BAGIAN 1 - Call From Home

14.5K 675 18
                                    

"Selamat Bu Manika, target loan kita bulan ini kembali saving seratus persen. Tetap dipertahankan dan terus gencar ya, biar saving-nya stabil. Supaya akhir tahun nggak terlalu ngoyo." Pak Aqlan menatap puas pada anak buahnya. "Oke semua, kita ketemu di lahan parkir lima belas menit lagi untuk makan siang bersama." Kalimat bapak kepala bank tempat Manika bekerja, menutup meeting bulanan kali ini.

Manika beserta tim sales and marketing di bawah arahannya, tersenyum lebar kemudian mengangguk patuh. Keenam orang itu saling pandang setelah mematikan tablet masing-masing.

Pak Aqlan membereskan berkas di mejanya dan keluar ruang meeting terlebih dahulu. Diikuti pak wakil kepala cabang dan pak manajer. Tim Manika juga mulai membereskan berkas. Penghuni ruang meeting salah satu bank ternama di Indonesia itu ikut meninggalkan ruangan, hingga tersisa Manika seorang diri di sana.

Senyuman di wajah perempuan berumur tiga puluh tahun itu memudar. Dia duduk bersandar dan memijat pelipis. Tampak begitu lelah. Sebenarnya, jarang sekali dia menunjukkan raut muka begini. Walau pekerjaan yang dia geluti sibuk tiada henti, target yang dihadapi semakin bertambah setiap bulan dan membuatnya selalu memutar otak setiap waktu, tak pernah sekali pun dia merasa terbebani. Karena Manika memang sadar dengan risiko pekerjaan yang sudah dia geluti selama hampir sembilan tahun itu.

Manika menelungkup di atas meja dan memejamkan mata, membiarkan rambut hitam bergelombang sepanjang tulang belikatnya terjuntai. Ingin sekali amnesia sejenak dan yang diingat hanya kesuksesannya pada pekerjaan. Kepalanya kembali pening. Dia tak boleh lemah. Dia adalah Senior Bussiness Coach tim sales and marketing yang tegas serta tahan banting. Target milyaran saja bisa dia penuhi, masa hal begini sudah mau mewek? Semua bisa dibicarakan. Semua pasti ada jalan keluar.

Percakapannya dengan sang mama terputar lagi di kepala. Seperti biasa, Bu Melati rutin menelpon anak sulung yang beliau banggakan tersebut. Mengalir lancar berisi curhatan Bu Melati tentang kabar keluarga dan tetangga sekitar yang lama tak Manika jumpai. Di menit berikutnya, topik yang menjadi pembicaraan mereka adalah hal yang selama ini selalu dihindari Manika.

"Gimana, Nduk? Udah ada yang bikin kamu kecantol?"

Manika tak menjawab. Dia selalu menghindari tema yang belakangan selalu dibahas oleh sang mama. "Bulik Eny gimana kabarnya, Ma?" Manika menanyakan hal lain layaknya tak mendengar pertanyaan Bu Melati, sengaja mengalihkan tema obrolan.

Tapi kali ini, Bu Melati tak mau menanggapi. "Mama serius, Nduk. Kalau semisal kamu belum bisa mengenalkan calon untuk kami, terpaksa kami yang bertindak." tegas Bu Melati.

"Maksud Mama?" Manika mulai keberatan.

Bu Melati tak menjawab. "Siapkan diri kamu dari sekarang, Nduk. Kami bisa melaksanakannya sewaktu-waktu."

Ponsel Manika yang bergetar di saku blazer abu-abunya, membuat pikirannya buyar. Dia mengangkat wajah dan menegakkan badan. Tangan lentiknya merogoh saku dan melihat pop up pemberitahuan di ponsel. Sebuah unggahan Instagram menandai dirinya. Dia mengetuk layar. Sesaat kemudian muncul gambar indah dua wajah yang sedang berbahagia. Foto prewedding bertema hitam putih yang elegan dan intim. Manika mengerutkan dahi. Siapa mereka? Dan apa maksud akun ini menandai dirinya di foto itu?

Dia ketuk lagi untuk masuk ke profil akun yang menandainya di foto tadi. Di sana terpampang lebih banyak lagi foto prewedding indah beserta unggahan foto undangan.

"Turut mengundang dalam hari berbahagia kami..." Manika bergumam sambil menautkan alis. Semakin dia perbesar gambar itu untuk mengenali wajah di foto dan matanya segera membelalak saat menyadari orang yang pernah dia kenal dulu. "Apa-apaan nih, Dulkipli!" geramnya.

YAKIN NIKAH(?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang