18-Stay or Leave

755 84 17
                                    

"Veyla," gumam Jevan sembari terus menatap wanita berambut panjang kecoklatan di dalam sebuah café yang kini mulai menyesap minumannya perlahan.

Dari jarak beberapa meter ini, Jevan melihat sorot mata Veyla yang menyiratkan sebuah luka. Mata indahnya yang selalu menjadi objek tatapan Jevan pun kini sembab dengan hidung yang sedikit memerah.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Veyla hingga dia seperti ini? Apa ada sesuatu yang membuatnya terluka hingga wanitanya terlihat sangat terpukul seperti itu? Tapi siapa yang dengan beraninya menyakiti Veyla? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menari-nari di pikiran Jevan.

Beberapa menit terdiam di posisinya sekarang, Jevan pun berniat untuk menghampiri sang istri yang masih setia berada di dalam café tersebut. Namun, baru saja selangkah ia berjalan, Jevan sudah melihat Veyla yang mulai bangkit dari duduknya setelah melakukan pembayaran.

Wanita tersebut menarik koper miliknya agar mengikuti jejak langkahnya yang mengarah keluar dari café tersebut.

Jevan terus mengawasi gerak-gerik Veyla yang sampai sekarang masih belum menyadari kehadirannya di sana. Sorot matanya pun berubah menjadi bahagia dan sebuah lengkungan pun tercetak di bibirnya ketika Veyla berjalan secara bersinggungan dengannya.

Rindu yang selama ini menguap di hati Jevan kini sedikit terobati ketika melihat wajah Veyla yang terus memangkas jarak dengannya walaupun pandangannya masih setia menunduk.

Namun, hatinya sedikit berdesir ketika melihat wajah muram yang tercetak begitu jelas di wajah Veyla.

Ketika Veyla berjarak satu meter darinya, Jevan langsung melambaikan tangannya. "My sweety!" seru Jevan dan sukses membuat Veyla terpaku beberapa detik lalu mendongakkan kepalanya ke arah Jevan.

Veyla mematung seketika saat melihat Jevan telah berada di hadapannya dengan senyum lebar yang selama ini sangat ia rindukan. Namun, rasa rindu itu seketika sirna saat mendengar sesuatu hal yang sangat menyakiti hatinya.

Tangan yang tadinya terdiam kaku, kini mengepal kuat ketika rindu kembali ia rasakan bersamaan dengan rasa benci yang menjalar di hatinya.

"Kok kamu gak bilang, sih, mau ke sini?" tanya Jevan memecah keheningan yang terjadi selama beberapa saat.

Veyla tersenyum sinis. Air mata yang sedari tadi ia tumpahkan kini kembali menyeruak ke pelupuk matanya. Namun, dengan segera Veyla mengalihkan wajahnya sambil sedikit mengangkat kepalanya agar cairan bening itu tidak jatuh ke pipinya. Ia sungguh tak ingin terlihat lemah di depan Jevan saat ini.

"Untuk apa?" tanya Veyla balik seraya menatap Jevan dengan Bola mata hazelnya. "Untuk apa aku harus bilang ke kamu, Jevan?"

Jevan mengernyit. "Ya, karena aku suami kamu, Vey. Jadi kamu harus beritahu aku kalau kamu mau pergi ke mana pun. Apalagi sendirian kayak gini."

Kamu tahu, Van? Aku ke sini untuk merayakan anniversary kita. Tapi kamu malah dengan perempuan lain. Bahkan sekarang kamu terlihat lupa dengan tanggal pernikahan kita. Veyla membatin dalam hatinya diiringi dengan tawa miris.

"Karena kamu suami aku terus kamu bjsa bertindak sesuka kamu sedangkan aku nggak?"

Jevan mengernyitkan dahinya lagi dan lagi lalu sedetik kemudian lelaki tersebut tertawa sumbang.

Ia benar-benar tak paham dengan ucapan Veyla barusan. Maksud Jevan bukan begitu. Ia hanya takut jika Veyla kenapa-napa jika tidak memberi kabar dan pergi sendiri ke negara orang seperti yang ia lakukan sekarang.

"Maksud kamu apa, sih, sweety? Kamu lagi PMS, ya? Marah-marah terus, nanti cepat tua loh." Jevan berusaha memberikan guyonan agar suasana mencair.

Tangan kekarnya pun ia ulurkan ke arah pipi Veyla berniat untuk mencubitnya, tetapi wanita yang ada di hadapannya itu langsung menepis dengan kasar.

"Kamu harusnya bilang sama aku kalau kamu masih suka sama Arletta supaya kamu nggak nyiksa aku kayak gini, Van!" seru Veyla diiringi dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.

"Vey, kamu kenapa-"

"Kamu harusnya bilang sama aku waktu itu kalau kamu nggak suka aku biar kita nggak berakhir nikah kayak gini, Van!"

Ucapan Veyla yang satu itu sontak membuat Mata Jevan melebar. Kenapa Veyla tiba-tiba berkata seperti ini?

"Kamu kenapa ngomong kayak gitu, sih? Siapa yang bilang kalau aku masih sama Arletta?" tanya Jevan kemudian memegang kedua bahu Veyla dan menatap mata wanita itu lekat. "Cuma kamu wanita satu-satunya yang aku suka, Vey. Cuma kamu yang memenuhi jiwa dan raga aku, nggak ada yang lain."

"Kalau aku itu seperti apa yang kamu bilang, kenapa aku selalu kamu bikin sakit hati? Kenapa kamu selalu menggoreskan luka baru di hati aku?" tanya Veyla disela-sela tangisnya. "Apa aku ini cuma jadi ajang pembalasan dendam kesakit hatian yang kamu rasakan terhadap Arletta dulu, Van...?" Veyla kembali bertanya dengan nada lirihnya.

Jevan yang mendengar nama Arletta kembali disebut Veyla langsung mengacak rambutnya frustasi.

"Kenapa kamu kembali mengungkit Arletta lagi, sih, Vey?"

"KARENA CUMA DIA YANG BUAT KAMU BERUBAH, JEVAN!" suara Veyla kini naik satu oktaf diiringi dengan air mata yang semakin mengalir deras. "Karena cuma Arletta yang mampu membuat kamu nggak seperti diri kamu sendiri. Kamu ingat siapa yang buat kamu berubah menjadi sosok yang dingin? Arletta, Van. Sosok perempuan yang dulu kamu-"

"Stop!" sergah Jevan sambil mengusap wajahnya gusar. "Stop, Veyla. Dia itu cuma lembaran masa lalu aku. Dan Aku nggak punya perasaan sedikit pun lagi ke dia," terang Jevan sedikit melembutkan suaranya agar Veyla percaya dan memahami isi hatinya bahwa hanya sosok Veyla lah yang dia cintai.

Veyla memberi jeda percek-cokkan mereka selama beberapa detik. Ia menghembuskan nafas beberapa kali agar ritme jantungnya berpacu dengan normal kembali. Kepalanya kini mendongak kembali ke arah Jevan yang saat ini juga tengah menundukkan kepalanya sambil memijit pangkal hidungnya.

"Kamu ingat hari ini hari apa?" tanya Veyla pada Jevan yang sudah kembali mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Veyla yang sedang memandang jalanan yang terpantau ramai.

Karena tak ada jawaban dari Jevan, Veyla pun tertawa miris lalu menoleh ke arah Jevan yang sedang menatapnya bingung. "Bahkan kamu lupa hari ini hari peringatan pernikahan kita yang pertama, ya, Van?"

Jevan membelalakkan matanya. Ia benar-benar lupa karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya akhir-akhir ini.

"Vey, maaf aku-"

"Kamu akhir-akhir ini sibuk dengan pekerjaan 'kan makanya gak sempat mengingat hal-hal yang kayak gitu?" sergah Veyla sambil tersenyum paksa ke arah Jevan. "Enggak papa kok, Van. Hal yang kayak gitu memang gak perlu diingat dan dirayain."

"Vey, jangan berkata kayak gitu. Hal yang kayak gitu perlu buat kita rayakan."

Veyla tersenyum tipis. "Awalnya kedatanganku ke sini buat ngasih surprise ke kamu. Tapi kayaknya kamu nggak perlu kehadiran aku karena sudah ada seorang wanita yang kamu tenangkan tangisnya dengan lemah lembut tadi pagi."

"Vey, dia-"

"Kata stay mungkin sudah terlalu lumrah di telinga kita hingga mungkin kamu merasa bosan dan memilih untuk mengingkari janji kamu kembali." Veyla menatap bola mata hitam milik Jevan lekat-lekat lalu tersenyum tipis. "Jadi, sekarang aku memilih kata leave untuk mengakhiri semua ini," lanjut Veyla kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Jevan yang masih terpaku di tempatnya.

To be continued

Tim gercep mana suaranya!! Part ini aku persembahkan untuk klean² yg memintaku untuk next secepatnya.

Gimana? Emosinya masih stabil setelah baca part ini atau malah meluap-luap?

Dari pada ikut kena semprot, mendingan aku kabor duluan aja lah, ya🤣

Selamat beremosi ria dan jangan lupa berikan tombol bintang dan komennya💋

•MEDSOS•
Instagram : @risari21_
Twitter : @sariririii

Stay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang