17-Veyla Menghilang Kembali

661 73 11
                                    

Jevan baru saja menyelesaikan acara beres-beresnya setelah kemarin secara resmi pindah dari apartemen ke rumah pribadinya yang terdapat di jantung kota New York.

Rumah ini sudah dari lama ia persiapkan untuk tempat tinggalnya bersama sang istri, Veylania Callista. Rumah tersebut baru selesai dibangun sekitar 3 Hari yang lalu dan telah ditempati Jevan sejak kemarin.

Acara beberesnya sama sekali tak membosankan karena ditemani dengan imajinasi Jevan yang membayangkan jika suatu saat nanti dirinya berada di rumah ini bersama Veyla beserta anak-anak mereka yang lucu-lucu. Ah, Jevan tak bisa membayangkan betapa bahagianya ia jika suatu saat akan menjadi seorang Ayah dari anak-anaknya kelak.

Lelaki beralis tebal tersebut merenggangkan otot-otot tangannya lalu mendaratkan bokongnya tepat ke atas sofa. Pandangannya ia edarkan ke seluruh penjuru ruangan berwarna putih yang sudah dihiasi dengan beberapa barang-barang.

Senyum mengembang di bibir Jevan. Senyum yang biasa ia perlihatkan hanya kepada Veyla. Dalam hati, Jevan berharap Veyla akan menyukai rumah yang ia bangun dengan hasil jerih payahnya sendiri itu.

Tangan kekarnya kini menyusuri meja ruang tamu untuk menemukan sebuah benda pipih berwarna silver untuk menghubungi seseorang yang sedari tadi tak juga memberinya kabar.

Namun, belum sempat Jevan menekan tombol hijau yang berguna untuk memulai panggilan, tiba-tiba suara seseorang dari luar rumahnya mengalihkan perhatian lelaki tersebut. Apalagi suara seorang wanita dari luar rumahnya itu terdengar tidak asing.

Dengan langkah yang pelan namun pasti, Jevan menghampiri daun pintu rumahnya yang tertutup lalu membukanya pelan sehingga menperlihatkan sosok wanita yang sedari tadi ia tunggu kabarnya untuk memberikan jadwal kerjanya hari ini. Ya, Ameetha.

Wanita tersebut berdiri di depan rumah Jevan dengan mata yang sembab dan hidung yang memerah seperti orang habis menangis.

"Kenapa?" tanya Jevan pada Ameetha yang masih terdiam di tempatnya seraya menundukkan kepalanya.

Jevan memang memberitahu alamat rumahnya yang sekarang pada Ameetha setelah wanita itu terus mendesak Jevan agar memberi alamat rumahnya dengan alasan jika ada hal mendadak yang tidak bisa dibicarakan lewat telfon Ameetha bisa mendatangi rumah tersebut.

Hanya untuk masalah pekerjaan saja bukan yang lain.

"Maaf, Van. Gue gak sempat angkat telfon lo dan ngasih jadwal meeting hari ini. Soalnya..." ucapan Ameetha tiba-tiba menggantung seiringan dengan air mata yang sedari tadi ia tahan perlahan jatuh membasahi pipinya.

Jevan mengernyitkan dahinya. "Kenapa?" tanya Jevan lagi dengan nada tak sedingin tadi.

"Papi gue, Van ...."

Mendengar kata 'Papi' disebut, Jevan langsung menarik Ameetha masuk ke dalam rumahnya lalu membawa wanita itu ke ruang tamunya dan mengajaknya untuk duduk terlebih dahulu agar ia lebih tenang.

Jevan merasakan ada sesuatu yang terjadi pada Ameetha sehingga membuat wanita tersebut seperti ini.

"Ada apa sama bokap lo?"

Ameetha menghembuskan nafasnya lalu mendongakkan kepalanya. "Papi gue meninggal, Van. Beliau meninggal dini hari tadi," terang Ameetha yang sukses membuat Jevan tak enak hati.

"Gue gak punya siapa-siapa lagi di sini, Van. Mami gue udah meninggal dari Lima tahun yang lalu. Dan sekarang, Papi nyusul Mami ke sisi-Nya." Ameetha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan agar tangis pecahnya tak dapat dilihat Jevan. "Gue benar-benar sendiri..." lirihnya disela-sela isak tangis yang terjadi.

Jevan tak tega melihat Ameetha yang begitu rapuh. Tangan kekarnya pun kini ia ulurkan ke bahu kanan wanita tersebut lalu menepuknya pelan berusaha menenangkan Ameetha.

Stay Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ