BAGIAN 18 - Penjajah Dari Masa Lalu

4.6K 424 31
                                    

"Sudah tahu desas-desus kalau audit dari OJK akan datang dua minggu lagi?" Ini adalah pertanyaan kesekian yang Ranu lontarkan setelah melakukan pengarahan yang tak jauh dari kalimat-kalimat tajam menghunus. Dua minggu lamanya tak hadir di kantor cabang, mungkin membuat mulutnya gatal. Pria itu sudah menunggu di ruangan Manika saat perempuan itu baru tiba di kantor. Ranu duduk di kursi Manika, sementara Manika duduk di kursi tepat di hadapan Ranu. Kelima bawahannya berdiri berjajar di belakang Manika. Inspeksi pagi yang menyebalkan.

Perempuan itu beserta kelima anak buahnya mengangguk serempak. Sepertinya dua minggu ke depan mereka akan lembur lagi. Quartal ketiga dengan atasan model Ranu begini, semakin membuat kantornya serasa meradang. Target bulan ini sungguh luar biasa. Satu setengah bulan menjelang akhir tahun, kerja ekstra keras dikerahkan oleh seluruh karyawan divisi mana pun. Belum lagi rotasi yang kadang dilakukan mendadak oleh Ranu, membuat kerjaan semakin kalang kabut. Manika curiga, sepertinya Ranu sengaja mengundang OJK untuk datang ke kantor di momen akhir tahun begini. Karena seingatnya, mereka sudah hadir di awal tahun.

"Saya ingin semua laporan selama setahun terakhir kalian periksa, sejeli mungkin. Jangan sampai audit rating turun. Terakhir saya cek, predikatnya masih baik. Minimalkan temuan medium to high risk. Karena semua akan pengaruh ke KPI kalian." terang Ranu lagi, kali ini dengan intonasi lebih datar.

Keenam orang itu mengangguk. Tak ada yang menatap lurus pada Ranu, termasuk Manika. Dia hanya memandang pigura yang terpajang di meja, menampilkan fotonya beserta sang suami.

"Oke, itu saja dari saya. Kalian boleh melanjutkan pekerjaan." Ranu menyuruh kelima anak buah Manika pergi.

Mendengar helaan napas lega, Manika berbalik menatap punggung kelima anak buahnya yang berjalan cepat keluar. Manika merutuki nasibnya yang masih harus berhadapan dengan Ranu di ruangannya. Dia kembali memandang Ranu dan dilihatnya pria itu sudah bersandar sambil memegang pigura fotonya.

"Kalian serasi." ujarnya sambil terus memerhatikan foto yang diambil selepas akad itu. "Kamu juga cantik di sini." Ranu menatap Manika. Bergantian dari foto dan Manika lagi. Terus seperti itu selama beberapa detik.

Manika tak berkomentar. Dia hanya menyipit, apa maksud perkataan lelaki di hadapannya itu?

"Seandainya dulu aku nggak bersikap keras dan kaku ke kamu." lanjut Ranu dan menggeleng, tatapannya sedikit menerawang.

Terlambat woi! Citra kamu yang nyebelin begini udah nggak bisa diubah lagi. Lagian, kenapa kudu balik ke Indonesia sih? Mending tetep aja di New York sana. Cari cewek bule kek, biar nggak stres. Rutuk Manika.

"Manik, kamu ingat tawaranku dulu saat kita diundang ke pesta ultah salah satu temen organisasi?" Ranu mengenang masa sekitar sepuluh tahun lalu.

Manika mengerutkan dahi. Tawaran? Emang Mas pernah nawarin apaan? Setahuku, Mas itu selalu nyolot. Manika menggeleng. Dia tak ingat. Kenangan bersama Ranu adalah kenangan buruk yang harus selalu dihilangkan seusai kejadian.

Ranu tersenyum kecut. "Udah aku duga." Dia masih memegang pigura kecil itu dan tanpa sepengetahuan Manika, ibu jari Ranu mengelus wajah Manika di foto tersebut.

Manika malas menggubris kalimat Ranu yang selalu meninggalkan tanda tanya baginya. Dia sudah begitu pening hari ini. Banyak sekali tugas yang harus dia selesaikan. Jika masih meladeni pembicaraan tak penting seperti ini, lebih baik Manika saja yang keluar dari kantor. Ngadem di pantri, mungkin.

"Apa masih ada yang harus dibicarakan, Pak? Semisal tidak, saya mau lanjutin kerjaan." Manika menunjuk tumpukan file di meja sofa.

Ranu sedikit terhenyak mendengar nada suara Manika yang seperti mengusir, tapi dia langsung menyembunyikan ekspresi itu dengan menarik ujung bibirnya. "Sudah aku bilang berapa kali, nggak usah panggil 'Pak' kalo kita hanya berdua."

YAKIN NIKAH(?)Where stories live. Discover now