19-Membuat Keputusan

679 71 17
                                    

Play now : Pamit-Tulus🎶

Di atas ketinggian beberapa ribu kaki ini, Veyla termenung dengan air mata yang terus menerus jatuh membasahi pipi mulusnya.

Tatapan kosongnya mengarah ke luar jendela pesawat yang menampakkan gemerlap kota New York di malam hari. Namun, sayang, gemerlapnya kota New York malam ini tak segemerlap suasana hati Veyla sekarang. Bahkan kondisi hati Veyla saat ini jauh dari kata gemerlap, yang ada hanyalah gelap dan hampa.

Veyla memilih untuk meninggalkan kota ini setelah hal yang tak diinginkan terjadi.

Seharusnya malam hari ini menjadi malam yang membahagiakan bagi Veyla karena tepat hari ini adalah hari jadi pernikahannya yang pertama. Namun, bukannya kebahagiaan yang ia dapat, justru sebuah luka lah yang kembali menghiasi relung hatinya.

Wanita berambut kecoklatan itu menghapus air matanya yang membekas di pipi mulusnya secara kasar. Matanya yang memerah kini beralih pandang ke arah benda pipih berwarna rose gold yang sedari tadi ia genggam.

Sorot matanya kini mulai menyendu kembali. Sebuah foto yang menampakkan sepasang kekasih sedang tersenyum bahagia ke arah kamera dengan sang perempuan yang memegang sebuah buket mawar menjadi kenangan manis yang terpatri di kepala Veyla.

Ya, itu adalah foto Jevan dan Veyla ketika mereka masih berpacaran. Sebuah foto tersebut biasa Veyla pajang sebagai home screen ponselnya agar selalu teringat Jevan yang kini berbeda negara dengannya.

Namun, sekarang untuk sekedar melihat fotonya saja, Veyla sangat merasakan sakit hati yang luar biasa apalagi untuk bertatap mata secara langsung dengan Jevan. Ia benar-benar tak sanggup. Veyla Kira, luka yang Jevan torehkan di masa lalu sudah sembuh secara permanane, tetapi nyatanya tidak.

Luka tersebut kembali menganga ketika ia harus di hadapkan dengan sebuah kenyataan bahwa Jevan masih sama dengan yang dulu.

Masih sering menyakiti Veyla.

Dengan tangan sedikit gemetar karena tangis pecah yang ia tahan dengan telapak tangan, Veyla pun menyentuh tombol delete hingga foto yang selalu menemani hari-hari Veyla ketika ia rindu dengan Jevan sudah tak terpatri lagi di galerinya.

Veyla memejamkan matanya yang masih basah karena air mata lalu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan agar dirinya lebih tenang. 

Tatapannya kini mengarah ke sebuah cincin yang melingkar dengan sempurna di jari manisnya. Cincin yang menjadi bukti janji suci Veyla dan Jevan telah diikrarkan.

Dengan helaan nafas berat, Veyla mengusap pelan cincin tersebut dengan air mata yang kembali bersiap meluncur ke pipinya. "Maaf, Van..." lirihnya lalu melepas cincin tersebut dari jari manisnya.

Veyla tak cukup kuat lagi untuk menghadapi segala macam luka yang diberikan oleh Jevan.

Seperti yang ia ucapkan pada Jevan sebagai kata-kata penutupnya ketika Veyla bertemu dengannya sebelum kepergiannya untuk kembali ke negaranya. Bukan, bukan Jerman. Tapi Indonesia. Ia memilih untuk menenangkan hati dan pikirannya dulu di tanah air sebelum menghadapi permasalahan cinta yang rumit ini.

Veyla telah membuat sebuah keputusan yang sangat kelu untuk ia ucapkan, tetapi harus dilakukan. Dan Veyla memilih pamit dari hidup Jevan selamanya.

~~~

"Jadi, sekarang aku memilih kata leave untuk mengakhiri semua ini."

Kalimat tersebut terus mengiang di telinga seorang Jevan Alvaro yang sedang berdiri menghadap ke arah jendela kamar yang menyuguhkan pemandangan malam.

Stay जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें