BAGIAN 3 - Kotak Beludru Dongker

4.9K 556 16
                                    

Selepas pertemuan dengan Lingga, Manika segera menelepon sang papa. Meminta penjelasan dan juga memastikan bahwa apa yang disampaikan Lingga benar adanya. Perbincangan yang alot selama hampir satu jam melalui panggilan video dengan kedua orang tuanya, baru saja terhenti. Dengan hasil tentu saja orang tuanya menang telak.

"Waktu yang kita berikan sudah lebih dari cukup, Nduk. Usia kamu sudah tiga puluh tahun. Kalau buat perempuan, itu masuk usia krusial. Beda dengan laki-laki." Kalimat Bu Melati terngiang jelas di telinganya.

Kini Manika membenamkan kepala di bantal sofa. Olivia yang datang setelah ditelepon, segera memberi pelukan sambil membawa lilin aroma terapi dan membuat seduhan teh chamomile agar Manika tenang.

"Minum dulu, Nik." Olivia menyodorkan cangkir bergambar Shrek itu.

Manika mendongak dan duduk. Matanya sembab. Dia menangis betulan. Olivia sampai kaget dibuatnya. Masalah ini sangat serius bila sampai membuat Manika menangis tersedu.

Manika tak langsung meminum teh, dia letakkan di meja. Dia masih terisak pelan. Rambutnya tergelung rapi ke atas. "Gue dosa apa sama mama papa, mereka sampe setega ini?" Bahunya bergetar. "Apa gue minta mutasi kerja keluar pulau aja dan nggak ngabarin mama papa biar perjodohan ini batal?"

Olivia tak bisa berkata banyak. Dia hanya mengelus punggung Manika yang telah bersandar di bahunya. "Diminum aja dulu, ya? Elo sekarang lagi emosi. Jadi segala hal dan keputusan yang keluar saat ini, murni dari luapan emosi. Bukan dari pikiran jernih. Tenangkan dulu semuanya. Pikirin hal indah. Naik jabatan, insentif akhir tahun, THR, hadiah dari Pak Aqlan..." Bisik Olivia penuh perhatian.

Mereka terus berpelukan sampai beberapa saat. Di rasanya Manika sudah agak tenang, Olivia menggeser tubuh sahabatnya itu untuk duduk tegak. Dia mengambilkan lagi cangkir berisi teh chamomile. Manika menerima dan menyesap minuman itu.

"Sekarang, elo tarik napas perlahan lewat hidung dan keluarkan perlahan juga lewat mulut." Olivia mengambil cangkir dari tangan Manika.

Manika mengikuti perintah Olivia. Berulang kali dia melakukan gerakan inhale-exhale sambil menutup matanya. Aroma lilin yang harum menenangkan, menyelubungi ruangan apartemen. Terus saja melakukan gerakan sesuai yang Olivia arahkan. Tarik dan hembus.

"Sekarang gimana? Udah mendingan?" Olivia menatap tepat ke dalam mata sahabatnya yang telah membuka itu.

Manika mengangguk pelan.

Olivia menggenggam tangan sahabatnya. "Gue yakin, om dan tante ngelakuin hal ini karena udah termasuk pilihan yang sangat tepat buat elo." Dia mengelus punggung tangan Manika. "Mereka yang jauh mengenal elo. Mereka yang jauh mengerti siapa elo. Bahkan gue yakin, mereka sudah memikirkan matang-matang sebelum memutuskan untuk mengadakan perjodohan ini. Karena kalo nggak begini, elo nggak akan pernah bergerak dan tetap hanyut dalam kesendirian elo, Sayang."

"Tapi yang nggak gue terima, mereka memutuskan tanpa meminta ijin gue." Manika kembali membela diri.

"Lantas, kalo beliau-beliau mengajak elo berdiskusi terlebih dahulu masalah ini, apakah elo akan terima? Apakah elo akan memberikan persetujuan? Gue yakin nggak, pake capslock tanda seru yang banyak."

Manika berdecak. "Gue udah tunangan, Liv. Tiga bulan lagi nikah. Kalo terjadi pada elo, gimana reaksi elo?" Manika tetap mencari pembelaan.

Olivia mengangguk paham. "Kalo ini terjadi pada gue, bakalan gue tolak. Gue akan cari calon suami yang gue cinta dan sebaliknya, juga cinta sama gue. Gue akan mempertanggungjawabkan pilihan gue ke mama." Penjelasan Olivia membuat Manika terkesiap. "Tapi berhubung ini elo, yang nggak mau repot-repot menjalin hubungan dengan lelaki baru setelah kesendirian selama tiga tahun, jadi mau nggak mau harus elo terima. Dan juga karena elo anak yang sayang, berbakti, serta melaksanakan perintah orang tua di atas segalanya, maka gue yakin elo pasti lama-lama akan ikhlas menjalani ini."

YAKIN NIKAH(?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang