26-Sebuah Pesan

338 46 14
                                    

Aroma kafein yang begitu semerbak menemani pagi seorang wanita bernama Veyla. Netra matanya yang sendu memandang lurus ke arah luar jendela yang menampilkan pemandangan sekitar rumahnya. Embusan napas yang tadinya beraturan, kini mulai turun-naik seperti menahan sesuatu untuk keluar dari dalam dirinya.

Cangkir kopi yang ada di tangannya kini ia pegang erat-erat sambil menggigit bibir bawahnya ketika Veyla mengulang sebuah nama yang Jevan katakan kemarin lagi dan lagi di dalam benaknya.

Ameetha....

Dadanya selalu dibuat sesak hanya dengan mengulang nama tersebut. Veyla awalnya tak ingin berprasangka yang macam-macam. Namun, ketika melihat respon dari Jevan yang langsung pergi ketika mendapat telepon dari perempuan itu, Veyla mulai berpikir jika sosoknya sangatlah berharga melebihi diri Veyla sendiri.

Kadang-kadang, Veyla berpikir jika ia sudah tak berarti lagi di dalam hidup Jevan. Veyla menganggap jika kehadirannya di dalam hidup Jevan hanyalah menjadi beban belaka. Ia ingin mengakhiri, tetapi tak sanggup untuk melakukan hal itu. Ia mencintai Jevan, sangat-sangat mencintainya. Tapi mengapa seseorang yang begitu ia cintai justru malah melukai?

Berkali-kali rasanya Veyla sudah ingin menyerah terhadap kisah cinta ini. Namun, Veyla kembali berpikir, apakah ia mampu melanjutkan hidup tanpa Jevan? Apakah ia mampu menjalani hari-hari tanpa sosoknya?

Veyla akui memang, menjalani hari-hari tanpa Jevan sangatlah berat. Kehampaan menghampirinya hingga waktu yang serasa berjalan begitu lama. Tapi jika bertahan, apa ia mampu mengobati rasa sakit hati ini?

Wanita yang memiliki rambut berwarna kecoklatan itu buru-buru mengerjapkan kedua matanya ketika bulir air mata mulai berusaha menerobos pelupuk matanya. Selang beberapa detik kemudian, ponselnya yang berada di atas kasur bergetar secara terus-menerus yang menandakan jika ada sebuah panggilan masuk.

Veyla pun meraih ponsel yang berada tak jauh darinya itu dengan tangan yang terbebas dari apa pun. Ia langsung menggeser tombol berwarna hijau ke kanan saat melihat nama Caca tertera di layar.

"Halo, Ca?"

"Veylaaaa... mau temenin gue bentar gak ke rumah Tama buat ngambil laptop gue yang ketinggalan? Gue malu kalo sendirian."

Ucapan yang terdengar seperti permohonan dari seberang sana membuat Veyla terkekeh kecil. Caca yang ia kenal sangat bodo amat dengan sekitarnya sekarang sudah bisa memiliki rasa malu semenjak memiliki hubungan dengan Tama.

"Tumben. Biasanya aja gak tau malu," sahut Veyla sembari menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.

Terdengar suara decakan dari seberang sana yang menandakan jika Caca sedang dilanda kekesalan tingkat dewa. "Sekarang kondisinya beda, Veyla... jadi mau gak, nih?"

"Mau-mau aja gue mah."

"Oke, nanti gue jemput, ya!"

Panggilan diakhiri terlebih dahulu oleh Caca yang membuat Veyla menatap tak percaya ke arah layar ponselnya sembari menggelengkan kepalanya. Orang yang baru dilanda kasmaran sangat berbanding terbalik dengan biasanya, ya? Contohnya saja sahabatnya sendiri, Caca.

Kalau diingat-ingat kembali, apakah Veyla juga melakukan hal yang sama saat masih kasmaran dengan Jevan?

Memikirkan hal itu sontak membuat raut wajah Veyla yang semula bersahaja, perlahan kini mulai menyendu kembali. Terlebih lagi melihat wallpaper handphone-nya yang menampilkan foto dirinya bersama Jevan ketika mereka masih berada di Jerman untuk menghabiskan waktu bersama.

Veyla menatap foto tersebut sebentar, kemudian langsung mematikan layar ponselnya karena tak ingin terus-menerus memikirkan hal-hal yang menyangkut tentang hubungannya dengan Jevan. Hal itu hanya akan membuat luka yang di hati Veyla kembali menganga.

Stay Where stories live. Discover now