Part 22

3.5K 168 0
                                    

Mata itu, apabila dilihat dari dekat tampak begitu dalam. Dari jarak sedekat itu dan dengan keyakinan tatapan itu hanya tertuju padanya, Nindy seolah bisa menyelami apa yang ada di dalam hati si pemilik. Melalui mata, ya hanya dengan melihat jauh ke dalamnya, Nindy bisa melihat dirinya.

Ekspresi pada wajah Nindy saat inj mungkin adalah seperti, "ya, ada apa, Pak?"

Pak Malik seperti biasa tak membiarkannya tenang.

"Saya sedang mengonsep notulensi," sarkas Nindy. Dia ingin memastikan kejadian beberapa hari lalu tidak akan terulang lagi. Nindy bukan takut dimarahi, hanya tak mau membiarkan dirinya dihina sebegitu hebat.

"Ke ruangan saya," Pak Malik mengucapkannya dengan sepatah demi sepatah seolah berharap gerak mulutnya bisa terbaca oleh Nindy karena tau Nindy sedang mendengarkan sesuatu dengan headsetnya.

Nindy jelas mendengar apa yang dikatakan Pak Malik, bahkan kata-katanya sebelum itu sesungguhnya juga bisa didengarnya, Nindy hanya mengenakan headset tetapi tidak menghidupkan suara apapun untuk didengar. Headset hanya formalitas, ingin menunjukkan pada orang lain kalau dia sedang tak ingin diganggu.

"Siap, Pak," jawab Nindy. Apalagi yang bisa dilakukannya, bagaimanapun Pak Malik adalah atasannya.

Pak Malik masih berbicara dengan Rio, Nindy memilih keluar terlebih dahulu, dia sudah tak lagi bisa berkonsentrasi mengerjakan konsep notulensinya.

Melihat Pak Malik keluar dari ruangannya dan menuju ke arah Nindy, hatinya berdesir. Kenapa aku jadi seperti ini?

"Saya mau ke ruangan Bapak, kamu tunggu di ruangan saya," perintah Pak Malik.

Nindy mengangguk, beranjak dari tempatnya berdiri. Disuruh menunggu ya menunggu.

Sekitar dua puluh menit Nindy di sana, baru saja bangkit hendak kembali ke ruangan mengambil ponsel, Pak Malik masuk.

" Mau ke mana kamu?" tanyanya sambil berlalu menuju kursinya.

Nindy kembali duduk tepat di hadapan bosnya itu. Tak banyak bicara lebih baik.

"Notulensi rapat tadi sudah selesai?" tanya Pak Malik sambil membuka dokumen di hadapannya.

"Belum, Pak," Nindy menjawab singkat. Seharusnya sudah kalau aku tak perlu menunggu sia-sia di sini.

"Kamu ngapain aja?" lebih ke pernyataan dari pada pertanyaan.

Menunggu Bapak.

Nindy menggigit bibirnya menahan untuk tidak menjawab.

"Kamu tuli, ya?" lagi-lagi bicara tanpa melihat wajah orang yang diajak bicara.

Nindy geleng-geleng kepala. Kesal sekali rasanya tetapi dia memilih diam. Tak ada hubungan dengan pekerjaan tak perlu direspon.

Toktoktok...

Ujung pulpen diketokkan Pak Malik di atas meja di hadapan Nindy.

Perempuan itu menatal mata bosnya, kali ini dengan penuh amarah.

Bos Baru KamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang