Seperti dia sedang dilanda kasmaran untuk yang pertama kalinya.

Veyla bangkit dari rebahannya lalu tangannya menggapai sebuah figura kecil yang di dalamnya terdapat foto pernikahannya dengan Jevan.

"Tunggu aku, Van." Veyla tersenyum manis sambil mengusap pelan foto tersebut.

"Kamu benar-benar ingin pergi ke Amerika?" Suara yang berasal dari ambang pintu kamarnya itu membuat Veyla meletakkan foto pernikahannya kembali ke posisi semula.

Paman Jack yang semula berdiam diri di ambang pintu kamar Veyla, kini mulai melangkah masuk dan mendudukkan diri tepat di samping sang keponakan.

Tangannya yang sudah mulai berkeriput saat ini terulur untuk membelai lembut rambut kecoklatan milik Veyla. Siapa sangka, keponakan kecil yang dulunya selalu merengek kepadanya untuk dibelikan sesuatu kini sudah sedewasa sekarang. Bahkan sudah memiliki suami.

Rasanya baru kemarin Veyla berlarian dengan rambut panjang kecoklatannya mengelilingi taman tanpa mengenal lelah karena ia ingin menunjukkan betapa indahnya rambut kecoklatan yang ia miliki itu.

"Paman kenapa?" Tanya Veyla dengan mimik wajah khawatir karena melihat kedua mata sang Paman berkaca-kaca.

Jack tertawa hambar, "Tidak. Paman hanya masih tak menyangka jika kau sekarang sudah besar. Bahkan sudah memiliki pasangan. Sedangkan Paman saja masih sendiri sampai sekarang." Jack mencoba mencairkan suasana dengan memberikan sebuah guyonan diujung kalimatnya. Namun, Veyla tahu bahwa guyonan itu digunakan Pamannya agar Veyla tak berpikiran macam-macam.

Dengan penuh kasih sayang, Veyla mendekap tubuh sang Paman ke dalam pelukannya. Jack selama ini sudah ia anggap sebagai Ayah kedua untuknya. Beliau lah yang selama ini mau menjaganya selama ia berada di Jerman.

"Paman jangan sedih, Veyla akan selalu jadi keponakan kecil Paman walaupun Veyla sudah dewasa. Bahkan jika Veyla sudah memiliki anak nanti, Veyla akan tetap menjadi keponakan kecil tersayang Paman."

Jack tersenyum haru. Kemudian secara perlahan melepaskan pelukannya pada Veyla, "Kalau Jevan berani menyakiti kamu lagi, bilang dengan Paman. Nanti Paman penggal lehernya."

Veyla tertawa, "Jevan gak mungkin menyakiti Veyla lagi, Paman. Jevan 'kan sayang sama Veyla." Sahutan dari Veyla itu diberi respon anggukan kepala dari Jack.

Stay Kde žijí příběhy. Začni objevovat