4.8 Arthur

10.3K 1.9K 439
                                    

Arthur

Kalau harus diibaratkan, hidup itu seperti makanan yang paling lo benci di dunia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kalau harus diibaratkan, hidup itu seperti makanan yang paling lo benci di dunia. Kemudian lo terjebak pada sebuah keadaan dimana lo kelaparan dan cuma ada makanan itu aja yang tersisa. Lo nggak bisa nawar mau makan apa, dan lo juga gak bisa nolak buat nggak memakan makanan itu karena perut lo udah butuh banget asupan dari luar.

Karena nggak punya pilihan, pada akhirnya lo memakannya.

Lo mengunyahnya perlahan, lalu lo menemukan rasa baru yang gak pernah lo temui sebelumnya. Manis, kecut, asam, pahit, bahkan hambar sekalipun. Saking seringnya lo mendapatkan makanan yang sama— padahal lo gak suka sama makanan itu, akhirnya lo menjadi terbiasa. Lo terbiasa menelan semuanya sampai sudah merasa tidak asing lagi dengan rasa-rasa yang memuakkan itu.

Gue sering mengalaminya, gue sangat sering memakan makanan yang sama sekali nggak pernah gue sukai. Kehilangan, menyaksikan kehancuran, merasakan perjuangan, akrab dengan kekurangan, semuanya pernah gue rasakan sehingga ketika gue mulai diberi makanan yang gue sukai, gue gak pernah lupa atau memandang remeh mereka-mereka yang sedang dicekoki oleh makanan yang gak mereka suka.

Ibu yang meskipun sempat depresi dan kehilangan semangat hidup selalu mengajarkan gue untuk menghargai sekecil apapun pekerjaan orang. Kalau kebetulan lagi ke pasar dan lagi desak-desakan, ibu selalu menyuruh gue untuk minggir ketika beberapa kuli panggul kebetulan lewat.

Katanya, mereka harus bekerja tepat waktu dan mengumpulkan panggulan sebanyak mungkin untuk bisa membawa pulang uang. Peluh dan keringat mereka itu berharga, walaupun gue tau kalau pasar adalah tempat dimana orang-orang saling naikin ego karena dikejar waktu dari subuh menuju pagi, ibu selalu bilang kalau; ketika kita ngasih jalan atau melancarkan urusan orang, maka urusan kita akan ikut dilancarkan.

Saking begitu akrabnya dengan hidup yang serba susah, kadang gue suka mikir berulangkali untuk menghamburkan uang. Alih-alih bermewah-mewahan, gue lebih suka hidup dalam kesederhanaan hanya untuk memberitahu pada diri gue sendiri kalau gue gak boleh lupa diri. Wajar kalau orang yang baru bertemu gue sekali selalu menganggap bahwa gue cuma seorang pegawai biasa. Karena diliat dari segi mana pun, penampilan gue gak pernah menunjukkan bahwa gue adalah pekerja kesehatan.

Dan kalau disuruh mendefinisikan bahagia itu seperti apa, maka jawaban gue adalah; bahagia itu hanya sesederhana sebuah senyuman. Gue bahagia liat ibu senyum pada tanaman-tanamannya, gue bahagia liat adik gue senyum ketika gue membelikan dia buku kesukaannya, gue bahagia liat temen-temen gue senyum dan ketawa meski gue yang jadi leluconnya, dan gue juga bahagia ketika melihat seseorang bisa tersenyum walau hancur semua isi dalam hatinya.

"Kalian berdua tuh semenjak nikah jaraaaang banget ketemu ibu." Dari dulu, Pram sama Mada emang deket banget sama Ibu . Kata mereka, Ibu orang yang hangat. Dan kedua lelaki yang hidup jauh dari orangtua itu seperti sudah menganggap ibu gue sebagai ibu mereka.

"Gimana dong bu, udah punya peliharaan di rumah." Jelas yang ngomong Mada, kalau Pram mana berani apalagi sekarang pawangnya ada di sebelah dia.

"Bu, ini istri Pram masih ngarep loh jadi mantu ibu." Padahal aslinya manusia ini cemen banget, gegayaan ngomong kayak gitu giliran dilirik dikit sama Ainun langsung deh tuh ngumpet sambil peluk badan istrinya. Gak sadar diri punya bodi bongsor, kalo gue jadi Ainun sih pasti udah bengek digencet kayak gitu.

TIGA BELAS JIWAWhere stories live. Discover now