Part 23

3.4K 178 1
                                    

"Jelaskan saja untuk apa saya diminta ke sini. Tidak perlu menambah drama," Nindy berbicara dengan pelan menjaga suaranya tetap rendah. Perempuan itu tak hanya melihat ke arah kedua tangannya yang saling ditautkan.

Pak Malik yang mengajarkan ini padanya. Tak perlu memandang wajah orang yang diajak bicara.

"Kamu ngomong dengan siapa? Lihat orang yang kamu ajak bicara," tak habis pikir kata-kata itu keluar dari mulut laki-laki di hadapannya.

"Talk to your hand," ketus Nindy.

Entah dari mana keberaniannya terkumpul. Nindy tak pernah sekasar ini apalagi dengan atasan, seseorang yang harusnya dia hormati.

Laki-laki di hadapannya itu berjalan keluar dari belakang kursinya, menuju ke arah Nindy. Nindy bangkit dengan tergesa, kakinya menyenggol salah satu kaki kursi. Tubuh Nindy melayang, dia sudah bisa membayangkan rasa malu terjatuh di hadapan Pak Malik.

Tangannya dipegang. Sentuhan hangat menjalar dari tempat itu. Entah dari mana sumber getaran hatinya, keterkejutan akan jatuh atau sentuhan itu. Nindy ditarik berdiri. Ketika mengetahui siapa pemilik tangan yang tadi menahannya, perempuan itu malu bukan kepalang. Segera setelah tangan tadi terlepas, Nindy memutar badannya dan berjalan keluar ruangan. Menuju ke mana saja asal menjauh dari tempat itu, tepatnya dari pemilik tangan hangat tadi. Hal terbodoh dari semua itu adalah Nindy menikmatinya dan perempuan itu sadar itu artinya dia telah memulai bermain api.

Nindy memutari gedung kantornya, berusaha menenangkan hati dan gemetar tubuhnya. Nindy tak hendak. mengingat kejadian tadi. Hanya harus segera melupakannya.

Nindy mampir ke kantin dan membeli teh botol dingin. Lega sekali membiarkan tenggorokannya segar dibasuh aliran teh dari botol itu. Mengusir kegugupan hatinya.

Nindy mengobrol dengan pemilik kantin, dengan siapa saja yang ditemuinya. Berusaha menimbun memori tentang kejadian di ruangan Pak Malik, semua itu berhasil sampai seseorang yang ingin dihindarinya tiba-tiba sudah berdiri di pintu kantin, memandang ke arahnya. Atau cuma. perasaanku saja?

Bos Baru KamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang