BAGIAN 7 - Nostalgia Menyebalkan

4K 456 15
                                    

Manika menatap lurus laki-laki yang duduk di sofa seberang. Tangannya masuk ke saku hoodie over size yang dia kenakan untuk melapisi dasternya. Dia sengaja mengijinkan lelaki itu masuk setelah memohon-mohon bahwa hanya ingin berbincang sebentar saja lantaran Wilis sudah tak tahu harus menghubungi Manika kemana. Dia pun sengaja tak membuatkan laki-laki itu minum, untuk menekankan bahwa dia memang tak mau diganggu lagi oleh kehadiran lelaki itu. Karena memang tak ada yang harus mereka bicarakan, mengingat perpisahan mereka dulu, tak berakhir baik-baik. Manika pun merasa perasaan kesalnya kembali tumbuh bila melihat lagi wajah pria yang pernah meninggalkannya itu.

Wilis balas menatap Manika dengan pandangan yang dulu bisa membuat perempuan itu terpana. Tapi tampaknya sekarang, itu sudah tak berlaku. Yang ada, Manika justru mual. Sadar bahwa tindakannya tak berefek lagi pada Manika, pandangan Wilis menangkap cincin di jari manis perempuan itu.

"Jadi, kabar yang aku denger itu beneran, ya?" Ini kalimat pertama yang Wilis lontarkan sejak dia masuk ke apartemen.

Manika mengerutkan dahinya. Kabar apa yang dia maksud?

"Kalau kamu udah tunangan. Selamat bye the way." Wilis tersenyum kecut.

Manika hanya menjawab dengan tatapan dingin.

"Maaf aku nggak ngabarin kamu dulu untuk main ke sini. Soalnya, aku nggak tahu harus telepon kamu kemana. Kirim pesan di IG, tapi kamu jarang online." Wajahnya terlihat tak nyaman, namun setelah itu dia tersenyum sekilas. "Tapi, aku bersyukur ternyata kamu belum pindah. Terima kasih. Ini ngemudahin aku nyari kamu."

Manika masih tak bersuara. Dia tetap menatap lurus lelaki yang kali ini tak jauh lebih baik saat terakhir Manika temui tiga tahun lalu.

Wilis meneliti setiap sudut ruang tamu apartemen Manika. Ruangan yang memang tak begitu akrab dengannya, sekarang jauh tampak asing di matanya. "Udah tiga tahun berlalu, ternyata nggak ada yang berubah." ucapnya. "Yah, memang begini Manika yang dulu aku kenal. Nggak mau repot-repot mengganti suasana hanya demi suatu tren."

Manika tak menghiraukan basa-basi itu. Dia menautkan alis, menatap curiga. Sebenarnya apa tujuan laki-laki ini kembali muncul tidak tahu malu di hadapannya?

Beberapa detik terjeda, Wilis menunduk. Begitu putus asa dan kacau. Dia menatap tautan tangannya sendiri. Manika tak bisa menangkap jelas ekspresi lelaki itu. Dia benar-benar tak tahu, apa yang terjadi dengan Wilis. Lebih tepatnya tak mau tahu. Jika tak ada hal yang ingin disampaikan, lebih baik pulang saja sana.

"Manik, aku kesini cuma mau ngasih kabar kalo..." Wilis mendongak, menatap lagi wajah Manika. "Acara pernikahan aku, dibatalin."

Kabar ini benar-benar di luar dugaannya. Dia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Apakah bergembira? Atau tertawa terbahak?

"Undangan sudah kamu terima, kan? Seharusnya dilaksanakan akhir bulan ini, tapi semuanya ditunda." Terang Wilis lagi. Air mukanya terlihat sedih.

Terus masbue? Masalah buat gue?

Manika menangkap raut itu. Dia ingat sekali, Wilis akan berekspresi begitu bila ada hal besar yang sedang dia hadapi.

Tanpa diminta, Wilis menjelaskan duduk permasalahannya. "Rini hamil. Udah lima minggu. Aku yakin banget, itu bukan anakku. Karena aku nggak pernah sekali pun tidur dengan dia." Dia menarik napas berat. Tampak sangat kecewa. "Aku akui, aku emang brengsek. Tapi sejak bersama Rini, aku udah nggak pernah selingkuh. Aku mencoba untuk setia dan berubah. Karena udah bukan saatnya lagi aku mainin hati perempuan. Tapi nyatanya? Dia membalas aku begitu kejam."

Too much information. Aku nggak butuh kabar ini. Memangnya, apa yang bisa aku dapat setelah mengetahui hal ini? Pikiran Manika sungguh tak pernah mengerti maksud lelaki itu.

YAKIN NIKAH(?)Where stories live. Discover now