31

18.1K 1.3K 15
                                    

"Peringatan kedua dan gue nggak bisa untuk menunda lagi."

"Anastasya Alisia," lanjutnya setelah beberapa detik terdiam. Sedangkan Ana, gadis itu menahan rasa takutnya pada lelaki yang ada di depannya.

"Bukan gue!" pekiknya saat rambut panjangnya ditarik kasar oleh lelaki itu.

Lelaki itu terkekeh mengejek. "Lo kira gue buta?!"

Jovan, lelaki itu sedang berdua dengan Ana di gudang belakang sekolah. Jovan sedang memberi sesuatu pada cewek itu.

Ya, seseorang yang melihat kembarannya terjatuh di koridor dan melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Ana sedang membully Jean. Padahal, Jovan sudah memberi peringatan pertama. Kenapa tidak digubris oleh cewek itu?

"Akh ...," jerit Ana saat tubuhnya didorong ke belakang sampai membentur pilar tembok.

Jovan kembali menjambak rambut Ana. "Akh ... lepasin," rintih Ana.

"Ini belum seberapa sama yang lo lakuin ke Jean!"

Melepaskan tangannya dari rambut Ana, kemudian mulai membuka tutup botol besar yang sudah ia siapkan sebelumnya.

"L–lo mau ngapain?" Ana semakin was-was saat mencium bau tak sedap dari botol itu.

Jovan menyeringai tipis, lalu tanpa aba-aba menuangkan semua isi botol itu dari atas tubuh Ana membuat cewek itu menjerit. Selesai dengan itu, Jovan melemparkan botol kosong itu ke wajah Ana.

"Peringatan ketiga, gue nggak segan-segan bikin lo lebih dari ini."

Sesaat ingin membuka pintu gudang, samar-samar telinganya mendengar ucapan cewek itu.

"Laras yang bikin gue kayak gini." Jovan menggeleng dan segera pergi meninggalkan Ana di dalam gudang sekolah dengan keadaan yang lebih parah dari Jean.

***

Selepas bel pulang berbunyi, Jean membereskan peralatannya yang berceceran di atas meja.

Sampainya di depan pintu, Jean mengedipkan matanya tak percaya.

Ini bener Jovan?

"Ayo," ajak Jovan.

Sebelum tangan cowok itu menggapai Jean, Beby menghentikannya terlebih dahulu.

"Stop! Lo mau ngapain heh?!" Jovan melirik malas ke arah Beby, lalu tangannya kembali menggapai tangan Jean.

"Heh!" cela Beby tak terima kala pertanyaannya hanya dianggap angin lalu oleh Jovan.

"Eh–em By, aku pulang sama dia aja. Nggak apa-apa kok," sahut Jean hati-hati.

"Kenap—" Suara Beby terhenti saat terdengar dering hp dari saku celana Jovan.

"Hm?" tanya Jovan pada seseorang di sebrang sana dengan malas.

Jean melihat perubahan raut muka Jovan yang sulit diartikan, lalu entah kenapa perasaannya menjadi tak enak.

Jovan menatap Jean setelah mematikan sambungan telephone. "Kita pulang sekarang."

Jean menurut dan berjalan mengekori Jovan. Sedangkan keempat sahabatnya memandang mereka takut dari belakang.

"Gue kok ngeri ya sama Jovan," celetuk Vanya sambil mengusap tengkuknya merinding.

"Gue juga, sih," sahut Billa.

Farah termenung dengan nada bicara Jovan. "Tuh cowok aneh banget."

"Bodo, yuk pulang," ajak Beby, kemudian mereka berempat pun mengangguk dan bergegas pulang.

***

Jean melihat bendera kuning di atas pagar rumahnya. Pikirannya berkelana kemana-mana. Rasa yang menyergap di hatinya sedari tadi tak luntur barang sedikit pun. Di depannya, Jovan juga mencengkram kuat stir motornya.

Tibanya di pekarangan rumah, Jean melihat banyak sekali mobil-mobil berjejer, orang-orang berpakaian hitam, dan bunga-bunga tanda duka.

Jean menggeleng saat matanya menangkap nama yang terpampang di bunga duka tersebut. Air matanya luruh seketika itu juga. Tanpa mengatakan sepatah kata pun kepada Jovan. Jean berlari masuk ke dalam rumahnya.

Bacaan Yasin menggema di seluruh penjuru rumahnya. Jean menggeleng tak kuasa menahan sesak di dalam dadanya.

Tak sengaja, matanya menangkap sosok gadis yang baru tiba dengan kondisi sudah menangis. Tak kuasa dengan keadaan Anaknya, Smith menghampiri Jean.

Jean menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Smith. Kepalanya menggeleng tak percaya.

"Bunda?! Bunda bangun!" pintanya saat sampai di sebelah tubuh dingin Kira.

"Bunda kenapa pergi? Kita baru ketemu bunda! Bunda jangan pergi!"

Mereka semua yang ada disana melihat Jean kasihan. Mereka menghilangkan rasa penasaran dengan rasa kasihan ketika melihat Jean yang meronta-ronta ingin dilepaskan dari pelukan Smith.

Gama memandang Jean prihatin. Dia seperti Kakak yang buruk. Ia tak bisa menjaga sosok yang dibutuhkan Jean selama ini.

Jovan menatap kosong tubuh Kira yang tergeletak diatas lantai rumah dengan kain panjang yang menutupinya. Ia tak menyangka jika Kira pergi dengan tiba-tiba.

"Lepas Dad! Aku pingin sama Bunda!" Smith semakin mengeratkan pelukannya. "Sayang ... kamu har–rus ikhlas," ucapnya sedikit terbata-bata.

Jean menggeleng. "Nggak! Bunda jangan pergi!"

"Bunda! Bunda bangun! Jangan ... hiks ... tutup matanya ...,"

"Nggak mau ... mau sama Bunda, Dad ... hiks Bunda ..."

Tomi mendekat dan ikut memeluk Smith dan Jean. Diikuti Jovan dan Gama. Mereka semua menangis dalam pelukan yang sama.

Jean melemas, tenaganya sudah habis. Jean hanya berdoa dalam hati untuk Kira. Kemudian tanpa disangka, Jean ambruk.

Smith yang menyadari itu pun melepaskan pelukan mereka lalu tangannya menepuk-nepuk pelan pipi Jean. "Sayang ...,"

Tak ada jawaban.

Langsung saja Gama mengangkat tubuh Jean naik ke lantai dua di mana kamarnya berada. Diikuti Tomi dan Jovan. Sedangkan Smith masih harus menemani Kira.

***
TBC

Sayangi mereka yang masih ada, sebelum kamu menerima suatu kehilangan.

JEANNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ