27-Rencana Ameetha

330 40 12
                                    

Lelaki berperawakan tinggi nan tegap itu terlihat gagah dengan  jas berwarna hitam yang melekat di tubuhnya. Langkahnya terus ia bawa menuju salah satu ruangan diiringi seorang wanita yang tak kalah rapinya dengan dilengkapi beberapa buku agenda di tangannya.

Sesekali lelaki itu membalas sapaan dari karyawan yang ada di sana dengan senyum yang teramat tipis atau sekedar menganggukkan kepala saja. Sifat dinginnya yang begitu melekat ditambah lagi pikirannya yang sedang kacau membuat lelaki itu lebih banyak membungkam mulutnya sejak kembalinya ia ke Amerika bersama sang ayah.

Setelah berjalan sekitar tiga sampai empat menit dari lift, akhirnya Jevan telah tiba di ruangannya setelah melakukan se-gambreng pertemuan dengan para klien yang sudah beberapa kali ditunda bersama Ameetha yang sepanjang perjalanan menuju perusahaan memasang wajah kesalnya.

Namun, sekesal apa pun wanita itu dengan Jevan, lelaki tersebut hanya menganggapnya angin lalu. Toh, Ameetha hanya sebatas rekan kerjanya saja. Di kampus pun mereka seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal. Jadi, untuk apa Jevan terlalu memikirkan wajah kesal Ameetha?

"Ada agenda lagi?" tanya Jevan datar pada Ameetha setelah bokongnya bersentuhan dengan kursi kerjanya.

Ameetha yang mendengar itu sontak menghela napas berat sambil berjalan menuju sofa panjang yang terdapat di pojok kiri depan ruang kerja milik Jevan.

"Tinggal pertemuan dengan Mr. Axel. Itupun besok."

Jevan menganggukkan kepalanya pelan sambil membuang napasnya setelah hampir seharian melakukan pekerjaan di luar perusahaan. Pertemuan yang ia lakukan hari ini pun tak luput dari pengawasan Pedro yang juga sempat menemaninya bertemu klien. Pedro merasa tak enak hati dengan para klien karena tingkah laku anaknya yang bisa terbilang ngaret dalam melakukan pekerjaan. Terlebih lagi klien-klien itu kebanyakan adalah teman-temannya.

Suasana ruang kerja yang senyap membuat Jevan merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel miliknya. Hal tersebut tentu menyita perhatian Ameetha yang sampai saat ini masih betah duduk di sofa yang ada di ruang kerja Jevan.

Kedua mata Ameetha menyipit ketika mendapati sang bos menyalakan layar ponselnya. Kemudian menatap sejenak ke arah lock screen yang menampilkan foto Veyla sedang tersenyum ke arah kamera dengan kedua tangan yang memegang setangkai bunga mawar. Hanya dalam hitungan beberapa detik, layar ponsel tersebut kembali dimatikan oleh sang empunya yang membuat Ameetha cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain seolah tak tahu apa-apa.

"Masih di sini?" tanya Jevan tiba-tiba saat menyadari jika Ameetha masih berada di dalam ruangannya.

Seakan paham dengan pesan tak tersirat yang muncul dari pertanyaan yang barusan diberikan oleh Jevan, Ameetha pun langsung bangkit dari sofa empuk tersebut dengan perlahan.

"Jadi yang bikin lo seharian ini dingin ke semua orang karena kangen sama Veyla?" tanya Ameetha yang membuat Jevan meliriknya sekilas.

"Bukan urusan lo," sahut lelaki itu sambil memejamkan matanya sambil mengarahkan kursinya ke sebuah kaca besar yang menampilkan pemandangan hiruk-pikuk kota New York.

"Lo belum baikan sama dia?"

Jevan langsung membuka matanya lalu memutar kursinya ke arah Ameetha yang tengah berdiri di depan mejanya. "Sejak kapan lo begitu ngurusin rumah tangga gue sama Veyla?" tanya Jevan dengan nada dingin yang membuat Ameetha menghela napasnya.

"Gue bukan mau ikut campur urusan rumah tangga lo sama Veyla. Tapi kalau alasan marahnya Veyla masih karena kejadian waktu itu, gue jadi ikut merasa bersalah juga, Van," ucap Ameetha dengan nada tak enak hati.

Stay Where stories live. Discover now