13 | Last Leaf

1.5K 171 8
                                    

(click me)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(click me)

Daun terakhir jatuh dari pohon maple tempatku bersandar, sudut bibirku terangkat begitu indra penciumanku mencium aroma khas dari musim gugur yang selalu datang tiap tahun, selalu berulang, selamanya.

Musim gugur telah tiba, menimbulkan warna orange kemerahan di semua daun yang masih bertahan di pohonnya, menunggu sang angin berhembus dan menerbangkan helaian rapuh tersebut. Di balik kedinginan musim ini, tersimpan perasaan yang membuat hatiku menghangat, perasaan yang kurindukan selama satu tahun belakangan.

"Sebentar lagi dia akan datang."
Sudut bibirku semakin terangkat karena pemikiran itu terlintas di kepala, terlebih lagi saat aku merasakan sebuah telapak tangan hangat menutup mataku, tanpa melihat pun, aku sudah mengetahui siapa pemilik tangan ini.

Menghembuskan nafas yang menciptakan sebuah kepulan asap tipis dari mulutku, secara perlahan, aku melepaskan telapak tangannya kemudian menghadap penuh ke arah sosok tersebut. Senyum lembut berpadu dengan tatapan meneduhkan darinya mampu membuat cairan bening menumpuk di sudut mataku.

Aku benar-benar merindukannya. Senyumannya, senyuman itu yang membuatku merasakan beratnya rindu yang tercipta di sudut hati, selama satu tahun belakangan ini.
Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat ke dekapannya dan memeluknya erat, melepaskan semua rindu yang kutahan selama ini, tanpa menghiraukan fakta kalau kami bisa saja terjatuh karena dia yang belum siap menerima perlakuanku yang terlalu tiba-tiba. Aku tahu kalau dia tidak akan membiarkanku terjatuh.

"Apa kau merindukanku?" tanyanya tanpa melepaskan pelukan kami.

"Tidak." jawabku datar dan berusaha menahan tawa jahilku agar tidak keluar dari bibir mungil yang mulai memucat karena rasa dingin menusuk hingga ke tulang. Mendengar jawaban dariku, dia melonggarkan pelukan kami, tangannya berpindah untuk memegang kedua bahuku dengan erat, menatap dalam tepat ke manik mataku yang sedikit berkaca-kaca.

"Bodoh, tentu saja aku merindukanmu, Hyunjin." aku tidak tahan, tawaku lepas begitu saja.

Hyunjin menatapku jahil, "Aku tahu,"

" Hahaha ... bagaimana kalau kita mulai menghabiskan waktu bersama sampai waktunya tiba?"

"Setuju."

⛓💌⛓

Bulan pertama,

"Hyunjin, Hyunjin." panggilku terlampau bersemangat sembari melompat-lompat di hadapannya.

"Ada apa?" Aku menghirup nafas selama beberapa kali sebelum tersenyum dengan lebar.

"Ayo kita ke taman bermain!"
Hyunjin terlihat berpikir sejenak, tak ingin permintaanku ditolak, aku kemudian memasang ekspresi puppy eyes andalanku.

"Hahh ... baiklah."

Senyumku semakin mengembang, aku tahu cara ini tidak pernah gagal.

Kami lalu mulai melakukan beberapa permainan saat masa anak–—anak, monopoli, tic tac co dan lainnya.

Sampai saat aku mengalihkan pandangan keluar, "Ah Hyunjin, salju turun." Pekikku semangat.

Pemuda Hwang tersebut kemudian mengikuti arah pandangku, tersenyum lembut membuat bibir tebat tersebut terlihat begitu indah.

"Mari kita keluar."

Tanpa persetujuan, Hyunjin mengamit tanganku kemudian menarik kecil untuk keluar dari rumah tempat kami bernaung.
Dinginnya butiran salju yang turun terasa begitu jelas di kepalaku, membuat senyum kami merekah.

"Besok, ayo kita bermain lempar salju dan membuat boneka salju."

Lelaki yang lebih tinggi dariku segera menganggukkan kepalanya, membuatku benar – benar bahagia di detik ini.

⛓💌⛓

Bulan kedua.

"Hyunjin... lihat, bintang itu terlihat seperti lollipop!" aku menunjukkan beberapa bintang yang kumaksud. Aku dan Hyunjin kini sedang berbaring di hamparan rumput sambil menatap indahnya langit malam yang ditaburi jutaan bintang yang membentuk pola abstrak, namun dapat pula membentuk suatu pola jika kalian melihatnya dengan menggunakan imajinasi yang kalian miliki.

"Hey lihat!" aku mengikuti arah jari Hyunjin yang menunjuk ke arah bulan sabit yang bersinar terang di atas kami, namun saat pandanganku teralihkan, aku merasakan sebuah kecupan mendarat di pipiku.

"Pipimu memerah Jeongin."

"Ti... tidak."

"Ayolah, akui saja kalau kau sekarang sedang malu karena kukecup barusan."

Aku merasa pipiku semakin menghangat. "Kau menyebalkan."

Ah sial, udara dingin yang terasa seakan menghilang sekarang. Aku yakin pipiku memerah, tapi pasti bukan karena malu.
Ini tentu karena suhu yang terlalu dingin, ya benar, seperti itu.

Hyunjin sangat menyebalkan, huftt...

⛓💌⛓

Bulan ketiga.

"Aku harus pergi."

Terasa begitu menyesakkan bagiku saat mendengar kalimat itu terlontar dari kedua bilah bibir ranumnya. Walaupun ini bukan yang pertama kali untukku, tapi rasa sakitnya masih saja terasa asing, seperti saat pertama aku merasakannya. Jamais Vu.

"Apa kau harus pergi? Tidak bisakah kau di sini lebih lama?" tanyaku sembari menatap sendu matanya, mata yang memancarkan cahaya redup yang sama seperti milikku, aku tahu dia juga merasakan hal yang sama.

Ah pertanyaan konyol, mana mungkin hal itu bisa terjadi.
"Aku ingin, tetapi aku tak bisa."
Pertahananku runtuh, air mata mengalir begitu saja dari sudut mata, menciptakan sebuah aliran sungai kecil di pipiku.

"Aku akan merindukanmu, Jeongin." tepat setelah mendengar kalimat itu, aku merasakan sebuah pelukan hangat mendekap tubuh yang terbalut mantel tebal meski sebentar lagi musim dingin akan menghilang, bersamaan dengan perasaan hangat ini.

"Aku juga akan sangat merindukanmu, aku akan menunggumu, satu tahun lagi aku akan ada di sini ... saat daun terakhir jatuh." ucapku sambil menahan isakan yang akan segera pecah.

Sosok lelaki di hadapanku merupakan teman pertama yang aku milikir. Dia nyata, namun juga tidak di saat yang bersamaan.

Entah bagaimana, saat aku menangis ketika tak ada yang ingin menjadi temanku, aku memilih pergi dari rumah di tengah cuaca dingin, mendudukkan diri di bawah pohon maple ini.

Lalu dengan ajaib, seorang anak kecil yang seumuran denganku ketika itu muncul, duduk di sebelahku dan menggenggam tangan dengan hangat.

Itulah pertamuan pertama kami.
Aku pikir kami akan berteman selamanya, namun saat Hyunjin mengatakan jika daun maple pertama dari pohon ini mekar, saat itu pula ia harus pergi, saat itu pula pertama kalinya aku merasakan sakitnya ketika sebuah harapan dipatahkan begitu saja.

"Sampai jumpa Jeongin."
Saat ini, kurasakan dekapan itu perlahan menghilang, tepat saat daun pertama... mekar.


























🍒 story by 🍒

Schorpy

a/n : maafkan lebah kalau alurnya susah dimengerti. Diri ini pengen bikin yang fantasy gitu tapi lebah gak sadar diri kalau lebah goblok di bidang ini. Huaaa maaf :'(

[i] Room Full Of LoveWhere stories live. Discover now